viral

loading...

Tuesday, September 30, 2014

Materi Itihāsa

Itihāsa

Renungan

Perdebatan panjang tentang adanya sistem pengajaran dalam Veda merupakan suatu hal yang menjadi pembicaraan yang menarik. Selanjutnya dalam arus modernitas dituntut adanya sistem pembelajaran yang bersifat komprehensif namun dilain hal adanya banyak tuntutan yang “memaksa” seseorang untuk melakukan tindakan yang biasanya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan orang tersebut. Pada pembahasan ini akan diulas tentang sistem pendidikan Veda yang mengacu pada pembelajaran Vedic Literature yang biasanya seorang guru sering memberikan bahan pembelajaran yang berupa cerita baik itu dalam Itihāsa maupun kesusasteraan lainnya. Akan tetapi, ada juga yang memberikan arahan kepada anak didiknya untuk langsung membaca Veda itu sendiri yang biasanya adalah kitab Catur Veda maupun Bhagavadgītā tanpa diajarkan terlebih dahulu tentang konsep Itihāsa maupun Purana sebagai pondasi pengetahuan anak didik.
gayatriSelanjutnya untuk pembahasan tentang pendidikan agama Hindu bahwa sejak dini sudah ada tentang materi mendongeng tentang agama Hindu yang isinya adalah cerita kepahlawanan yang ada dalam epos Itihāsa baik itu Rāmāyana dan Mahābhārata serta cerita tentang patriotisme dari Purana tentang kelahiran para dewa. Untuk itu perlu adanya pembaharuan dalam kurikulum untuk memasukan Itihāsa dan puraa sebagai
materi pokok untuk mempermudah peserta didik memahami ajaran Veda. Karena dalam metode pendidikan adanya yang dinamakan dengan story telling yang memudahkan peserta didik dalam menyerap materi yang diajarkan oleh guru melalui metoda cerita. Karena dalam hal ini Itihāsa dan Puraa sebagai suhrita samhita sangat memungkinkan sekali untuk bisa dipahami oleh anak-anak dan bahkan orang awam sekalipun.

Memahami Teks

Kitab Upaveda, Itihāsa ini merupakan kelompok kitab jenis epos, wiracarita atau cerita tentang kepahlawanan. Pada umumnya pengertian Itihāsa adalah nama sejenis karya sastra sejarah agama Hindu. Itihāsa adalah sebuah epos yang menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dan kerajaan Hindu dimasa silam.
Ceritanya penuh fantasi, roman, kewiraan dan di sana sini dibumbui dengan mitologi
sehingga memberi sifat kekhasan sebagai sastra spiritual. Di dalamnya terdapat beberapa dialog tentang sosial politik, tentang filsafat atau idiologi, dan teori kepemimpinan yang diikuti sebagai pola oleh raja-raja Hindu. Kata Itihāsa terdiri atas tiga kata, yaitu iti-ha-asa, sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya.
Walaupun Itihāsa merupakan kitab sejarah agama, namun secara materiil sangat sulit untuk dijadikan pembuktian sejarah. Sebagai kitab sejarah banyak memuat hal-hal yang menurut fakta sejarah masih dapat dibuktikan, termasuk social politik, pertentangan berbagai suku bangsa yang ada antara berbagai kerajaan yang kontemporer pada masa itu. Oleh karena itu peranan dan fungsi Itihāsa tidak dapat mempelajari sejarah agama Hindu dan kebudayaannya, berbagai konsep politik dan idiologi yang relevan, maka kitab Itihāsa sangat penting artinya untuk dipelajari.
Secara tradisional jenis yang tergolong Itihāsa ada dua macam, yaitu Rāmāyana dan Mahābhārata. Kedua epos ini sangat terkenal di dunia dan memikat imajinasi masyarakat Indonesia di masa silam hingga sekarang. Kedua kitab ini telah digubah ke dalam sastra Jawa Kuno yang sangat indah. Ceritanya banyak diambil dalam bentuk drama dan pewayangan. Demikian pula dalam seni pahat dan seni lukis sangat gemar mengambil tokoh-tokoh dari cerita ini. Khusus dalam bab ini akan meninjau kedua epos yang terbesar di dalam agama Hindu, yaitu: Rāmāyana dan Mahābhārata.

1. Rāmāyana

Cerita Rāmāyana dalam sari patinya mengandung nilai-nilai pendidikan tentang moral dan etika yang mengacu nilai-nilai agama atau nilai tentang kebenaran agama yang hakiki yang artinya mengandung nilainilai kebenaran yang bersifat kekal dan abadi. Cerita Rāmāyana dapat dibedakan menjadi 7 bagian yang disebut Sapta Kanda. Rāmāyana adalah sebuah epos yang menceritakan riwayat perjalanan Rāmā dalam hidupnya di dunia ini. Rāmā adalah tokoh utama dalam epos Rāmāyana yang disebutkan sebagai awatara Visnu. Kitab Purāna menyebutkan ada sepuluh awatara Visnu, satu diantaranya adalah Rāmā. Kitab Rāmāyana adalah hasil karya besar dari Mahāri Vālmīki. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa Rāmāyana tersusun atas 24.000 stansa yang dibagi atas 7 bagian yang setiap bagiannya disebut kanda. Ketujuh dari kanda Rāmāyana itu merupakan suatu cerita yang menarik dan mengasyikkan, karena ceritanya disusun dengan sangat sistematis yang isinya mengandung arti yang sangat dalam.
Karena cerita yang dikandung oleh kitab Rāmāyana itu sangat mempesona dengan penuh idealisme pendidikan moral, kewiraan serta disampaikan dalam gaya bahasa yang baik, menyebabkan epos ini sangat digemari di seluruh dunia. Pengaruhnya yang sangat besar dirasakan di seluruh Asia dan ceritanya dipahatkan sebagai hiasan candi-candi atau tempat-tempat persembahyangan umat Hindu. Demikian pula nama-nama kota yang terdapat di dalamnya banyak ditiru sebagai sumber inspirasi. Dengan demikian Rāmāyana menjadi sebuah Adikavya dan Mahāri Vālmīki diberi gelar sebagai Adikavi.
Keahlian Vālmīki dalam kemampuannya memahami perasaan manusia secara mendalam, menyebabkan kitab Rāmāyana dengan mudah dapat menguasai emosi masyarakat dan sebagai apresiasi dari kata-kata tulis baru yang mengambil tema dari Rāmāyana. Di Indonesia misalnya gubahan yang dijumpai adalah Rāmāyana kekawin yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sampai saat ini kekawi Rāmāyana oleh para peneliti dinyatakan sebagai karya sastra tertua di Indonesia. Kekawin ini adalah kekawin yang paling besar dan paling panjang dalam kesusastraan Jawa Kuno. Sumber asli dalam kekawin Rāmāyana itu adalah kitab Ravanavadha karangan Bhatti, kitab ini sering juga disebut Bhattikavya. Secara tradisional kekawin Rāmāyana dikarang oleh Empu Yogisvara. Kitab-kitab gubahan Rāmāyana sesungguhnya sangat banyak kita jumpai di India ataupun di luar India, tetapi semua kitab gubahan tersebut pada hakikatnya mengambil materi langsung maupun tidak langsung dari Rāmāyana karya Vālmīki.
Adapun isi singkat dari tiap-tiap kanda dari kitab Rāmāyana dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Bala Kanda

Negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodhyā diperintah oleh raja Daśaratha. Raja Dasaratha memiliki tiga orang istri, Kausalya yang berputra Rāmā sebagai anak tertua, Kaikeyi yang berputra Bharata, dan Sumitra yang berputra Laksmana dan Satrughna. Dalam sayembara di Wideha, Rāmā berhasil memperoleh Sītā putri raja Janaka sebagai istrinya.

b. Ayodhyā Kanda

Dasaratha merasa sudah tua, maka ia hendak menyerahkan mahkotanya kepada Rāmā. Datanglah Kaikeyi yang memperingatkan bahwa ia masih berhak atas dua permintaan yang mesti dikabulkan oleh raja. Maka permintaan Kaikeyi yang pertama ialah supaya bukan Rāmā melainkan Bharatalah yang menjadi raja menggantikan Dasaratha. Permintaan kedua ialah supaya Rāmā dibuang ke hutan selama 14 tahun. Demikianlah Rāmā, Lakmaa dan Sītā istrinya meninggalkan Ayodhyā. Tak lama kemudian Dasaratha meninggal dan Bharata menolak untuk dinobatkan menjadi raja. Ia pergi ke hutan mencari Rāmā. Bagaimana pun ia membujuk kakaknya, Rāmā tetap pada pendiriannya untuk mengenbara terus sampai 14 tahun. Pulanglah Bharata ke Ayodhyā dengan membawa terompah Rāmā. Terompah inilah yang ia letakkan di atas singgasana, sebagai lambang bagi Rāmā yang seharusnya menjadi raja yang sah. Ia sendiri memerintah atas nama Rāmā.

c. Aranyaka Kanda

Di dalam hutan Rāmā berkali-kali membantu para pertapa yang tidak habis-habisnya diganggu oleh raksasa. Suatu ketika ia berjumpa dengan raksasa perempuan Surpanaka namanya, ia jatuh cinta padanya. Oleh Laksmana raksasa ini dipotong telinga dan hidungnya. Kemudian ia melaporkan peristiwa ini kepada kakaknya Ravana, seorang raja raksasa yang berkepala sepuluh dan memerintah di Alengka. Diceritakan pula betapa cantiknya istri Rama. Ravana pergi ke tempat Rāmā, dengan maksud menculik Sītā sebagai pembalasan terhadap penghinaan adiknya. Marica seorang raksasa teman Ravana, menjelma sebagai kijang emas, dan berlari-lari kecil di depan kemah. Rama dan Sītā sangat tertarik, dan Sita meminta kepada suaminya untuk menangkap kijang itu. Ternyata kijang itu tidak sejinak nampaknya, dan Rama makin jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya kijang itu dipanahnya. Seketika kijang itu menjelma menjadi raksasa dan menjerit keras.
Jeritan itu dikira oleh Sītā berasal dari Rama, maka disuruhnyalah iparnya memberi pertolongan. Sītā tinggal sendirian. Datanglah seorang Brahmana kepadanya untuk berpura-pura meminta nasi. Sītā dilarikannya. Dengan sangat bersedih hati, Rama dan Laksmana mencari jejak Sītā. Dalam pengembaraan yang tidak menentu itu, mereka bertemu dengan burung Jatayu. Burung tersebut merupakan bekas kawan baik Dasaratha, dan ketika ia melihat Sītā dibawa terbang oleh Rawana, ia mencoba mencegahnya. Dalam pertempuran yang terjadi, Jatayu kalah. Setelah memberikan penjelasan itu, Jatayu mati.

d. Kiskindha Kanda

Rāmā berjumpa dengan Sugriva, seorang raja kera yang kerajaan serta istrinya direbut oleh saudaranya sendiri yang bernama Walin. Rāmā bersekutu dengan Sugriwa untuk memperoleh kerajaan dan istrinya dan sebaliknya Sugriwa akan membantu Rāmā untuk mendapatkan Sītā dari negeri Alengka. Khiskinda digempur. Walin terbunuh oleh panah Rāmā. Sugriwa kembali menjadi raja Kiskinda dan Anggada, anak Walin dijadikan putra mahkota. Tentara kera berangkat ke Alengka. Di tepi pantai selatan yang memisahkan Alengka dari daratan India, tentara itu berhenti. Dicarilah akal bagaimana untuk dapat menyeberangi lautan.

e. Sundara Kanda

Hanuman, kera kepercayaan Sugriwa, mendaki gunung Mahendra untuk melompat ke negeri Alengka. Akhirnya ia dapat menemukan Sītā. Kepada Sītā dijelaskan bahwa tak lama lagi Rāmā akan datang menjemput. Hanuman ditahan oleh tentara Lengka. Ia diikat erat-erat dan kemudian dibakar. Ia meloncat ke atas rumah dengan ekornya yang menyala menimbulkan kebakaran di kota Lengka. Kemudian Hanuman melompat kembali menghadap Rāmā untuk memberi laporan.

f. Yudha Kanda

Dengan bantuan Dewa Laut tentara kera berhasil membuat jembatan ke Lengka. Rawana yang mengetahui bahwa negaranya terancam musuh menyusun pertahanannya. Adiknya, Wibisana menasihatkan untuk mengembalikan Sītā kepada Rāmā dan tidak usah berperang. Rawana bukan main marahnya. Adiknya itu diusir dari Alengka dan menggabungkan diri dengan Rāmā. Setelah itu terjadilah pertempuran yang sengit, setelah Indrajit dan Kumbakarna gugur, Rawana terjun ke dalam kancah peperangan yang diakhiri dengan kemenangan dipihak Rāmā dan Ravana terbunuh dalam peperangan tersebut. Setelah peperangan selesai Vibhisana adik Ravana yang memihak Rāmā diangkat menjadi raja di negeri Lengka serta Sītā bertemu kembali dengan Rāmā. Rāmā tidak mau menerima kembali istrinya, karena sudah sekian lamanya tinggal di Alengka dan tidak mungkin masih suci. Sītā sedih sekali kemudian ia menyuruh para abdinya membuat api unggun. Kemudian ia terjun ke dalam api. Nampaknya Dewa Agni di dalam api tersebut menyerahkan Sītā kepada Rāmā. Rāmā menjelaskan, bahwa ia sama sekali tidak sanksi dengan kesucian Sītā, akan tetapi sebagai permaisuri kesuciannya harus terbukti di depan mata rakyatnya. Diiringi oleh tentara kera Rāmā beserta istri dan adiknya kembali ke Ayodhyā. Mereka disambut oleh Bharata yang segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Rāmā.

g. Uttara Kanda

Dalam bagian ini diceritakan bahwa kepada Rāmā terdengar desas-desus bahwa rakyat menyangsikan kesucian Sītā. Maka untuk memberi contoh yang sempurna kepada rakyat diusirlah Sītā dari istana. Tibalah Sītā di pertapaan Vālmīki, yang kemudian mengubah riwayat Sītā itu wiracarita Rāmāyana. Di pertapaan itu Sītā melahirkan dua anak laki-laki kembar, Kusa dan Lava. Kedua anak ini dibesarkan oleh Vālmīki. Waktu Rāmā mengadakan Aswamedha, Kusa dan Lava hadir di istana sebagai pembawa nyanyi-nyanyian Rāmāyana yang digubah oleh Vālmīki. Segeralah Rāmā mengetahui, bahwa kedua anak laki-laki itu adalah anaknya sendiri. Maka dipanggilah Vālmīki untuk mengantarkan kembali Sītā ke istana. Setiba di istana, Sītā bersumpah, janganlah hendaknya raganya diterima oleh bumi seandainya ia memang tidak suci. Seketika itu, tanah terbelah dan muncul Dewi Pertiwi di atas singasana emas yang didukung oleh ular-ular naga. Sītā dipeluknya dan dibawanya lenyap ke dalam bumi. Rāmā sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak dapat memperoleh istrinya kembali. Ia menyerahkan mahkotanya kepada kedua anaknya, dan kembali ia ke kahyangan sebagai Visnu.

2. Mahābārata

Kitab Mahābhārata ditulis oleh Rsi Wiyasa. Kitab ini terdiri atas Asthadasaparwa
artinya 18 parwa atau 18 bagian atau jilid dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 100.000 sloka yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedaparwa, Asrāmāwasanaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.

a. Adi Parwa

Dalam parwa yang pertama yaitu Adi Parwa, dimuat beberapa macam cerita, misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk laut susu yang menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya gerhana matahari dan bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan cerita Santanu. Negeri Hastina yang rajanya bernama Prabu Santanu mempunyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya teguh janji. Suatu saat Prabu Santanu tertarik dengan kecantikan Dewi Satyawati. Padahal Prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja. Bisma pun mengetahui bahwa sang ayah telah bersumpah tak akan kawin lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah Prabu Santanu jatuh cinta kepada Dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila keturunannya dapat naik tahta. Melihat gelagat yang kurang pas itu, Bisma rela untuk melepaskan haknya sebagai raja pengganti sang ayah. Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya (wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang ayah bisa kawin dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada tidak lama hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua Dewi Ambika dan Ambalika dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian Dewi Satyawati menyuruh anaknya, Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya dengan begawan Parasara untuk mengawini janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja di Negara Astina.
Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan laki-laki bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa dengan Dewi Ambalika menurunkan anak lakilaki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang kemudian menduduki singgasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Sedangkan pernikahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 lakilaki, yaitu Nakula dan Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima anak tersebut disebut Pandawa. Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan raja sementara meskipun buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang  menimbulkan perang besar Bharatayuda selama 18 hari yang memakan korban sangat banyak.

b. Sabha Parwa

Pada parwa yang kedua yaitu Sabha Parwa menceritakan tentang permainan dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha Kurawa untuk menghancurkan Pandawa tidak pernah mau berhenti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas kelicikan orang Kurawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga Yudhistira kalah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra para Pandawa menjadi bebas. Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya main dadu lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama 12 tahun dan tahun ke 13 dan mereka harus menyelinap atau bersembunyi tanpa diketahui orang dan baru pada tahun ke 14 kembali ke istana. Jika dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan seterusnya.

c. Wana Parwa

Dalam Wana Parwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan pengalamanpengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama 12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu Baka mati terkena kuku Pancanaka Bratasena, perutnya sobek usus keluar. Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan sanggup menjadi korban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi.
Di samping itu dikisahkan pula bahwa Arjuna juga pernah merukunkan suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir untuk mendoakannya. Mahāri Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasihatnya agar Arjuna mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon senjata-senjata yang ampuh dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.

d. Wiratha Parwa

Parwa yang ke empat yaitu Wiratha Parwa mengisahkan Pandawa sudah selesai menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan. Maka mereka keluar dari hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian. Para Kurawa berpendapat bahwa Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka sudah berada di negeri Wiratha sebagai budak sang Prabu Matsyapati. Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut: Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka, Bhima sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan. Arjuna diterima sebagai abdi sang permaisuri Dewi Sudisna bersama putri mahkota Dewi Utari, tugasnya mengajar tari dan Sinden bernama Kandhi Wrehatnala dengan watak banci (wandu). Sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri Dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala. Meskipun di Wiratha sering mendapat marah dari sang Prabu Matsyapati, tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan tawakal (laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca, meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah yang akan mendapat anugerah. Sabagai abdi mereka berenam dalam strateginya mampu mengamankan Negara Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya jagal Billawa mampu membunuh Tritunggal Kencakarupa-Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan Arjuna si Kandhi Wrehatnala mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu Astina bersama para senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan tentram. Setelah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha selama satu tahun, barulah Prabu Matsyapati menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa yang terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak si Pandawa. “Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.

e. Udyoga Parwa

Udyoga Parwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa pada tahun ke 14 Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke Indraprastha. Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi peperangan.

f. Bhisma Parwa

Pada Bisma Parwa dikisahkan bahwa perang Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima perang Hastina dan Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga kesatriya tersebut gugur terkena panah Bisma. Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi kusir atau pengendara kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi musuhnya yaitu saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka Sri Kresna memberikan nasihat (wejangan) tentang hakikat dan kewajiban manusia secara mendalam. Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).
Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma. Ia tidak terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi. Kemudian masih mampu memberikan wejangan kepada kedua belah pihak yang bertikai.

g. Drona Parwa

Drona Parwa adalah bagian yang ketujuh mengisahkan tentang begawan Drona sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca. Drona telah menjadi panglima perang Kurawa. Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang Gathotkaca namun Gathotkaca gugur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh Jayajerata. Raja Drupada pun gugur, sebagai seorang anak maka Dhresthadyumna mengamuk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh Dhresthadyumna.

h. Karna Parwa

Karna Parwa adalah parwa yang kedelapan. Pada bagian ke-8 ini juga diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis dan meminum darah Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh oleh Arjuna hingga terpenggal kepalanya.

i. Salya Parwa

Salya Parwa adalah bagian yang kesembilan mengisahkan tentang Prabu Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa namun hanya setengah hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan oleh Nakula dan Sadewa karena perintah Sri Kresna sebagai dalang Pandawa.

j. Sauptika Parwa

Dalam parwa yang kesepuluh yaitu Sauptika Parwa, menceritakan perihal Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada malam hari yang dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan Wiyasa. Keesokan harinya datanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa.

k. Stri Parwa

Stri Parwa adalah bagian yang kesebelas, mengisahkan tentang Prabu Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari suaminya masing-masing dan hari itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenazah para pahlawan yang ditemukan dibakar bersama. Yudhistira menyelenggarakan upacara pembakaran mayat mereka yang tewas di medan perang dengan mempersembahkan ais suci kepada para arwah leluhur dan pada saat itu pulalah Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang dari semula menjadi rahasia pribadinya.

l. Santi Parwa

Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santi Parwa menceritakan para Pandawa mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk Rsi Wyasa dan Kresna, diharapkan agar Yudhistira mau memerintah di Hastina dan didukung oleh adik-adiknya. Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang kewajiban dan kesanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta mereka menunaikan tugas bersama.

m. Anusasana Parwa

Anusasanaparwa adalah bagian yang ketigabelas. Parwa ini mengisahkan kejadiankejadian sebagai penutup Bharatayuda dan wejangan dari Bisma terhadap Yudhistira. Dengan detail Bisma mengajarkan ajaran Dharma. Artha, aturan kedarmawanan, aturan luhur permasalahan, dan sebagainya. Juga dijelaskan tentang berbagai jenis upacara dan tentang kewajiban yang berhubungan dengan waktu. Akhirnya Bisma meninggal dengan tenang sesudah perang.

n. Aswamedha Parwa

Dalam bagian yang keempatbelas yaitu Aswameda Parwa mengisahkan Prabu Yudhistira pada saat mengadakan upacara untuk naik tahta kerajaan dengan cara membiarkan dan membebaskan kuda. Pembebasan kuda tersebut dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat. Siapa saja yang mengganggu kuda tersebut akan dihukum. Pada bagian ini juga diceritakan kisah seekor tikus yang mengunjungi upacara Aswamedha itu, serta menguraikan tentang hakikat Yajna.

o. Asramawasika Parwa

Asramawasana Parwa adalah bagian yang kelimabelas. Parwa ini mengisahkan tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup di hutan dengan Gandari dan Kunthi yang juga ingin menjadi pertapa. Tetapi setelah hidup di hutan selama satu tahun lalu mereka mati karena hutan terbakar oleh api Drestharastra sendiri.

p. Mausala Parwa

Mausala Parwa adalah parwa yang keenambelas. Parwa ini menceritakan musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati, Kresna lari ke hutan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh seorang pemburu. Wyasa menyarankan Pandawa mengundurkan diri pula, melakukan kehidupan sanyasa.

q. Mahaprastanika Parwa

Parwa ini menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa yang bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama Dropadi menarik diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka meninggal secara berurutan dari Dropadi,
kemudian dari yang muda Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta.
Akhirnya anjingnya pun diperbolehkan ikut. Maka masuklah Yudhistira ke Indraloka bersama Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka berubah menjadi Sang Hyang Batara Darma/Hyang Suci.

r. Swargarohana Parwa

Swargarohana Parwa adalah bagian yang kedelapanbelas atau parwa yang terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak bertemu dengan saudara-saudaranya dan juga dengan Dropadi. Justru malah bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari ke neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun dengan masuknya Yudhistira ke neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah berbalik menjadi neraka.


Catatan Penting :

Print Out Bahan Ajar Ini, Kemudian gunakan sebagai bahan untuk menjawab uji kompetensi.
Form dan Bahan Uji Kompetensi Materi Itihasa dapat di download dengan cara mengklik tulisan Download dibawah ini :



Upaveda dalam Veda

Kedudukan Upaveda dalam Veda

Renungan

Sebagai kitab suci agama Hindu, maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk melakukan pekerjaanpekerrjaan tertentu. Veda dinyatakan sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya pun adalah Tuhan yang diyakini Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran oleh Tuhan kepada umat manusia kesemuanya itu merupakan ajaran suci. Lebih-lebih isinya dapat dijadikan pedoman bimbingan tentang bagaimana hidup yang suci harus dijalankan. Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda (Sruti) mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, Itihāsa, Puraa, Tantra, Darśaa dan Tatwa-tatwa yang kita warisi di Indonesia. Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran Veda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual saja, tetapi juga dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Veda menuntun hidup manusia sejak lahir hingga akhir menutup mata. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita oleh ajaran Veda.

Memahami Teks

Veda Śruti dan Veda Smti adalah merupakan dua jenis kitab suci agama Hindu, yang dijadikan sebagai pedoman dalam penyebaran dan pengamalan ajaran-ajarannya. Pengelompokan ini didasarkan pada sistem pertimbangan jenis, materi, dan ruang lingkup isi dari kitab-kitab tersebut yang sangat banyak.

Berbagai aspek tentang kehidupan yang ada di dunia ini ada diuraikan dalam kitab suci Veda tersebut.
Kitab Upaveda, kitab Veda
Kelompok Veda Śruti isinya memuat dan menguraikan tentang wahyu Tuhan. Sedangkan kelompok Smti memuat tentang kehidupan manusia dalam bermasyarakat, bernegara dan semua didasarkan atas hukum yang juga disebut Dharma Śāstra. Dharma berarti hukum, Śāstra berarti ilmu. Smti adalah kitab suci Veda yang ditulis berdasarkan ingatan oleh para Mahari yang bersumber dari wahyu Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu kedudukannya sama dengan kitab Veda Śruti. Menurut tradisi dan lazim telah diterima dibidang ilmiah istilah Smti adalah untuk menyebutkan jenis kelompok Veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara lebih sistematis manurut bidang profesi.

Mengenai kedudukan Upaveda dalam Veda, dilihat dari materi isinya sudahlah jelas sesuai arti dan tujuannya serta apa yang menjadi bahan kajian dalam kitab Upaveda itu, maka Upaveda pada dasarnya dinyatakan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Veda. Tiap buku merupakan pengkhususan dalam memberi keterangan yang sangat diperlukan untuk diketahui dalam Veda itu. Jadi kedudukannya sama dengan apa yang kita lihat dengan Vedāngga. Kalau kita pelajari secara mendalam, maka beberapa materi kejadian yang dibahas di dalam Purāna dan Vedāngga maupun apa yang terdapat dalam Itihāsa, banyak dibahas ulang di dalam kitab Upaveda dengan penajamam-penajaman untuk bidang-bidang tertentu.

Dengan demikian untuk meningkatkan pengertian dan pendalaman tentang berbagai ajaran yang terdapat dalam Veda, maka kitab Upaveda akan dibicarakan pokoknya satu persatu. Kitab Upaveda artinya dekat dengan Veda (pengetahuan suci) atau Veda tambahan. Kitab Upaveda terdiri atas beberapa cabang ilmu antara lain Itihāsa (Rāmāyana dan Mahābhārata), Purāa, Arthaśāstra, Āyur Veda dan Gandharwa Veda.

Catatan Penting :

Print Out Bahan Ajar Ini, Kemudian gunakan sebagai bahan untuk menjawab uji kompetensi.
Form dan Bahan Uji Kompetensi Materi Kedudukan Upaveda dalam Veda dapat di download dengan cara mengklik tulisan Download dibawah ini :

Upaveda

Pengertian Upaveda

Renungan

Setiap ajaran agama memberikan tuntunan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia lahir dan batin dan diyakini pula bahwa ajaran agama itu bersumber pada kitab suci. Demikian pula umat Hindu yakin bahwa kitab sucinya itu merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Śrutiyang artinya yang didengar (revealed teachings). Veda sebagai himpunan sabda atau wahyu berasal dari Apauruseya (yang artinya bukan dari Purusa atau manusia), sebab para rsi penerima wahyu berfungsi hanya sebagai instrumen (sarana) dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menyampaikan ajaran suci-Nya.

Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda-(Sruti) mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, Itihāsa, Purana, Tantra, Darśaa dan Tatwa-tatwa yang kita warisi
di Indonesia.

Kitab Suci Veda
Seseorang yang mengucapkan mantram (Veda) dan tidak memahami makna yang terkandung dalam mantram (Veda) itu, tidak pernah memperoleh penerangan seperti halnya sebatang kayu bakar, walaupun disiram dengan minyak tanah, tidak akan terbakar bila tidak disulut dengan api. Demikian orang yang hanya mengucapkan (membaca) mantram (Veda) tidak mendapatkan cahaya pengetahuan yang sejati.

Memahami Teks

Agama Hindu sebagaimana agama-agama lainnya, juga memiliki kitab suci yang disebut VedaVeda adalah sumber dari ajaran Agama Hindu sebagai wahyu Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Di dalam ajaran agama Hindu tersebut, termuat tentang ajaran agama, kebudayaan, dan filsafat. Umat Hindu berkeyakinan bahwa Veda bersifat anādi ananta, yakni tidak berawal dan tidak berakhir dan sebagai śabda Brāhmān. Sebagai śabda, Veda telah ada semenjak Tuhan Yang Maha Esa ada. Tradisi sekolah pada jaman Veda dikenal dengan nama sākhā yang pada awalnya berarti cabang dan kemudian berarti tempat mempelajari Veda.

Selanjutnya pengertian sākhā ini Istilah Upaveda diartikan sebagai Veda yang lebih kecil dan merupakan kelompok kedua setelah Vedāngga. Upa berarti dekat atau sekitar dan Veda berarti pengetahuan dan dapat pula berarti Veda. Dengan demikiam Upaveda dapat diartikan sekitar halhal yang bersumber dari Veda. Dilihat dari materi isinya yang dibahas dalam beberapa kitab Upaveda, tampak kepada kita bahwa tujuan penulisan Upaveda sama seperti Vedāngga. Hanya saja dalam pengkhususan untuk bidang tertentu. Pengkhususan yang dibahas adalah aspek pengetahuan atau hal-hal yang terdapat di dalam Veda dan kemudian difokuskan pada bidang itu saja sehingga dengan demikian kita memiliki pengetahuan dan pengarahan mengenai pengetahuan dan peruntukan ilmu pengetahuan yang dimaksud.

Catatan Penting :

  • Untuk Bukti Telah Mengambil Tugas, Silahkan Isi Komentar Kalian di Kolom komentar di bawah, dengan Nama dan Kelas Kalian!
  • Print Out Bahan Ajar Ini, Kemudian gunakan sebagai bahan untuk menjawab uji kompetensi.
  • Form dan Bahan Uji Kompetensi Materi Pengertian Upaveda dapat di download dengan cara mengklik tulisan Download dibawah ini :

Monday, September 29, 2014

Kematian Pangeran Duryodhana

Kematian Duryodhana

Duryudana, doryudhana
Setelah kematian Prabu Salya ditangan Yudistira dalam Bharatayudha, seperti halnya kematian Tragis Sakhuni, tentara Hastina telah kehilangan panglima perangnya. Duryodhana dengan ketakutan melarikan diri kedalam hutan dan menghilang. Kubu Kurawa kini tanpa pemimpin dan mengundurkan diri ke perkemahannya. Berhari-hari tidak tampak kegiatan dari kubu Hastina untuk melanjutkan pertempuran, selama Kubu Pandawa selalu siap sedia dengan tentaranya, dengan Bima memimpin tentara penggempur, Arjuna di sebelah kanan dan Nakula Sadewa di sisi kiri.

Setelah lewat seminggu, banyak raja dan adipati pendukung Hastina telah pulang kembali ke tempat asal mereka sementara beberapa tentara telah menyerah kepada Pandawa. Melalui tentara yang menyerah diketahui bahwa Duryodhana telah menghilang kedalam hutan selama seminggu. Sri Krsna mengerti bahwa inilah saatnya untuk mengakhiri Bharatayuda. Bersama Pandawa, Sri Krsna datang ke perkemahan Hastina. Terlihat tentara2 Hastina sudah tidak ada niat untuk perang dan patah semangat. Dengan mudahnya Sri Krsna menemukan Duryodhana yang sedang berendam di dalam sebuah danau di hutan. Ketika disapa, Duryodhana terlihat seperti orang linglung. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukannya, Duryodhana menjawab, “Aku sedang merenungkan saudara-saudaraku yang telah gugur”.
Sri Krsna kemudian bertanya apa yang akan dilakukan oleh Duryodhana, “Aku akan menyerahkan tahta Hastina kepada Yudistira dan akan membuang diriku ke dalam rimba seperti yang dilakukan oleh para Pandawa”. Yudistira yang adil dan bijaksana kemudian berkata bahwa dirinya tidak ingin Hastina, yang diminta hanyalah Indrapasta. Duryodhana dipersilahkan memilih salah satu diantara kelima Pandawa sebagai lawan tandingnya, jika Duryodhana menang maka dirinya tetap berkuasa di Hastina sementara Pandawa akan menetap di Indrapasta. Setelah berkata itu, Pandawa dan Sri Krsna meninggalakan Duryodhana. Duryodhana kemudian mulai berpikir siapa yang akan dipilih sebagai lawannya, Yudistira … … orangnya sabar dan mempunyai ilmu yang aneh, bisa2 dirinya berakhir seperti Prabu Salya. Bima … … memang Duryodhana dendam kepada Bima dan walau kekuatan mereka hampir seimbang, Bima mempunyai ajian2 kekuatan yang berbahaya. Arjuna … … tidak mungkin karena orangnya sangat sakti dan mempunyai banyak senjata pusaka, dalam sekejap dirinya bisa habis. Nakula … Sadewa … … keduanya amat lincah dan pintar menggunakan pedang dan panah, dirinya bisa diiris2 atau dijadikan sate dengan panah.
Keesokan harinya para Pandawa telah siap di Kuruserta, lengkap dengan senjatanya kecuali Yudistira yang tidak bersenjata tapi tampak tenang2 saja. Kemudian tampak Duryodhana dengan gagahnya datang bersenjatakan sebuah gada. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pandawa walau dirinya masih bersaudara dengan Pandawa. Baladewa kemudian bertanya siapakah yang ditantang oleh Duryodhana, jawaban Duryodhana “Aku memilih Bima yang telah paling banyak membantai saudara2 Kurawa, menghirup darah Durasana dan merobek mulut paman Sangkuni!” Bima yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryodhana segera maju kedepan membawa gadanya yang sebesar kepala.
Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Ketika mulai, tampak pertarungan berlangsung dengan seimbang, Duryodhana yang biasanya pengecut kali ini bertarung mati-matian karena menaruh harap untuk menjadi raja di Hastina. Lama kelamaan terlihat bahwa Bima lebih unggul, mahkota Duryodhana telah hancur terhantam oleh gada bima kemudian tubuh Duryodhana terkena pukulan langsung sehingga terpental. Semua orang mengira Duryodhana telah kalah tapi anehnya, Duryodhana bangun kembali seperti tidak kesakitan oleh pukulan Bima. Hal ini terjadi berkali2 sehingga akhirnya Bimapun mulai lelah karena pertarungan yang berkepanjangan. Suatu ketika Bima agak lengah sehingga mahkutanyapun hancur dihantam oleh gada Duryodhana. Arjuna yang cemas akan keselamatan saudaranya mendekati Sri Krsna dan bertanya kenapa Duryodhana tak jatuh-jatuh.
Oleh Sri Krsna dijelaskan bahwa ketika bayi Duryodhana dimandikan oleh air suci, sehingga kini badannya keras bagaikan besi jika dipukul akan sakit tapi segera sembuh kembali. Arjuna menjadi cemas dan menanyakan bagaimana cara mengalahkannya. Sri Krsna menjawab, “Ketika dimandikan, paha kirinya tertutup oleh sehelai daun, itulah kelemahannya. Sekarang adik Arjuna dekati Bima sambil pura2 menonton dan tepuk paha kiri untuk memberi tanda pada adik Bima”. Arjuna segera melaksanakan perintah Sri Krsna, dan mendekati pertarungan sambil menepuk paha kirinya.
Bima yang otaknya encer segera mengerti maksud Arjuna segera mengeluarkan aji Bayubraja dan dihantamkan sekuat tenaga ke paha kiri Duryodhana. Pukulan Bima kena tepat pada paha kiri Duryodhana dan Duryodhana segera terjatuh sambil berteriak kesakitan. Bima kemudian menghentikan serangannya karena Duryodhana sudah tidak berdaya. Duryodhana tapi berteriak minta dihabisi karena dirinya sudah tak berdaya, namun sebagai ksatria Bima pantang menyerang orang yang tidak berdaya.
Sri Krsna kemudian menjelaskan bahwa Bima harus mengakhiri nyawa Duryodhana karena dalam keadaan seperti itu Duryodhana akan menjadi cacat dan selamanya tidak berguna lagi. Sebagai sesama ksatria Bima harus menghormati lawannya dan mengakhiri hidup Duryodhana. Bima kemudian mendekati Duryodhana dan mengayunkan gadanya ke kepala Duryodhana. Baladewa kemudian menghentikan pertarungan dan menyatakan kemenangan Bima. Dengan begitu berakhirlah perang Bharatayuda dengan kemenangan bagi pihak Pandawa.