Filsafat Nyaya
A. Tuhan (Isvara)
Filsafat Nyaya Dalam Sad Darsana |
Karena Nyaya meyakini kebenaran Veda, maka penganut Nyaya
(Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siva. Acuan
terhadap adanya konsepsi Tuhan dapat dilihat di dalam Nyaya Sutra.
Nyaya-Vaisesika memberikan penjelasan yang rinci mengenai Tuhan dan
hubungannya dengan pembebasan (apavarga). Menurut pemikir sistem
ini jiwatman dapat mencapai pengetahuan sejati tentang realitas dan
mempunyai pengetahuan ini pembebasan dapat dicapai hanya melalui
anugerah Tuhan. Tanpa anugerah Tuhan tidak hanya pengetahuan sejati
kategori tidak juga tujuan tertinggi dapat dicapai oleh individu.
Bagaimanakah konsepsi Tuhan di dalam Nyaya Darsana? Menurut
Nyaya, Tuhan adalah penyebab tertinggi penciptaan, pemeliharaan dan
peleburan dunia. Ia tidak menciptakan dunia dari ketiadaan tetapi dari
atom-atom eternal; ruang, waktu, ether, pikiran (manas) dan jiwa-jiwa.
Penciptaan dunia berarti penataan entitas-entitas eternal
yang koeksis dengan Tuhan menjadi dunia motral, dimana roh-roh
individu menikmati dan menderita menurut merit perbuatan baik
dan perbuatan buruk, dan semua benda fisik melayani sebagai
sarana tujuan moral dan spiritual kehidupan kita, Tuhan
dengan demikian adalah pencipta dunia dan bukan penyebab materialnya. Ia juga
sebagai pemelihara dunia sepanjang dunia dijaga dalam eksistensi
oleh keinginan Tuhan. Ia juga sebagai pelebur yang mengijinkan
kekuatan destruksi beroperasi ketika tatanan dunia moral
menghendakinya. Kemudian Tuhan satu tak terbatas dan eternal, karena
dunia ruang dan waktu, pikiran dan jiwa-jiwa tidak membatasinya,
tetapi ia dihubungkan dengan Dia. Sebagai tubuh dan roh yang
bersemayam di dalamnya, Ia maha kuasa, walaupun Ia dipandu di dalam
aktivitas perbuatan buruk. Ia maha tahu sepanjang ia
mempunyai pengetahuan benar tentang semua benda dan
persitiwa. Ia mempunyai kesadaran eternal sebagai kekuatan kognisi
langsung dan teguh semua objek. Kesadaran eternal hanyalah atribut
Tuhan yang tidak dapat dipisahkan, bukan esensinya seperti dianut
oleh Vedanta. Ia memiliki enam kesempurnaan (Sadisvarya) dan magis,
maha agung, megah, indah tak terbatas, mempunyai pengetahuan tak
terbatas dan kebebasan sempurna dari kemelekatan.
Tuhan sebagai penyebab efisien dunia, demikian juga Tuhan
merupakan penyebab direktif tindakan-tindakan semua
makhluk hidup, tidak ada makhluk hidup di dunia ini yang bebas dari
kerja, ia secara relatif bebas, yaitu tindakan-tindakannya
dilakukan oleh dia dibawah direksi dan arahan Tuhan. Seperti
halnya dengan seorang ayah yang arif dan pemurah mengarahkan
anak-anaknya mengerjakan suatu aktivitas, menurut hadiah-hadiah,
kapasitas dan pencapaiannya sebelumnya; jadi demikian juga
Tuhan mengarahkan semua makhluk hidup melakukan tindakan-tindakan.
Sementara manusia adalah penyebab instrumental efisien (Prayojaka
karta). Jadi Tuhan adalah pengatur moral dunia beserta
semua makhluk hidup, sementara buah-buah perbuatan dan yang tertinggi
dari kenikmatan dan penderitaan kita.
B.
Bukti Eksistensi Tuhan
Bagaimana caranya membuktikan keberadaan Tuhan? Nyaya memberikan
penjelasan yang mendalam di dalam upaya membuktikan keberadaan Tuhan.
Teori dan pembuktian Tuhan sistem ini sudah mencakup semua argumen di dalam
filsafat Barat. Udayana di dalam bukunya Kusumanjali
memberikan bukti-bukti Tuhan sebagai berikut:
·
Karya. Dunia merupakan
sebuah efek dan oleh karena itu ia harus mempunyai penyebab
efisien. Agen intelegen ini adalah Tuhan, tatanan desain, koordinasi
antara fenomena-fenomena berbeda muncul dari Tuhan (Karyat), ini
merupakan argumen kosmologis.
·
Ayojana. Atom-atom karena
secara esensial tidak aktif, tidak dapat membentuk kombinasi-kombinasi
berbeda kecuali Tuhan memberikan gerakan kepada mereka, kekuatannya
yang tidak nampak (adrsta) membutuhkan intelegensi Tuhan. Tanpa
Tuhan ia tidak dapat memasok gerakan kepada atom-atom
(ayojanat).
·
Dhrstya. Dunia
diberlanjutkan melalui keinginan Tuhan. Adrsta yang tidak intelejen
tidak dapat melakukan hal ini, dunia dihancurkan oleh keinginan
Tuhan (adhrtyadeh).
·
Padat. Sebuah kata
mempunyai suatu makna dan mensignifikansikan suatu objek.
·
Pratyayata. Tuhan
adalah pencipta Veda yang bebas dari kesalahan (pratyayata).
·
Shruteh. Veda
mentestimonikan eksistensi Tuhan (Shruteh).
·
Vakya. Kalimat-kalimat
Veda berhubungan dengan ajaran-ajaran moral dan larangan-larangan
yang harus dihindari. Perintah Veda merupakan perintah Tuhan.
Tuhan merupakan pencipta dan penyebar hukum-hukum moral (Vakyat)
·
Sankhya Vishesa. Menurut
sistem filsafat Nyaya waisesika perpaduan dua atom
tidak disebabkan oleh perpaduan tak terbatas dari masing atom,
tetapi melalui jumlah kedua atom. Nomor satu secara langsung
diketahui, tetapi nomor-nomor lain penciptaan-penciptaan konseptual.
Konsepsi numerik dihubungkan dengan pikiran orang yang mengetahui.
Pada saat penciptaan, jiwa-jiwa tidak sadar, atom-atom dan kekuatan
tak nampak (adrsta) dan ruang, waktu, pikiran, semuanya tidak sadar. Oleh
karena itu konsep numerik bergantung kepada kesadaran
Tuhan. Jadi Tuhan harus eksis (Sankhyawishesa).
·
Adrsta. Kita memetik
buah-buah tindakan-tindakan kita. Perbuatan baik dan perbuatan buruk
muncul dari tindakan-tindakan kita dan simpanan perbuatan baik dan buruk
disebut adrsta.
Tetapi semua bukti pada akhirnya sia-sia. Nalar (reason) seperti
diperlihatkan oleh Kant ketika mengkritik argumen Descartes bagi
eksistensi Tuhan, mengarah kepada antinomi yang tidak terpecahkan.
Vedanti seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, Nimbarka, Vallabha menolak
argumen Nyaya dan jatuh kedalam Sruti saja bagi eksitensi Tuhan.
Kant di Barat dan Vedantin di India dipaksa untuk menghancurkan
nalar (reason). Dengan demikian Nyaya penganut Astika menopang Veda dari
aspek penalaran (reasoning).
C. Apavarga (Pembebasan)
Sistem darsana, termasuk Nyaya bertujuan untuk
mendapatkan pembebasan (apavarga).
Nyaya memberi kita Pengetahuan tentang
realitas untuk merealisasikan tujuan tertinggi, summum bonum.
Masing-masing sistem memberikan uraian keadaan jiwa. Bagi
Nyayayika ia merupakan keadaan negasi, total dan absolut dari
semua penderitaan. Keadaan ini berimflikasi bahwa ia merupakan sebuah
keadaan dimana jiwa dibebaskan dari semua ikatan hubungannya dengan tubuh
dan indra-indra. Sepanjang jiwa berhubungan dengan tubuh, mustahil
bagi jiwa mencapai keadaan bebas dari penderitaan. Tubuh dengan
indranya mustahil bisa menghindari kontak dengan objek-objek
yang menyenangkan maupun yang menyebabkan penderitaan, oleh
karena penderitaan tidak bisa dilepaskan. Dari sini dilihat
bahwa pembebasan, jiwa harus dibebaskan dari ikatan tubuh dan indra-indra.
Tetapi ketika mencapai apawarga, jiwa berhenti mengalami
tidak hanya kenikmatan tetapi juga penderitaan, tidak lagi mengalami hal-hal
apapun. Sehingga di dalam keadaan apawarga, jiwatman eksis
sebagai sebuah substan bebas dari semua hubungan dengan
tubuh, tidak ada penderitaan, tidak juga ada penikmatan, kebahagiaan dan bahkan
tidak juga mempunyi kesadaran.
Pembebasan (Apavarga) merupakan negasi penderitaan,
tidak dalam artian pengekangan untuk waktu yang lebih lama atau
pendek. Keadaan ini merupakan pembebasan absolut dari penderitaan
selama-lamanya. Di dalam kitab suci keadaan ini dijelaskan
sebagai bebas dari rasa ketakutan (abhyam) bebas dari
kehancuran dan perubahan (ajaran) bebas dari kematian (amrtyupadama) dan
sebagainya. Dengan demikian dalam keadaan pembebasan (apavarga)
jiwa kembali pada hakekatnya sejati sebagai substan yang tidak
berkesadaran bebas dari penikmatan karena penikmatan apapun
mempresuposisi kemelekatan.
Apawarga dicapai melalui pengetahuan benar tentang
jiwatman dan objek-objek pengalaman lain (Tattwajnana). Ia harus
tahu jiwatman sebagai berbeda dari tubuh, pikiran,
indra-indra, dan sebagainya. Untuk bisa melakukan realisasi
jiwatman pertama-tama kita harus mendengarkan ajaran
kitab suci mengenai jiwatman (srawana). Kemudian ia harus dengan kita
membangun pengetahuan jiwatman melalui sarana penalaran (manana).
Akhirnya, ia harus bermeditasi pada jiwatman sesuai dengan
prinsip-prinsip yoga (nidhidhyasana). Hal ini membantu dia merealisasikan
hakikat sejati jiwatman yang berbeda dari tubuh dan objek-objek lainnya.
Dengan realisasi ini pengetahuan yang salah (nithya jnana) bahwa aku
adalah tubuh dan pikiran dihancurkan dan ia berhenti digerakkan untuk bertindak
(prawrti) oleh keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan, ia berhenti
dipengaruhi oleh efek-efek tindakannya sekarang, dilakukan dengan
dilandasi oleh keikhlasan, tidak ada dorongan untuk mendapatkan
hasil-hasilnya. Karena masa lalunya dihancurkan dengan menghasilkan efek-efeknya,
individu tidak lagi mengalami kelahiran di dunia ini (janma).
Penghilangan kelahiran berarti akhir hubungannya dengan tubuh
dan konskuensinya, yaitu penderitaan (duhkha); dan inilah
pembebasan (apawarga). Dengan demikian apawarga hanya mungkin dicapai ketika
jiwatman tidak lagi bersemayam di dalam tubuh; atau dengan kata lain ketika
seseorang telah meninggal dunia.
No comments:
Post a Comment