Bhuta Kala dan Panca Kumara
Ladang Informasi - Sumber tertulis tentang Bhuta Kala
berawal dari Sruti, yaitu Weda keempat dari Catur Weda (Atharwa Veda) yang
menyatakan, "Tuhan menguasai alam semesta serta menjaganya, laksana wadag
jagat raya yang disebut juga Bhuta (bhu), tumbuh sebagai dasar, ada tumbuh
berkembang dan sirna berganti terus menerus utpati, stiti, pralina, demikian
seterusnya." Juga terdapat dalam Sarasamuscaya, "Pada awalnya sarwa
wisaya, hanya manusia yang dapat mengolah untuk dijadikan baik atau buruk,
dengan tingkah laku bisa mengurangi perbuatan yang jelek atau negatif."
Di samping di Sundarigama, juga
terdapat dalam lontar Siwagama, "Pada yoga yang keempat, terciptalah
Sanghyang Catur Suksma, Catur Bhuta, yaitu utara-selatan-timur-barat. Pada yoga
kelima terciptalah Panca Tanmatra, Panca Mahabutha, Panchawibudhi. Pada yoga
keenam terciptalah bumi, lautan, mega, dan langit. Pada yoga ketujuh
terbentuklah pertemuan Panca Tanmatra dengan Panca Mahabhuta menjadi Panca
Indriya dan Panca Karmendriya, kemudian terciptalah manusia, setan, binatang,
ikan hewan, tumbuh-tumbuhan, tumbuhan melata, semak belukar."
Secara mitologi, kisah Sang Hyang
Kala dalam lontar Kala Purana diuraikan sebagai berikut. Kala Purana adalah
awal dari permulaan Dewa Siwa di Swargaloka yang sangat berwibawa dan
dihormati. Ia memiliki dua putra -- Sang Hyang Kala yang berwajah seperti
raksasa, dan Panca Kumara yang berwajah tampan. Sang Hyang Kala lahir pada saat
sandikala (pertemuan waktu antara siang dan malam) pada hari Wrespati Pon wuku
Wayang dan Panca Kumara lahir pada hari Kliwon wuku Wayang.
Sang Hyang Kala dikisahkan pergi
bertapa meninggalkan sorga, tetapi Panca Kumara tinggal bersama ayahnya di
sorga. Ketika Sang Hyang Kala sudah besar, ia memperoleh panugrahan dari Dewa
Brahma -- boleh memakan orang yang lahir pada wuku Wayang, orang yang berjalan pada
saat matahari tepat berada di atas kepala, dan orang yang berjalan pada saat
sandhyawela (antara sore dan malam). Setelah memperoleh panugrahan tersebut,
teringatlah Sang Hyang Kala dengan adiknya, Panca Kumara.
Setelah mohon pamit kepada Dewa
Brahma, Sang Hyang Kala datang ke Swargaloka menghadap Dewa Siwa. Kepada Dewa
Siwa, Sang Hyang Kala menyatakan keinginannya, "Hamba ingin minta makanan
kepada ayah. Karena, atas panugrahan Dewa Brahma, hamba boleh memakan adik
hamba Panca Kumara karena ia lahir pada Tumpek Wayang dan orang yang lahir pada
wuku Wayang." Dewa Siwa ternyata mengizinkan permintaan tersebut dengan
satu syarat. "Anakku, kamu tidak boleh me-nadah orang yang belum mencapai
akambuhan (tiga bulan) sampai lima tahun," kata Dewa Siwa.
Lima tahun lewat sesuai dengan
perjanjian, Sang Hyang Kala datang menuntut janji. Dewa Siwa memberi petunjuk,
karena Panca Kumara lahir pada Saniscara Kliwon wuku Wayang, sebaiknya Sang
Hyang Kala me-nadah-nya tepat pada hari lahirnya. Setelah Sang Hyang Kala pergi,
Dewa Siwa memanggil Panca Kumara, sambil berkata, "Anakku, tidak dapat
dihindari engkau akan di-tadah oleh Sang Hyang Kala pada hari Saniscara Kliwon
wuku Wayang. Sekarang ada usaha ayah untuk membantumu, sebagai pembersihan atau
pengeruwat jati dirimu, agar bisa dipergunakan sebagai teladan oleh masyarakat,
bangsa, dan negara yang ada di muka bumi."
Turun ke Dunia
Lalu, Dewa Siwa memerintahkan Panca
Kumara turun ke dunia menghadap Sang Prabu Mayasura, raja yang tinggal di Kerta
Negara. "Di sanalah kamu mohon perlindungan karena kakakmu Sang Hyang Kala
segera akan datang," ujar Dewa Siwa. Lantas Panca Kumara langsung turun ke
dunia menuju kerajaan Kerta Negara. Ia langsung duduk di pangkuan Raja sambil
menangis minta perlidungan, bahwa dirinya akan di-tadah oleh Sang Hyang Kala.
Prabu Mayasura kaget serta minta
penjelasan Panca Kumara lebih lanjut. Panca Kumara menceritakan problemnya.
Setelah tuntas, Prabu Mayasura berkata, "Baiklah, aku akan melindungimu
bersama para patih sekalian." Lalu diperintahkan para patih dan rakyatnya
untuk menghadapi Sang Hyang Kala. Prabu Mayasura sendiri duduk di kerajaan
menjaga keselamatan Panca Kumara.
Maka, sesuai dengan perjanjian, Sang
Hyang Kala pun datang hendak meminta adiknya ke hadapan Dewa Siwa tepat pada
hari yang ditentukan. "Silahkan kamu cari dia di dunia. Di Swargaloka
tidak boleh terjadi pembunuhan sebab bisa mencemarkan kesucian," ujar Dewa
Siwa. Sang Hyang Kala pun mohon diri, lalu turun ke dunia. Sampai di dunia, dia
bingung, ke mana harus mencari adiknya Panca Kumara. Sementara Sang Hyang Kala
melihat banyak orang membawa senjata di situ. "Wahai manusia semua, kenapa
kamu membawa senjata dan menggunakan pakaian perang, siapa sesungguhnya
musuhmu? Coba katakan supaya aku tahu," kata Sang Hyang Kala.
Tanpa basa-basi, para prajurit Prabu
Mayasura langsung menyerang Sang Hyang Kala. Namun, para prajurit itu tidak
bisa berkutik, justru akhirnya semua terbunuh. Sang Hyang Kala kemudian
menghadap Prabu Mayasura untuk mencari Panca Kumara. Karena melindungi Panca
Kumara, maka tak terelakkan lagi, Prabu Mayasura pun akhirnya berperang melawan
Sang Hyang Kala. Pada saat peperangan itu berkecamuk, Panca Kumara melarikan
diri dan akhirnya beristirahat di perempatan jalan.
Pertempuran berlangsung dengan
sengit. Akhirnya naas, Prabu Mayasura dapat dikalahkan oleh Sang Hyang Kala.
Sang Hyang Kala pun mengejar Panca Kumara tepat pada siang hari. Panca Kumara
lalu menangis memanggil-manggil ayahnya, Dewa Siwa, di perempatan jalan. Dewa
Siwa akhirnya hadir bersama istrinya, Dewi Parwati, menaiki Lembu Nandini. Pada
saat yang sama, Sang Hyang Kala juga datang. "Anakku Sang Hyang Kala,
sebelum kamu me-nadah adikmu, jika engkau bisa, silahkan engkau makan juga ayah
sendiri dan ibumu, serta seekor lembu ini," kata Dewa Siwa.
Namun, sebelumnya Dewa Siwa memberi
syarat khusus yakni memberi pertanyaan pada Sang Hyang Kala dan pertanyaan itu
harus bisa dijawab. "Astapadosastikarno dwi srnggi sapta locana, catur
bhuja tri nabhinaca eka das bhagi dwi purusah," ujar Dewa Siwa. Sang Hyang
Kala pun bingung dan tidak bisa menjawab tentang makna yang terdapat dalam
kalpika yang merupakan ongkara sinunggal sebagai wujud Tuhan yang Maha Esa.
Karena tak bisa menjawab, maka Panca Kumara pun terhindar dari santapan Sang
Hyang Kala.
Panca Kumara selamat dan melarikan
diri ke tengah alang-alang atau ambengan. Di sana dia bersembunyi dan mengikat
ambengan di antara orang lewat. Setelah diketahui Panca Kumara menyelinap di
tengah alang-alang, Sang Hyang Kala mengejar. Sang Hyang Kala terjatuh, sehingga
Panca Kumara sempat melarikan diri ke rumah penduduk pada tumpukan kayu bakar
yang masih terikat. Sang Hyang Kala mengutuk, "Barang siapa yang
mengikatkan ambengan di tengah jalan agar di- tadah oleh Sang Hyang Kala."
Panca Kumara diketahui bersembunyi
pada tumpukan kayu bakar yang masih diikat, di bawah kelumpu atau tempat
penyimpanan padi. Ketika meraba-raba Panca Kumara di atas tumpukan kayu bakar
tersebut, mata Sang Hyang Kala tertusuk kayu bakar. Panca Kumara pun dapat
meloloskan diri lagi, lalu lari ke dapur dan bersembunyi di bungut paon --
tungku berlubang tiga. Sang Hyang Kala pun mengutuk lagi, "Barang siapa
yang mengikat kayu bakar, agar di kemudian hari di-tadah oleh Sang Hyang Kala.
Sang Hyang Kala mengejar Panca Kumara ke dapur. Panca Kumara melesat dari dapur
dan minta perlindungan kepada dalang yang sedang mengadakan pertunjukan wayang.
Hari menjelang malam. Sang Hyang
Kala mengetahui Panca Kumara menyelinap pada pertunjukan wayang. Panca Kumara
sempat menangis di pangkuan Mpu Leger atau sang dalang untuk minta pertolongan.
Maka disuruhnyalah Panca Kumara duduk di sekitar orang yang membunyikan gender.
Dalam keadaan seperti itu, datanglah Sang Hyang Kala yang sangat lapar,
langsung menyantap upakaraning bebanten sehingga habis tidak ada sisa.
No comments:
Post a Comment