viral

loading...

Thursday, January 23, 2014

Makna Lubdhaka dalam Sivaratri

Lubdhaka dalam Sivaratri

lubdaka, lubdhaka

1.      Makna Kata Lubdhaka

Kata Lubdhaka berasal dari bahasa Sansekerta “Lubdhaka” yang berarti pemburu. Bukankah semua orang adalah pemburu? Ada yang berburu dharma, ada yang berburu artha da nada yang berburu kama. Secara umum sebagai seorang yang selalu mengejar buruan, yaitu binatang (sattwa). Kata sattwa berasal dari kata “Sat” yang artinya inti yang mulia atau hakekat, sedangkan twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti sifat inti atau hakekat. Dengan demikian, nama Lubdhaka melukiskan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Permasalahan selanjutnya, apakah hakekat hidup saat ini?
Bila ditinjau secara biologis, hidup ini belum dapat didefinisikan, karena kita ada dalam sistemnya. Tetapi jika dikaji secara filosofis-religius, hidup mengandung makna kesempatan untuk berkarma dan memperbaiki kualitas diri. Dalam kitab Rg Veda diuraikan, “Tuhan hanya mau menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri dan bekerja keras yang dilandasi oleh dharma”. Tujuan segala macam karma itu adalah pembebasan diri dari perputaran punarbhawa/reinkarnasi, sehingga bias mencapai moksa. Dengan demikian tujuan hidup ini adalah agar tidak hidup lagi dalam artian bersatu dengan Brahman.

2.      Tempat Tinggal Lubdhaka

Lubdhaka dikisahkan tinggal di atas puncak gunung yang indah, (…styangher I puncak nikang acala sobhatyanta ramyalango….). Dalam bahasa Sansekerta, gunung disebut acala yang berarti tidak bergerak/tetap. Gunung juga disebut Lingga-Acala yang artinya lingga yang tidak bergerak, bahkan Dewa Siva sendiri dipuja di puncak gunung Kailasa. Dalam konsep Tri Mandala arah gunung disebut sebagai utama mandala yang merupakan sumber air kehidupan dan prana (bayu) yang memungkinkan kita hidup.
Karena tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung, maka sangat beralasan jika ditafsirkan bahwa dia adalah seorang yang taat dan tekun memuja Siva (Siva-Lingga). Oleh karena itu, akan lebih tepat jika dia disebut sebagai seorang yogi.

3.      Alat Perburuan dan Binatang Buruan (Sattva)

Lubdhaka hanya membawa senjata panah yang merupakan simbolisasi manah : pikiran. Dengan senjata manah/pikiran ia selalu memburu binatang “budhi sattwa”. Untuk memndapat budhi sattwa ia mesti mengendalikan indriyanya (melupakan bekal makananya). Keadaan ini pula mengingatkan kita pada cerita Arjuna Wiwaha. Sang Arjuna bertapa di puncak gunung Indrakila dengan membawa senjata panah. Senjata tersebut dikutuk menjadi satu dengan panah Dewa Siva pada saat membunuh babi siluman. Hal ini mengandung makna bahwa tingkat tapa yang dilakukan oleh sang Arjuna telah mencapai puncaknya, sehingga pikiran beliau bias manunggal dengan Dewa Siva.
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka, meliputi gajah, badak dan babi hutan. Gajah dalam bahasa sansekerta berarti asti, yang mengandung makna astiti bhakti. Badak/warak mengandung arti tujuan, sedangkan babi hutan (waraha) dapat diartikan wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binantang buruan itu mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwa senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari astiti bhakti dengan tujuan untuk mendapatkan wara nugraha dari Dewa Siva.

4.      Wiagra (Harimau)

Selanjutnya terdapat symbol harimau (wiagra). Secara etimologis kata Wiagra berasal dari dua kata, yaitu wi : utama dan agra : puncak, jadi wiagra mengandung arti puncak yang utama. Puncak utama dalam kaitan pelaksanaan yoga adalah samdhi atau berkumpul dan kontak dengan Tuhan. Mereka yang telah mencapai tingkat Samadhi, segala pap/doas nerakanya akan terbakar oleh api gaib yang timbul dari kematangan yoganya. Karena papa neraka merupakan pahala dari dosa, maka berarti pula terleburnya dosa yang telah diperbuatnya. Anugrah yang diterima sang yogi sebagai anugrah yang diterima oleh Lubdhaka dari Dewa Siva adalah manunggalnya atma dengan Parama Atman.
Sebagaimana sabda Dewa Siva, “…. Kantenanya tanera bheda awakta lawan iki sariraninghulun”. Artinya tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku. Selain itu dari kitab Wrhaspati Tattva disebutkan bahwa seorang Yogiswara yang tentu telah mencapai kesadaran diri disebut sebagai seorang Pawak Bhatara dan memiliki sifat-sifat Asta Aiswarya. Selain itu dalam kesehariannya dia akan menampakkan sifat yang sesuai dengan kata Samadhi tersebut, Sama berarti sama dan Dhi berarti berpikir. Jadi Samadhi berarti berpikir sama atau seimbang.. pikirannya sama atau seimbang disaat menemukan kebahagiaan dan juga disaat menderita.

5.      Naik Pohon Bila

Lubdhaka naik pohon Bila (Irika tika nisadha mamenek pangning maja….). dalam hukum Vander Toek, PBW = RDL, jadi maja sama dengan baja berarti kokoh seperti baja. Atau bila menjadi wira yang berarti perwir, teguh hati dan tekun. Dengan demikian pohon Bila berarti symbol dari seseorang yang selalu bertumpu pada keteguhan hati.

6.      Takut Jatuh dan Memetik Daun Bila

Secara filosofis takut jatuh diartikan takut mengalami reinkarnasi. Menurut konsep reinkarnasi, kehidupan terjadi karena kejatuhan dari surge (Surga Cyuta) atau dari neraka (Neraka Cyuta). Kedua model “kejatuhan” ini akan menentukan kwalitas hidup manusia yang terlahir. Atas dasar itu, neraka atau surga bukanlah tujuan akhir dari sang atma. Semua atma ingin kembali bersatu dengan dia (Manunggaling kawula lawan gusti).
Agar tidak jatuh, manusia mesti senantiasa berintrospeksi diri. Kegiatan introspeksi diri dilambangkan dengan kolam yang diibaratkan sebuah cermin. Hal ini mengingatkan kita pada Kakawin Arjuna Wiwaha, yaitu “Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ringambeki yoga kiteng sakala”. Artinya ibarat bayangan bulan yang ada di tempayan, setiap air yang bersih akan menampakan bayangan bulan, demikianlah orang yang melaksanakan yoga, Beliau akan menampakkan diri.
Kolam yang berada di bawah pohon Bila adalah lambang cermin untuk mampu melihat bayangan sendiri yang mana dalam diri kita terdapat Sanghyang Atma yang disimbolkan dalam wujud lingga dalam kolam. Bagaimana caranya Lubdhaka melakukan introspeksi diri, dia melakukanya dengan memetik daun Bila dan dilemparkanya ke kolam sebanyak 108 lembar. Penjumlahan 108 mendapatkan angka 9, yang merupakan angka tertinggi. Angka 108 juga mengingatkan kita pada jumlah biji yang ada dalam ganitri atau japamala yang merupakan alat bantu untuk konsentrasi.

7.      Perang Yamabal dan Ganabala

Secara filosofis badan manusia dipandang sebagai medan pertempuran (Ksetra an Lingga Siva). Badan adalah tempat perjuangan dan merupakan alat untuk mencapai moksa (Moksanam sariram sadhanam) yang di dalamnya terdapat peperangan antara sifat keDewataan (ganabala) dan sifat keraksasaan (Kingkarabala). Kesadaran diri akan diperoleh jika kita bias memenangkan sifat-sifat keDewataan (Daiwi Sampad). Keadaan ini akan menjadikan badan sebagai Sivalingga. Dia akan berubah dari Manawa menjadi Madhawa dan tidak terjerumus menjadi Danawa.
Setelah pasukan gana memenangkan pertempuran, roh si Lubdhaka diusung oleh widyadara dan widyadari menuju alam sorga. Kata widya berasal dari akar kata Vid yang artinya pengetahuan suci. Dengan demikian yang menyelamatkan roh Lubdhaka adalah sebenarnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Lebih jauh Bhagavadgita IV.36 menguraikan, “Meskipun seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini lautan dosa akan engaku sebrangi”.


No comments:

Post a Comment