Nilai Yajna Dalam Kisah Mahabharata
SarpaYajna
Ladang Informasi - Pada zaman
Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan Yajna Sarpa yang sangat
besar dan dihadiri seluruh rakyat dan undangan yang terdiri atas rajaraja terhormat
dari negeri tetangga. Bukan itu saja, undangan juga datang dari para pertapa
suci yang berasal dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya
pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama. Menjelang
puncak pelaksanaan Yajna, datanglah seorang brahmana suci dari hutan ikut
memberikan doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu.
Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan
yang lezat dalam jumlah yang tidak terhingga. Kepada brahmana utama ini diberikan
suguhan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung
ke ibu kota Hastinapura, ia sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu
dihidangkan makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utamapun langsung
melahapnya dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan.
Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara
Yajna
besar tersebut. Melihat cara Brahmana Utama menyantap makanan dengan
tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan Brahmana Utama
itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesagesa,” kata
Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi dengan Sang
Brahmana Utama cukup jauh, tetapi karena kesaktiannya ia dapat mendengar dengan
jelas apa yang diucapkan oleh Drupadi. Sang Brahmana Utama diam, tetapi
batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut.
Dalam ajaran agama Hindu, disampaikan bahwa apabila kita
melakukan tindakan mencela, maka pahalanya
akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk.
Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi
mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya.
Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Guru Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan wanita dengan merobek pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran bagi negeri para penghina. Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika menikmati hidangan.
Dewi
Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh Krisna
dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya Duryadana
kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma
baik dengan cara membalut jari Krisna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh
Supala. Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau melaksanakan Yajna
harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan tidak boleh ragu-ragu.
Daksina dan Pemimpin Yajna
Mendengar kata
daksina, dalam benak orang Hindu “Bali” yang awam akan terbayang dengan salah
satu jejahitan yang berbentuk cerobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang
sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan perlengkapan
lainnya. Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual.
Daksina adalah lambang Hyang.Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai
saksi Dewata. Makna kata daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam
bentuk upacara dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara.
Penghormatan ini
haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan
bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar Yajna yang
diselenggarakan berkualitas (satwika Yajna). Selanjutnya bagaimana
pentingnya daksina dalam Yajna, dikisahkan dalam cerita berikut.
Setelah perang
Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk
menyelenggarakan upacara Yajna yang disebut Aswamedha Yajna.
Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual
negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat
perang besar berkecamuk. Di samping itu juga bertujuan agar rakyat Pandawa tidak
diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang.
Atas anjuran Sri
Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha Yajna
itu. Sri Krishna berpesan agar Yajna yang besar itu tidak perlu
dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup oleh seorang pendeta pertapa
dari keturunan warna sudra yang tinggal di hutan. Pandawa begitu taat kepada segala
nasihat Sri Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk mencari
pendeta pertapa keturunan warna sudra.
Setelah menemui
pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, “Sudilah kiranya Kamu
memimpin upacara agama yang bernama Aswamedha Yajna, wahai pendeta yang suci”.
Mendengar permohonan patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu
menjawab, “Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk
memimpin Yajna itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak
bersedia untuk memimpin upacara tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur,
saya bersedia memimpin upacara Aswamedha Yajna yang diselenggarakan oleh
Prabhu Yudistira yang keseratus kali.
Mendengar jawaban
itu, sang utusan terperanjat, kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan
segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini kemudian
diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna
bertanya, siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa pun menjawab
“Yang saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan”.
Sri Krishna
menjelaskan, upacara yang akan dilangsungkan bukanlah atas nama sang patih,
tetapi atas nama sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang
memohon kepada pendeta. Setidak-tidaknya permaisuri Raja yang harus dating kepada
pendeta. Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan
upacara agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Upacara
agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang, dalam hal ini yang
paling tepat adalah wanita.
Nasihat Awatara Wisnu
itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri
untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan
busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta.
Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya
kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta kemudian bersedia memimpin upacara yang
agung tersebut.
Pendeta pun dijemput
sebagaimana tata krama yang berlaku. Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman
dengan tata krama di kota kepada pendeta. Karena tidak pernah hidup dan bergaul
di kota, sang Pendeta menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang
jauh dengan etika di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara. Ciri-ciri
upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar
suara genta dari langit.
Nah, ternyata setelah
upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit.
Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tidak
ada “daksina” untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak
disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik
pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan
Yajna.
Gagal atau suksesnya Yajna ditentukan pula oleh sikap yang
berYajna.
Kalau sikapnya tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin
upacara maka gagallah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang
penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara
sukses.
Setelah mendengar
wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta
mendapat persembahan daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari
langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara
penyelenggara Yajna ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan
Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah menertawakan Sang
Pendeta memimpin Yajnanya walaupun hanya dalam hati mengatakan, yaitu pada saat
pendeta menikmati hidangan tadi. Memang dalam agama Hindu, Pendeta mendapat
kedudukan yang terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu
akan sangat fatal akibatnya kalau ada yang bersikap tidak sopan kepada pendeta.
Beberapa saat
kemudian setelah Drupadi datang menyembah dan mohon maaf kepada pendeta,
jatuhlah hujan bunga dari langit disertai suara genta yang nyaring membahana. lni
pertanda Yajna Aswamedha itu sukses.
Demikianlah, betapa pentingnya
kehadiran “daksina” yang dipersembahkan oleh yang berYajna kepada pendeta
pemimpin Yajna dalam upacara Yajna.
SUKSMA
ReplyDeleteBankai
ReplyDelete