Ilmu Kewisesan Pengiwa Dan Penengen
Kata kiwa adalah bahasa Jawa Kuno
yang artinya kiri; kiwan; sebelah kiri, Ngiwa = Nyalanang aji wegig
(menjalankan aliran kiri), seperti ; pengeleakan penestian, Menggal Ngiwa =
nyemak (melaksanakan) gegaen dadua (pekerjaan kiri dan kanan). Pengertian Kiwa dan
Tengen artinya ilmu hitam dan ilmu putih, Ilmu Hitam disebut juga ilmu
pengeleakan, tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, Wegig berarti begig yaitu
suatu sifat yang suka mengganggu orang lain. Karena sifatnya negatif, maka ilmu
itu sering disebut “ngiwa”. Ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri.
Ilmu leak ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu
hitam, antara lain; Cabraberag, Sampian Emas, Tangting Mas, Jung Biru. Buku
tersebut ditulis pada zaman Erlangga, yaitu pada masa Calonarang masih hidup.
Disamping itu ilmu leak mempunyai tingkatan. Tingkatan leak paling tinggi
menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih
bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing,
babi betina dan lain-lain. Ilmu putih sangat bertentangan dengan ilmu hitam.
Ilmu putih sebagai lawannya, yang disebut pula ilmu penangkal leak yang bisa
dipakai untuk memyembuhkan orang sakit karena diganggu leak, sebab aji usadha
berhaluan kanan, disebut haluan “tengen” berarti kanan. Ilmu putih ini mengandung
ilmu “kediatmika”.
Berbicara pengiwa yang direalisasikan oleh Rangda (Janda) ring Dirah melawan
Mpu Beradah, pada zaman pemerintahan Prabhu Erlangga. Naskah ini disalin dalam
huruf Bali pada pemerintahan Raja Klungkung, kurang lebih sinopsis isinya
sebagai berikut :
Seorang raja yang bernama Sri Aji Erlangga, yang berstana di Kerajaan Kediri.
Dalam pemerintahannya masyarakat menjadi makmur dan sejahtera, sehingga banyak
negara-negara lain yang menyatukan diri dengan Beliau. Dalam wilayah Kerajaan
terdapat sebuah perguruan, yang mengajarkan untuk kehancuran kerajaan. Karena
menerapkan ajaran Sad Atatayi. Berbuat ulah untuk kematian dunia, berbuat Sad
Atatayi dan bermurid mendirikan perguruan, menjadi sarana untuk memuja siwa,
diberi anugrah oleh Hyang Bagawati.
Para menteri dan patih mencari bantuan kepala Mpu Beradah, kemudian Mpu Beradah
menugaskan kepada muridnya yang bernama Mpu Bahula yang masih muda dan perparas
rupawan untuk menyelidiki keberadaan di Dirah dengan melangsungkan perkawinan
dengan anak janda di Dirah.
Setelah setengah bulan lamanya Pendeta menginap di Jirah (Dirah), maka
datanglah Janda Jirah, memohon kepada Mpu Beradah agar merubah dirinya menjadi
brahmana, karena telah banyak membunuh orang tanpa dosa. Mpu Beradah tidak bersedia
meruwat sebab sastra utama menyebutkan perbuatan itu harus diterima oleh
pelakunya melalui pembersihan Upeti, Stiti dan Pralina. Janda Jirah menjadi
marah, bahwa dia tidak memerlukan sastra untuk peleburan dosa sehingga
memutuskan untuk mengadu kesaktian dengan Mpu Bradah.
Akhirnya mereka berdua mengadu kewisesan di kuburan. Rangdeng Dirah menuding
dengan mata melotot, muncul api berkobar, taring bergesek tajam. Hidung dan
mulutnya besar menganga, lidah menjulur keluar api berkobar, “Lihatlah sekarang
Baradah, ada pohon beringin besar, aku bakar menjadi abu, menunduk melihat
tanah, tanah menjadi bubur, terbang berhamburan bagaikan hujan pasir, dilihat
sampai di lautan, bagaikan bergoncang, kacau berganti-ganti. Lagi dilihatnya
gunung lahar dengan hujan batu, binatang menjadi terbirit-birit ke sana kemari,
kayunya roboh saling tindih, satu dengan yang lainnya, bumi menjadi gemetar”.
“sekarang apa keinginanmu hai Baradah, sungguh berani tidak mengalah”.
Rangdeng Dirah kemudian membakar tubuh Mpu Baradah dengan api yang keluar dari
mulutnya, namun tak mempan. Dua tiga kali dibakar tetap kokoh. Kemudian Mpu
Baradah segera melakukan yoga kemudian menghidupkan kembali pohon beringin yang
tadinya telah hancur terbakar. “Lihat sekarang olehmu dengan waspada hai Janda!”
Ini menunjukkan tugas yang diemban oleh Mpu Baradah berhasil mengalahkan Rangda
Ring Dirah. Artinya Ilmu Pengiwa akan selalu dikalahkan oleh Ilmu Penengen.
Sabuk Kekebalan
Dalam kemajuan teknologi yang berkembang pesat saat ini ternyata di masyarakat
masih mejadi trend penggunaan alat-alat kekebalan dalam berbagai bentuk baik
yang dipakai maupun yang masuk dalam tubuhnya.
Adapun fungsi dari alat tersebut untuk menambah kepercayaan diri agar merasa
lebih mampu dibandingkan dengan yang lainnya. Harus disadari fungsi dari alat
ini bagaikan pisau bermata dua. Kalau tujuanya untuk kepentingan umum dalam hal
menolong masyarakat tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika
alat itu digunakan untuk pamer dan menguji orang lain, ini yang sangat riskan.
Karena setiap alat yang kita pakai memiliki kadar tersendiri, tergantung dari
sang pembuatnya. Karena ini berhubungan dengan kekuatan niskala yang berupa
panengen dan pengiwa. Atau dalam istilah lainnya mengandung kekuatan pancaksara
maupun dasaksara. Tidak sembarang orang bisa membuat alat seperti ini apalagi
memasangnya karena berhubungan dengan pengraksa jiwa. Kalau berupa sesabukan
(tali pinggang) menggunakan bahan-bahan tersendiri, berupa biji-bijian seperti
kuningan, timah, perak, bahan panca datu. Ditambah sarana yang lainnya sebagai
persyaratannya. Untuk menghidupkan ini perlu mantra pasupati biar benda
tersebut menjadi hidup. Disinilah kekuatan penengen dan pengiwa berjalan
sebagai satu kesatuan yang menjadi kekuatan panca dhurga.
Kalau sabuk pengeleakan lagi berbeda, di sini kekuatan pengiwa murni dipakai,
sehingga yang memakainya akan memasuki dunia lain, tanpa disadari ia akan
berubah secara sikap. Dan kita diolah oleh alat itu tanpa disadari kita menjadi
kehilangan kontrol. Ini yang sangat berbahaya, jika tidak segera ditolong ia
akan terjerumus, disinilah kekuatan penengen akan berjalan sebagai
penetralisir. Di sinilah perlunya kita pemahaman apa itu penengen dan pengiwa
jangan sepengal-sepenggal.
Kalau yang memasukan dalam tubuh juga hampir sama prosesnya dengan yang memakai
alat, yang menjadi perbedaan adalah kalau yang memakai alat berada di luar
tubuh dan yang memasukan berada di dalam tubuh, inipun prosesnya tidak gampang
perlu orang yang tahu untuk memasangnya, memang tubuh menjadi kebal tapi perlu
proses. Tidak langsung jadi. Disinilah kejelian seorang senior terhadap
yuniornya apakah sudah siap secara mental atau tidak. Kalau sudah siap secara
mental maka akan cepat benda itu bereaksi dan bisa dikontrol oleh dirinya sendiri,
jika tidak akan sebaliknya akan membahayakan dirinya sendiri. Karena alat-alat
yang dipasang akan menjadi energi. Di sinilah muncul keegoissan kita jika sudah
merasa hebat seolah-olah kita yang paling unggul di antara orang lain, padahal
kita tahu ilmu seperti ini sangat banyak.
Pengendalian diri sangat penting untuk membawa hal yang positif bagi kita
sendiri, jangan terjebak oleh keinginan sesaat. Tapi sebaiknya kita gunakan
alat-alat itu untuk kepentingan yang lebih baik seperti untuk jaga diri.
No comments:
Post a Comment