Lubdhaka dalam Sivaratri
1. Makna Kata Lubdhaka
Kata Lubdhaka berasal dari bahasa Sansekerta “Lubdhaka” yang berarti pemburu. Bukankah semua
orang adalah pemburu? Ada yang berburu dharma, ada yang berburu artha da nada yang
berburu kama. Secara umum sebagai seorang yang selalu mengejar buruan, yaitu
binatang (sattwa). Kata sattwa berasal dari kata “Sat” yang artinya inti yang
mulia atau hakekat, sedangkan twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti sifat
inti atau hakekat. Dengan demikian, nama Lubdhaka melukiskan orang yang selalu
mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Permasalahan selanjutnya, apakah hakekat hidup saat ini?
Bila ditinjau secara biologis, hidup ini belum dapat didefinisikan,
karena kita ada dalam sistemnya. Tetapi jika dikaji secara filosofis-religius,
hidup mengandung makna kesempatan untuk berkarma dan memperbaiki kualitas diri.
Dalam kitab Rg Veda diuraikan, “Tuhan hanya mau menolong orang yang mau
menolong dirinya sendiri dan bekerja keras yang dilandasi oleh dharma”. Tujuan segala
macam karma itu adalah pembebasan diri dari perputaran punarbhawa/reinkarnasi,
sehingga bias mencapai moksa. Dengan demikian tujuan hidup ini adalah agar
tidak hidup lagi dalam artian bersatu dengan Brahman.
2.
Tempat
Tinggal Lubdhaka
Lubdhaka dikisahkan tinggal di atas puncak gunung yang indah, (…styangher I puncak nikang acala
sobhatyanta ramyalango….). Dalam bahasa Sansekerta, gunung disebut acala
yang berarti tidak bergerak/tetap. Gunung juga disebut Lingga-Acala yang
artinya lingga yang tidak bergerak, bahkan Dewa Siva sendiri dipuja di puncak
gunung Kailasa. Dalam konsep Tri Mandala arah gunung disebut sebagai utama
mandala yang merupakan sumber air kehidupan dan prana (bayu) yang memungkinkan
kita hidup.
Karena tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung, maka sangat beralasan
jika ditafsirkan bahwa dia adalah seorang yang taat dan tekun memuja Siva (Siva-Lingga).
Oleh karena itu, akan lebih tepat jika dia disebut sebagai seorang yogi.
3.
Alat
Perburuan dan Binatang Buruan (Sattva)
Lubdhaka hanya membawa senjata panah yang merupakan simbolisasi manah :
pikiran. Dengan senjata manah/pikiran ia selalu memburu binatang “budhi sattwa”.
Untuk memndapat budhi sattwa ia mesti mengendalikan indriyanya (melupakan bekal
makananya). Keadaan ini pula mengingatkan kita pada cerita Arjuna Wiwaha. Sang Arjuna
bertapa di puncak gunung Indrakila dengan membawa senjata panah. Senjata tersebut
dikutuk menjadi satu dengan panah Dewa Siva pada saat membunuh babi siluman. Hal
ini mengandung makna bahwa tingkat tapa yang dilakukan oleh sang Arjuna telah
mencapai puncaknya, sehingga pikiran beliau bias manunggal dengan Dewa Siva.
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka, meliputi gajah, badak dan babi hutan.
Gajah dalam bahasa sansekerta berarti asti, yang mengandung makna astiti
bhakti. Badak/warak mengandung arti tujuan, sedangkan babi hutan (waraha) dapat
diartikan wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binantang buruan itu mengandung makna bahwa Lubdhaka
dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwa senantiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang didasari astiti bhakti dengan tujuan untuk mendapatkan
wara nugraha dari Dewa Siva.
4.
Wiagra
(Harimau)
Selanjutnya terdapat symbol harimau (wiagra). Secara etimologis kata Wiagra
berasal dari dua kata, yaitu wi : utama dan agra : puncak, jadi wiagra
mengandung arti puncak yang utama. Puncak utama dalam kaitan pelaksanaan yoga
adalah samdhi atau berkumpul dan kontak dengan Tuhan. Mereka yang telah
mencapai tingkat Samadhi, segala pap/doas nerakanya akan terbakar oleh api gaib
yang timbul dari kematangan yoganya. Karena papa neraka merupakan pahala dari
dosa, maka berarti pula terleburnya dosa yang telah diperbuatnya. Anugrah yang
diterima sang yogi sebagai anugrah yang diterima oleh Lubdhaka dari Dewa Siva
adalah manunggalnya atma dengan Parama Atman.
Sebagaimana sabda Dewa Siva, “…. Kantenanya
tanera bheda awakta lawan iki sariraninghulun”. Artinya tiada bedanya dirimu
dengan diri-Ku. Selain itu dari kitab Wrhaspati Tattva disebutkan bahwa seorang
Yogiswara yang tentu telah mencapai kesadaran diri disebut sebagai seorang Pawak Bhatara dan memiliki sifat-sifat
Asta Aiswarya. Selain itu dalam kesehariannya dia akan menampakkan sifat yang
sesuai dengan kata Samadhi tersebut, Sama
berarti sama dan Dhi berarti
berpikir. Jadi Samadhi berarti berpikir sama atau seimbang.. pikirannya sama
atau seimbang disaat menemukan kebahagiaan dan juga disaat menderita.
5.
Naik
Pohon Bila
Lubdhaka naik pohon Bila (Irika
tika nisadha mamenek pangning maja….). dalam hukum Vander Toek, PBW = RDL,
jadi maja sama dengan baja berarti kokoh seperti baja. Atau bila menjadi wira
yang berarti perwir, teguh hati dan tekun. Dengan demikian pohon Bila berarti symbol
dari seseorang yang selalu bertumpu pada keteguhan hati.
6.
Takut
Jatuh dan Memetik Daun Bila
Secara filosofis takut jatuh diartikan takut mengalami reinkarnasi. Menurut
konsep reinkarnasi, kehidupan terjadi karena kejatuhan dari surge (Surga Cyuta)
atau dari neraka (Neraka Cyuta). Kedua model “kejatuhan” ini akan menentukan
kwalitas hidup manusia yang terlahir. Atas dasar itu, neraka atau surga
bukanlah tujuan akhir dari sang atma. Semua atma ingin kembali bersatu dengan
dia (Manunggaling kawula lawan gusti).
Agar tidak jatuh, manusia mesti senantiasa berintrospeksi diri. Kegiatan introspeksi
diri dilambangkan dengan kolam yang diibaratkan sebuah cermin. Hal ini
mengingatkan kita pada Kakawin Arjuna Wiwaha, yaitu “Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, ndan asing suci nirmala mesi wulan,
iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, ringambeki yoga kiteng sakala”. Artinya ibarat
bayangan bulan yang ada di tempayan, setiap air yang bersih akan menampakan
bayangan bulan, demikianlah orang yang melaksanakan yoga, Beliau akan
menampakkan diri.
Kolam yang berada di bawah pohon Bila adalah lambang cermin untuk mampu
melihat bayangan sendiri yang mana dalam diri kita terdapat Sanghyang Atma yang
disimbolkan dalam wujud lingga dalam kolam. Bagaimana caranya Lubdhaka
melakukan introspeksi diri, dia melakukanya dengan memetik daun Bila dan
dilemparkanya ke kolam sebanyak 108 lembar. Penjumlahan 108 mendapatkan angka
9, yang merupakan angka tertinggi. Angka 108 juga mengingatkan kita pada jumlah
biji yang ada dalam ganitri atau japamala yang merupakan alat bantu untuk
konsentrasi.
7.
Perang
Yamabal dan Ganabala
Secara filosofis badan manusia dipandang sebagai medan pertempuran
(Ksetra an Lingga Siva). Badan adalah tempat perjuangan dan merupakan alat
untuk mencapai moksa (Moksanam sariram sadhanam) yang di dalamnya terdapat
peperangan antara sifat keDewataan (ganabala) dan sifat keraksasaan
(Kingkarabala). Kesadaran diri akan diperoleh jika kita bias memenangkan
sifat-sifat keDewataan (Daiwi Sampad). Keadaan ini akan menjadikan badan
sebagai Sivalingga. Dia akan berubah dari Manawa menjadi Madhawa dan tidak
terjerumus menjadi Danawa.
Setelah pasukan gana memenangkan pertempuran, roh si Lubdhaka diusung
oleh widyadara dan widyadari menuju alam sorga. Kata widya berasal dari akar
kata Vid yang artinya pengetahuan suci. Dengan demikian yang menyelamatkan roh Lubdhaka
adalah sebenarnya ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Lebih jauh
Bhagavadgita IV.36 menguraikan, “Meskipun seandainya engkau paling berdosa
diantara manusia yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini lautan
dosa akan engaku sebrangi”.
No comments:
Post a Comment