viral

loading...

Friday, January 31, 2014

Kurikulum 2013 Menekankan Praktik Bukan Hafalan

Kurikulum 2013 Menekankan Praktik, Bukan Hafalan


Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan, Kurikulum 2013 lebih menekankan praktik daripada hafalan. Sebab selama ini, anak-anak banyak terbebani hafalan, yang malah kurang meningkatkan kreativitas.

Dengan Kurikulum 2013, ujar Musliar, pemerintah ingin menghasilkan bangsa Indonesia yang  produktif, kreatif, dan afektif. Dalam kurikulum tersebut anak dibentuk agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Pembuatan Kurikulum 2013, terang Musliar, berawal dari banyaknya orang yang mengeluh kalau anak-anak saat ini tidak memiliki keterampilan. Pendidikan di Indonesia baru mengantarkan mereka pada pencapaian tahap pengetahuan.

"Maka ini yang harus diubah melalui Kurikulum 2013 yang tidak hanya mengantarkan anak memiliki pengetahuan saja. Namun anak juga dibekali dengan ketrampilan dan sikap yang baik," ujar Musliar di dalam acara Dialog Nasional ICMI di Jakarta, Rabu, (11/12).

Sebagai contoh akibat kurikulum sebelumnya yang banyak hafalan, kata Musliar, di antaranya anak-anak mungkin banyak yang nilai ujiannya sembilan untuk bahasa Inggris. Namun saat mereka disuruh bicara dengan bahasa Inggris mereka tidak bisa.

Selain itu, ujar Musliar, dalam pelajaran tata boga, anak-anak hanya disuruh menghafal bahan-bahan kue dan cara membuat kue. "Mereka memang bisa mengerjakan ujian cara membuat kue namun kalau disuruh praktik membuat kue secara langsung belum tentu bisa," ujarnya.

Makanya, terang Musliar, dalam Kurikulum 2013 ini, anak-anak akan lebih banyak diminta menjalankan aktivitas dari pada hanya menghafal. 

Sehingga mereka bisa memiliki ketrampilan yang sesungguhnya seperti bisa berbicara bahasa Inggris maupun membuat kue sungguhan.

Sejumlah sekolah di Jakarta, kata Musliar, sudah ada yang menerapkan Kurikulum 2013. Terdapat sekolah yang ruang tata boganya jauh lebih mewah dari pada di hotel, anak-anak diajarkan membuat kue secara nyata sampai mereka bisa membuat kue.

"Hal itu rupanya membuat anak-anak lebih senang sebab mereka melakukan kerja sungguhan. Kalaupun ujian, tanpa menghafal mereka pasti bisa menjawab bahan kuenya apa saja karena sudah melakoni," ujar Musliar.

Dalam pelajaran PPKN di SD, terang Musliar, pada Kurikulum 2013, anak-anak lebih banyak diajak untuk berinteraksi dan berdialog. Misalnya anak-anak disuruh maju di kelas, lalu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama dan sukunya.

"Ini untuk mengajarkan kepada anak-anak supaya mereka mengerti bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku dan agama. Sehingga sejak kecil mereka sudah mempraktekkan menghomati keanekaragaman suku dan budaya untuk menjaga persatuan bangsa," kata Musliar.

Pelajaran PPKN, ujar Musliar, menekankan keterampilan berbicara di depan umum. Selain itu juga mengajak anak bersikap baik, yakni menghormati perbedaan.

Memang, terang Musliar, untuk menyiapkan kurikulum ini masih terseok-seok. Bahkan saat kurikulum ini disusun banyak serangan dari  media cetak maupun televisi.

Namun, ujar Musliar, saat kurikum ini mulai dijalankan sudah banyak guru yang memberikan testimoni. Anak-anak banyak yang belajar dengan gembira melalui Kurikulum 2013.

"Mereka datang lebih awal ke sekolah karena suka. Pendidikan jadi hal yang menyenangkan karena banyak aktivitas dari pada hanya hafalan," kata Musliar.

Bahkan, ujar Musliar, saat ia berkunjung ke sekolah di Sentani, Papua sudah terjadi perubahan besar sejak diterapkannya Kurikulum 2013. Anak-anak banyak yang berani maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri padahal dulu mereka tidak berani.

Dalam kurikulum ini, lanjut Musliar, siswa yang menjadi aktor bukan hanya pendengar saja. Sehingga keingintahuan mereka bisa terbangun.

Pada 2014 mendatang, terang Musliar, akan dilatih 1,3 juta guru untuk menerapkan Kurikulum 2013. Jika lembaga pengetahuan seperti ICMI tertarik, maka ICMI bisa mengirimkan guru-gurunya untuk ikut pelatihan Kurikulum 2013.

"Nanti guru-guru yang lolos dalam pelatihan bisa menjadi pelatih bagi guru lainnya. Diharapkan dengan pelatihan ini guru semakin mampu menerapkan kurikulum ini," kata Musliar.
Sumber : 
http://www.republika.co.id

Thursday, January 30, 2014

Tri Guna

Tri Guna membentuk karakter manusia
Om Kara

Tri Guna Pembentukan Karakter Manusia

Tri Guna adalah tiga sifat dimiliki semua orang yang mempengaruhi kehidupan manusia yang dapat membentuk watak manusia. Apabila ketiga sifat ini dijalani dengan baik. Maka seseorang dapat mengendalikan pikirannya dengan baik. Hubungan ketiga sifat itu akan terus bergerak bagaikan roda berputar silih berganti dan saling melengkapi selama manusia itu hidup. Manusia dilihat dari kelebihannya memiliki berbagai sifat (kecenderungan). Kita melihat ada yang berpenampilan lemah/lembut, kasar, rajin, menarik, dan sebagainya. Kecenderungan seperti itu ada pada setiap manusia yang merupakan sifat bawaan lahir akibat pertemuan purusa dan pradana. Pada saat pertemuan itu lahir citta dan guna. Cita lahir dari purusa dan guna lahir dari pradana, guna ada tiga perincian yang disebut Tri Guna. Sehingga Guna berpengaruh terhadap citta. 
Adapun bagian-bagian dari Tri Guna, yaitu:


• Satwam : bersifat tenang, kasih sayang

• Rajas : bersifat dinamis, keras, rajin

• Tamas : bersifat lamban, nafsu

Apabila Sattwam lebih unggul dari Rajas dan Tamas, maka Atma mencapai moksa. Apabila Sattwam dan Rajas sama kuat, maka atma mencapai sorga. Apabila Sattwam, Rajas dan Tamas berimbang, maka menjelmalah atman menjadi manusia. Apabila Rajas lebih unggul, maka atma jatuh ke neraka. Dan apabila Tamas lebih unggul, maka atman menjadi binatang. Dalam uraian diatas ada beberapa sloka yang menjelaskan hal sehubungan diatas, yaitu:
Wrhaspati Tattwa sloka 15, berbunyi:


Laghu prakasakam sattwam cacalam tu rajah shtitam
Tamo guru varanakam ityetaccinta laksanam
Ikang citta mahangan mawa yeka sattwa ngaranya
Ikang madres molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.


Artinya:
Pikiran yang ringan dan tenang itu sattwam namanya, yang bergerak cepat, itu rajah namanya, yang berat serta gelap, itulah tamah namanya. 
Ketiga guna itu terdapat pada setiap orang hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih baik dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana, berfikir terang dan tenang, sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga termasuk sifat sattwam.


Dengan memperhatikan petikan sloka tersebut diatas maka jelaslah yang menyebabkan adanya perbedaan kelahiran itu adalah Tri Guna yaitu Sattwam, Rajah dan Tamas, karena lahir dari Tri Guna, dan kama muncul suka dan duka. Kendalikanlah Guna Rajah dan Tamas kearah Sattwam, karena bila Tamas membesar pada Citta akan menyebabkan atma menjelma menjadi binatang.


Kerja sama yang seimbang dari Tri Guna dalam tubuh manusia sangat penting. Manusia harus bergerak atau berbuat, namun perbuatan itu harus dikendalikan oleh Sattwam. Di lain pihak manusia juga perlu istirahat untuk menjaga keseimbangan tubuh, namun harus bisa mengatur waktu istirahat. Dalam kehidupan manusia, masing-masing dari Tri Guna akan bersaing ketat satu sama lainnya untuk saling mempengaruhi. Jika Guna Sattwam menang maka orang tersebut akan selalu berbuat jujur, adil, bijaksana, tidak mementingkan diri sendiri dan selalu berfikir positif. Jika Guna Rajas yang unggul menguasai medan ingatan, maka orang tersebut akan memiliki personaliti yang kasar, serakah, ambisi, serta mementingkan diri sendiri. Di lain pihak jika medan ingatan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh Tamas, maka orang tersebut terlihat acuh tak acuh, malas, bodoh, serta makan dan tidur saja.

Dana Punia, Cara Beragama di Zaman Kali

Dana Punia di Zaman Kali 

Kehidupan di zaman Kali Yuga ini hendaknya dilakukan dengan tuntunan yang benar menurut kitab suci. adapun yang mesti kita lakukan pada zaman Kali Yuga ini menurut Kitab Manava Dharmasastra  I.85, adalah sebagai berikut :
Zaman Kali Yuga
Zaman Kali Yuga
Tapah pararn kerta yuge 
tretayam jnyanamucyate 
dwapare yajnyawaewahur 
danamekam kalau yuge
 

Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.
ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).

Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktusatvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga — Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman ditiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama-pun berbeda-beda pada setiap zaman.

Menurut Manawa Dharmasastra 1.85 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kala Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.

Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.

Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.
Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85. itu — beragama yang lebih mempriotaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan.

Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justeru upacara yadnya tetap dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wujud ritualnya yang menekankan fisik material.

Apalagi bagi umat Hindu di Bali tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.

Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih. 
Mengapa disebut upacara yadnya? Kata “upacara” dalam bahasa Sansekerta berarti “dekat” dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada “upacara” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.

Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu mejadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.

Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehinga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.

Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahterakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahteraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.

Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

Dikutip dari : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag

Makna Galungan Dan Kuningan

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Raja Sri Jayakasunu Melawan Bhuta Kala
Animasi Bhuta Kala
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.


Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Siwa Ratri dan Pengendalian Nafsu

Pengendalian Nafsu Adalah Brata Sivaratri

Dewa Siva yang diagungkan pada Sivaratri
Deva Siva Memberikan Anugrah Pada Pemujanya
Buda Pon Wuku Bala bertepatan Sasih Kapitu (Rabu, 29 Januari 2014), merupakan hari suci bagi umat Hindu. Hari tersebut dikenal dengan nama Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri berarti malam (gelap). Dan bahkan malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya "peteng pitu".
Pada hari Siwaratri umat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata, meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau Agama.
Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu 29 Januari 2014.
Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya, sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal.
Dari pandangan mata secara awam saja, tentu perbuatan membunuh, menghilangkan nyawa mahluk lain di luar tujuan yadnya, adalah berdosa. Misteri kematian dan perjalanan arwah Lubdhaka tidak banyak yang mengetahuinya. Pemburu tersebut dalam mitologi HIndu meniggal beberapa hari setelah Siwaratri lantaran menderita suatu penyakit. Istri dan anak-anaknya merasa kehilangan.
Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah mati? Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional.
Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di hutan, padang perburuannya seorang diri.
Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motip lain, bertahan di hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon dekat telaga yang airnya sangat bening.
Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan. lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang, antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan kantuknya tangan memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam payogan Hyang Siwa.
Dimana dibawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki itu tpat mengenai patung Siwa tersebut. karena takut jatuh otomatis laki-laki tetap terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.
Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Di Khayangan rohnya sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial.
Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang melakukan pembunuhan terhadap sarwa buron ini mendapatkan pengampunan hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk.
Enhanced by Zemanta

Sepuluh Avatara Dewa Wisnu

Tujuan Sang Avatara Vishnu Turun ke Bumi
Avatara Visnu
Sepuluh Avatara Visnu
Awatara dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran. 
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana. Berikut 10 Awatara dari zaman ke zaman :


1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga

Matsya Avatara
Matsya Avatara
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari :मत्‍स्‍यmatsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.

2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga

Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.

Kurma Avatara
Kurma Avatara
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.




3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga

Varaha Avatara
Varaha Avatara
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.


4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga

Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.

Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.


5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga

Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali, seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."



6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga

Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, namaParashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.



7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga

Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.



8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga

Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnyaBhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracaritaMahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.



9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga

Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Gautama Buddha tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita,sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya


10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga

Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Beliau adalah awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta [anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru.

Wednesday, January 29, 2014

Pura Luhur Ulun Siwi

Pura Luhur Ulun Siwi, Peninggalan Kerajaan Tabanan

Pura Di Bali
Pura Luhur Ulun Siwi
Pura Luhur Siwi, Batu Lumbung yang berlokasi di Desa Adat Soka, Senganan, Penebel Kabupaten Tabanan merupakan salah satu Pura peninggalan kerajaan Tabanan. Pura ini sampai saat ini masih terawat dengan baik.
Kabupaten Tabanan sebagai daerah yang dingin dan sampai kinimasih tercatat sebagai lumbung beras daerah Bali, memang dari dulu sudah terkenal. Malahan di jaman kerajaan, keberadaan dunia pertanian di daerah ini mendapat perhatian serius dari para raja. Bukti dari keseriusan kerajaan Tabanan mempertahankan "Lumbung Beras" itu adalah dengan dibuatnya sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Luhur Ulin Siwi.

Dalam perjalanan sejarahnya, pura ini memang dibangun untuk menghormati Dewi Padi, yakni Dewi Kesuburan yang lebih dikenal di Bali dengan sebutan Dewi Sri. Pembuatan pura ini juga menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh raja Tabanan dalam pertanian saat itu tidak hanya sebatas sekala, juga niskala.

Di kalangan krama pengempon, pura ini juga sering disebutkan sebagai Pura Batu Lumbung. Dilihat dari lokasi pura ini, Pura Batu Lumbung letaknya sangat agung. Inilah yang menyebabkan mengapa pura ini tampak begitu anggun dari kejauhan. Karena letaknya di puncak pegunungan, sehingga menuju pura ini perlu mendaki gunung atau naik sepeda motor tetapi harus ekstra hati-hati, sebab jalan yang bakal dilalui cukup terjal.

Pemerintahan Tabanan memang berbaik hati. Agar umat tidak susah-susah tangkil ke Pura Ulun Siwi, kini sudah dibuatkan jalan cukup lebar yang kelak nantinya bisa dilalui berbagai jenis kendaraan. Jalan tembus itu panjangnya sekitar 4 km dari Desa Adat Soka, tentu saja jarak yang cukup panjang yang harus dilalui dengan pejalan kami.

Jika kita melihat secara fisik bangunan pura ini, memang tampak sangat memprihatinkan. Sekalipun statusnya sebagai Pura Dang Khayangan, kelihatan sekali pura ini kurang terururs. Walaupun begitu semua ini tidak mengurangi pancaran magis yang dikeluarkan. Justru dengan kondisi sekarang ini, Pura Batu Lumbung tampak lebih medengen. Begitu juga pancaran spritualnya juga sangat tinggi, karena letaknya yang memang sepi, jauh dari keramaian kota dan desingan kendaraan.

"Bangunan pura ini sudah sepertinya direnovasi, aar kelihatan lebih bersih dan teratur" ungkap Jero Mangku I Wayan Sunadi dalam perbincangannya dengan Mingguan Baliaga saat tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Menurut juru sepuh pura, kondisi bangunan pura saat ini masih mendingan dibandingkan dengan dulu. Semua ini karena kepedulian krama pengungsung pura.

Dulu, pura ini sepertinya tidak ada yang mengurus, sekarang sudah lebih bersih, Parahyangannya sudah mulai ditata, begitu juga palinggih yang lainnya. "Walaupun begitu masih banyak bangunan palinggih yang memerlukan perbaikan," katanya menambahkan. Seluruh perbaikan pura ini dilakukan secara gotong royong oleh krama penyungsung, maupun mereka yang pernah tangkil ke Pura Ulun Siwi ini.

"Terus terang saja untuk perbaikan pura ini sekarang membutuhkan dana yang tidak sedikit," katanya menambahkan sembari berharap agar Pemda Bali juga ikut memperhatikan keadaan pura ini. Memang selama ini perbaikan pura ditanggung Pemda Tabanan.

Pura Luhur Ulun Siwi, SINAR GAIB DAN PERINTAH SANG RAJA 


Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Batu Lumbung ini?. Jero Mangku I Wayan Sunadi, juru sapuh Pura Ulun Siwi mengungkapkan, keberadaan pura ini erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Tabanan. Dikisahkan Jero Mangku, ketika Kerajaan Tabanan masih diperintah oleh Cokorde Tabanan, daerah ini dilanda bencana kemarau panjang yang sangat hebat. Bencana ini nyaris memusnahkan rakyat. Saat itu raja sangat cemas.

pura ulun suwi jembrana
Terkait dengan bencana tersebut raja segera mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya. Raja kemudian mengumpulkan para patih kerajaan untuk merundingkan solusi yang tepat agar wilayahnya segera terbebas dari ancaman bencana kemarau itu.

Dalam paruman mahapatih itu diputuskan, perlu segera dicarikan jalan pemecahan untuk menghindari bencana ini dengan cara mencari sumber mertha. Untuk mencari sumber mertha para patih ditugaskan melakukan semadi disebuah hutan dekat pegunungan yang ada di Desa Soka sekarang ini. Dalam semadi itu ada sebuah ciri berupa cahaya sekadi tatit yang sumbernya tidak jelas. Anehnya cahaya itu selalu berpindah-pindah berkelebat dimana-mana sehingga para patih yang bersemadi menjadi bingung apa gerangan yang akan terjadi. Bahkan tidak jarang cahaya itu muncul diseantero Ageng.

Dari sinar gaib itu didapatkan sebuah pertanda atau cihna berupa "Buah Kekara" sejenis kacang yang sering dipakai sayur. Cahaya itu seolah-olah menuntun keajaiban yang ada di tempat tumbuhnya kekara tersebut. Dalam kesempatan yang sama patih dari kerajaan Tabanan ini juga mendengar sabda yang aneh. Sabda itu menyebutkan, dimana kekara itu tumbuh, disana akan ada sumber mertha yang dicari selama ini. Sabda itu juga mengungkapkan mentiknya (tumbuhnya) kekara merupakan anugrah merta yang bakal muncul.

Benar, setelah dilacak. Keajaiban terjadi, kekara itu tumbuh di Batu Ageng yang sampai kini masih berdiri tegar di pelataran palinggih. Melihat kekara yang tumbuh di Batu ageng itu, patih kerajaan lantas kembali ke Puri menghadap Cokorde Tabanan guna memberitahukan apa yang telah mereka saksikan ketika melakukan semadi.

Sesampainya pepatih itu di Puri diceritakan kejadian yang muncul ditempatnya bersemedi, akhirnya raja memerintahkan agar ditempat itu didirikan sebuah pura, maksud tiada lain mengucapkan terima kasih atas anugrah Ida Sanghyang Widhi yang berkenan mengabulkan permohonan umat. Pura ini dinamakan Pura Luhur Ulun Siwi Batu Lumbung, lokasinya di Desa Adat Soka, Desa Sengan, Penebel Tabanan.

Pura Ulun Danu Watu Lumbung ini merupakan sumber air bagi seluruh Subah-subak yang ada di Tabanan.

Pura Luhur Ulun Siwi, DITINGGALKAN SUBAK


Walaupun pura ini merupakan sumber air bagi seluruh subak yang ada di Tabanan, namun kini banyak subak-subak sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan pura. Akibatnya pura menjadi tidak terurus. Dulu pura ini memang disungsung seluruh subak, sekarang sudah ditinggalkan, ucap Jero Mangku kepada MBA dan kini tinggal disungsung subak yang masih aktif seperti Subak Poh Manis, Subak Pacung, Subak Tegeh, Subak Senganan.

Kalau semua subak bisa bergabung dengan Pura yang merupakan sumber air ini, pura ini bisa direnovasi dengan lancar. Tiang tidak mengerti mengapa subak-subak itu tidak aktif lagi, katanya bernada heran. jro Mangku mengungkapkan, dirinya menjadi suru sapuh di Pura Ulun Siwi ini karena warisan dari ayahnya. Piodalan di Pura ini jatuh pada Weraspati, Umanis Wuluku Sinta atau sehari setelah Pagerwesi.

Setiap piodalan banyak para pamedek yang tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Selain memiliki sejarah yang unik, di Pura ini juga ada sebuah sumber air yang maha dasyat sampai sekarang, tidak habis-habisnya mengalir walaupun dikelola oleh PDAM Tabanan untuk kebutuhan air minum untuk seluruh krama Tabanan.

Sumber air tersebut kini terkenal dengan sebutan "Sumber Air Gembrong" yang juga mengaliri sebuah sungai besar yang bernama Sungai Yeh Aha. Sumber air ini memang dayat diambil sebesar pohon kelapa namun mengalirnya juga sebesar pohon kelapa, papar Jero Mangku Sunadi ketika ada di Pura.

Ditambahkan oleh Jero Mangku pura ini mempunyai persimpangan yang lengkap karena masing-masing pelataran baik jaba tengah, maupun jaba sisi terdapat persimpangan dari berbagai pura yang ada kaitannya dengan pura Batu Lumbung. Adapun Palinggih persipangan yang ada adalah : Palinggih Ageng, Palingih Ibu Pertiwi, Palinggih Penerangan, palinggih Persimpangan Pucak Bukit Puwun, Pasimpangan Danu Tamblingan, dan juga terdapat Palinggih Rambut Sedana yang malinggih Manik Galih. Juga terdapat Bale Agung, Ratu Nyoman, Jero Nyoman. Dalem Batu Lumbung, Puseh Batu Lumbung dan juga Taman Sari

Apakah mereka sudah membuat subak baru atau ada permasalahan yang ada didalamnya. Seorang Petani yang mengaku bernama I Made Sukandia mengatakan, bisa jadi petani meninggalkan pura itu karena letaknya sangat jauh dari sawahnya, sehingga mereka memilih membuat subak sendiri. Walaupun begitu, kata Sukandia, mereka memang lepas dari Subak daerah ini, tetapi untuk tangkil ke Pura Ulun Siwi tetap mereka lakukan.

Seperti tiang, katanya menambahkan, dulu memang pernah masuk subak di sini, namun karena letak sawah saya jauh, maka saya lebih memilih ke subak yang terdekat. Maksudnya biar urusannya tidak begiru berbelit-belit. Lebih-lebih sakuran air disini kan sangat terbatas, sementara anggota subak yang harus dilayani cukup banyak. Saya bersama keluarga sendiri masing-masing tangkil ke Pura Ulun Siwi, lebih-lebih kalau ada odalan.

"Ke Widhi keluarga saya tidak pernah lupa, karena kami masih punya ikatan sejarah dengan pura ini". kata Sukandia yang dibenarkan oleh petani lainnya yang menjadi tetangga pura Ulun Siwi tersebut. Lepasnya krama dari subak ini, jangan diartikan mereka melepaskan diri dari Pura. Itu tidak benar. Bagaimanapun sebagai umat kita harus selalu menjunjung tinggi dan memujak keagungan-NYA.


Jero Mangku Sunadi: RAGU MENJDI JURU SAPUH 


Dalam perjalanan hidupnya Jero Mangku Sunadi tidak bakal menyangka menjadi pemangku, awalnya dirinya mengaku belum siap dari umur maupun pendidikan agama yang dimiliki. Sebelum menjadi pemangku yang merupakan keturunan dari mendiang ayahnya Jero Mangku Sunadi sempat ragu selama enam bulan. Ini semua karena ketidaktahuannya tentang tata acara agama.

Disamping itu, sebagai manusia dirinya ingin tetap bebas mencari kehidupan untuk keluarga. Tapi apa yang terjadi, malah rumah tangga menjadi berantakan serba tidak benar dan kejadian aneh-aneh terjadi dilingkungan keluarga. Dan yang paling menyakitkan keluarga tiang sakit-sakitan. Berdasarkan dari kejadian itu akhirnya tiang iklas untuk ngayah walaupun tiang tidak tahu tentang kepemangkuan, ucap Sunadi mengisahkan dirinya.

Selanjutnya, ternyata menjadi pemangku tidak memberikan kesuitan hidup dalam sehari-hari baik dari materi maupun dari segi bathin seolah-olah seluruh keluarga ada yang menuntun menuju kehidupan yang lebih baik. Bahkan sebelum menjadi juru sapuh tiang selalu dselimuti dengan mimpi-mimpi.

Di samping mimpi itu pada awalnya dirinya tidak mengerti apa sebenarnya yang akan terjadi, karena tidak paham tentang makna mimpi tersebut, tetapi yang jelas mimpi bukan sekadar angan-angan bunga tidur semata. Di sinilah Mangku Sunadi mulai percaya dengan mimpi yang memiliki makna. Sebenarnya ketika bermimpi ngalap bunga itu, sebagai orang biasa, dirinya sudah bertanya-tanya apa yang bakal terjadi di kemudian hari.

Mimpi itu kemudian direnungkannya dalam-dalam, sampai akhirnya dia diajak untuk menjadi pemamngku. Asal tahu saja, katanya menambahkan. Dirinya sama sekali tidak pernah berangan-angan menjadi seorang pemangku. Dari dulu sampai sekarang tiang tidak pernah punya pikiran seperti itu, katanya polos. Teapi karena itu merupakan titah Ida Bhatara, tiang harus menjalaninya dengan tekun dan tulus. Kalau tidak nanti ada apa-apa yang terjadi dalam keluarga, tiang bisa repot.

Memang, banyak sekali orang-orang yang melakukan penolakan terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, apakah menjadi pemangku, sulinggih dan sebagainya, ujung-ujungnya orang itu sakit. Pada saat sakit itulah kemudian mereka baru ingat akan perintah tersebut. Kemudian baru menerima perintah itu setelah ada kejadian. Nah bagi Mangku Sunadi pengalaman itu tentu saja tidak ingin ia alami sendiri, sebab selain takut dirinya juga merasa wajib melakukan dharmaning agama sebagai umat Hindu.

"Tiang melakuka tugas sebagai Pemangku ini dengan perasaan tulus", seloteh Mangku Sunadi lugu. Kewajiban sebagai Pemangu Pura Ulun Siwi ini , Mangku harus bangun pagi-pagi kemudian membersihkan halaman di sekitar pura. Setelah itu mengecek seluruh palinggih di Pura itu lalu membersihkannya. Jika ada umat yang hendak bersembahyang, Mangku Sunadi harus siap melayaninya. Begitulah pekerjaan sehari-hari yang harus dilakukannya dalam rangka menjalani tugasnya sebagai seorang pengabih Ida Bhatara yang bersthana di Pura ini.

Yang lebih menarik lagi Pura sungsungannya merupakan pemurah terhadap keluarganya karena selama ngayah dari sang ayahnya mendapatkan sebuah pica dari Pura. Dan ini tiang pakai sebatas untuk keperluan keluarga. Pica tersebut adalah sebuah permata yang sangat dirahasiakan karena tidak berani diketahui oleh orang banyak. Bahkan paica tersebut bisa dipakai menyembuhkan penyakit bagi keluarganya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, papar Jero Mangku seraya merahasiakan nama Paica yang kini dimilikinya.
*Bali Aga 10 - 16 Agustus 2000

Perayaan Sivaratri adalah Momen Introspeksi Diri

Sivaratri, Momen Introspeksi Diri 

Rabu (29/1) ini, umat Hindu kembali merayakan Sivaratri. Hari suci yang datang setahun sekali itu dirayakan tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Lalu, apa sesungguhnya hakikat Sivaratri?
Sivaratri Kalpa
Deva Siva
Secara tatwa sesungguhnya Sivaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. Secara tatwa, sesungguhnya Sivaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya penyatuan Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri.
Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.
Perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.
Pada saat Sivaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.
Malam Sivaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini.
Teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Sivaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Sivaratri kalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Sivaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Sivaratri.
Waktu pelaksanaan Sivaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14 sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Sivaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).
Umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Sivaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan.
Sementara dalam buku ''MemahamiMakna Sivaratri'' karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Sivaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Sivaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.
Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Sivaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Sivaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Sivaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Sivaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan.

Dikutip dari wawancara Gusti Ketut Widana (pengamat agama) dan Made Surada (salah satu dosen IHDN Denpasar)