Sāṁkhya Darśana
a. Pendiri dan Pokok Ajarannya

Demikian pula, dalam
filsafat Sāṁkhya, tiga Pramānā telah diterimanya. Pendiri dari
sistem filsafat ini adalah Mahaṛṣi Kapila Muni, yang dikatakan sebagai
putra Brahma dan Avatāra dari Viṣṇu. Pada sistem Sāṁkhya
tak ada penyelidikan secara analitik ke dalam alam semesta, seperti keberadaan
yang sesungguhnya yang merupakan susunan menurut topik-topik dan kategori-kategori,
namun terdapat suatu sistem tiruan yang diawali dari satu Tattva atau
prinsip mula-mula atau Prakṛti, yang berkembang atau yang menghasilkan (prakaroti)
sesuatu yang lain. Sāṁkhya Darśana didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni,
ini adalah filsafat yang paling kuno. Filsafat ini dibangun oleh Rṣi Kapila.
Sebuah teks yang ditulis oleh Ishwar Krishna disebut ‘Sānkhyakārika’ adalah
sumber terpercaya prinsip pengetahuan dalam filsafat ini. Hal ini ditulis dalam
Aryan Chand (sejenis puisi Sanskṛta kuno) dan berisi 72 Karikas
(koleksi memorial ayat tentang topik filosofis) yang menerjemahkan Sāṁkhya
Siddhant (Doktrin Sāṁkhya) yang jelas dan eksplisit.
Para ahli merasa
bahwa beberapa orang mungkin telah belajar menulis Sāṁkhya Sūtra dan
Sūtra Sānkhyasamās dalam nama Rṣi Kapila, karena tidak ada yang menyebutkan
bahwa dua teks tersebut ditulis pada 1500 SM. Oleh karena itu, apapun
pengetahuan yang kita dapat dari ajaran Sāṁkhya sekarang didasarkan pada
Sāṁkhya Karikas. Ajaran Sāṁkhya merupakan filsafat yang menerima
24 Kebenaran dari Prakṛti (Alam benda) dan 25 kebenaran Puruṣa (Jiwa).
b. Konsep Puruṣa dan
Prakṛti
Seperti yang telah
disinggung di atas, Sāṁkhya mempergunakan 3 sistem atau cara mencari
pengetahuan dan kebenaran, yaitu Pratyakṣa (pengamatan langsung), Anumāṇa
(penyimpulan), dan Apta Vākya (penegasan yang benar). Kata Apta artinya
‘pantas’ atau ‘benar’ yang ditunjukkan kepada wahyu-wahyu Veda atau
guru-guru yang mendapatkan wahyu. Sistem Sāṁkhya umumnya dipelajari
setelah system Nyāya, karena ia merupakan sistem filsafat yang hebat, di
mana para filsuf barat juga sangat mengaguminya, karena secara pasti ia menekankan
pluralitas dan dualitas, karena mengajarkan bahwa ada Puruṣa atau roh
yang banyak sekali. Sāṁkhya menyangkal bahwa suatu benda dapat
dihasilkan melalui ketiadaan. Prakṛti dan Puruṣa adalah Anādi (tanpa
awal) dan Ananta (tanpa akhir; tak terbatas). Ketidakberbedaan (Aviveka)
antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan kematian. Perbedaan
antara Prakṛti dan Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan).
Baik Prakṛti maupun Puruṣa adalah Sat (nyata). Puruṣa bersifat
Asaṅga (tak terikat) dan merupakan kesaḍaran yang meresapi segalanya dan
abadi.
Prakṛti merupakan
si pelaku dan si penikmat, yang tersusun dari asas materi dan rohani yang
memiliki atau terpengaruh oleh 3 Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam,
Rājas dan Tamas. Prakṛti artinya ‘yang mula-mula’, yang mendahului
dari apa yang dibuat dan berasal dari kata ‘Pra’ (sebelum), dan ‘Kri’
(membuat yang mirip dengan Māyā dan Vedānta. Prakṛti merupakan
sumber dari alam semesta dan ia juga disebut Pradhāna (pokok), karena
semua akibat ditemukan padanya dan juga merupakan sumber dari segala benda.
Pradhāna dan Prakṛti
adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cuma satu
adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti
hanya bergantung pada aktivitas dari unsur pokok Guṇa-nya sendiri.
Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan saling menunjang satu sama lainnya,
serta saling bercampur. Ia membentuk substansi Prakṛti. Akibat dari
pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidakseimbangan tri
guṇa tersebut yang menimbulkan evolusi atau perwujudan. Prakṛti berkembang
di bawah pengaruh Puruṣa. Produk awal dari evolusi Prakṛti adalah
Mahat atau Kecerdasan Utama, yang merupakan penyebab alam semesta dan
selanjutnya muncul Buddhi dan Ahaṁkāra. Dari Ahaṁkāra muncul
Manas atau pikiran, yang membawa perintah-perintah dari kehendak melalui
organ-organ kegiatan (Karma Indriya). Sattvam merupakan
keseimbangan, sehingga apabila Sattvam lebih berpengaruh, terjadilah
kedamaian atau ketenangan. Rājas merupakan aktivitas, yang dinyatakan sebagai
Rāga-Dveṣa, yaitu suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan.
Tamas merupakan belenggu dengan kecenderungan kelesuan, kemalasan, dan
kegiatan yang dungu atau bodoh, yang menyebabkan khayalan atau Aviveka (tanpa
perbedaan). Sāṁkhya menerima teori pengembangan dan penyusutan, di mana
sebab dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang dan pengembangan dari
suatu substansi yang sama.
Gambaran sentral dari
filsafat Sāṁkhya adalah bahwa akibat benar-benar ada sebelumnya di dalam
penyebab, seperti seluruh keberadaan pepohonan yang dalam keadaan terpendam
atau tertidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam raya ini ada dalam
keadaan tertidur dalam Prakṛti, yaitu Avyakṛta (tak terbedakan). Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang proses pengembangan dan penyusutan,
Sāṁkhya menguraikannya sebagai berikut: dari pertemuan antara Puruṣa dan
Prakṛti, timbullah Mahat (yang agung), yang merupakan benih alam
semesta, di mana segi psikologinya disebut sebagai Buddhi, yang memiliki
sifat-sifat kebajikan, pengetahuan, tidak bernafsu. Perbedaan antara Mahat dan
Buddhi adalah, Mahat merupakan asas kosmis sedangkan Buddhi merupakan
asas kejiwaan (merupakan unsur kejiwaan tertinggi). Dari Buddhi timbullah
Ahaṁkāra yang merupakan asas individuasi atau asas keakuan, yang menyebabkan
segala sesuatu memiliki latar belakang sendiri-sendiri.
Perkembangan kejiwaan
yang pertama adalah Ahaṁkāra adalah Manas yang merupakan pusat
indra yang bekerja sama dengan indra-indra yang lain mengamati kenyataan di
luar badan manusia. Tugas Manas adalah untuk mengkoordinir rangsangan-rangsangan
indra, dan mengaturnya sehingga menjadi petunjuk dan meneruskannya kepada Ahaṁkāra
dan Buddhi. Sebaliknya, Manas juga bertugas meneruskan
putusan kehendak Buddhi kepada peralatan indra yang lebih rendah. Buddhi,
Ahaṁkāra dan Manas secara bersama-sama disebut sebagai peralatan
bhatin atau Antaḥkaraṇa.
Perkembangan kejiwaan
yang kedua adalah Pañca Indra persepsi (Buddhendriya atau Jñānendriya),
yaitu :
- Penglihatan
- Pendengaran
- Penciuman
- Perabaan
- Perasa
Perkembangan kejiwaan
yang ketiga disebut sebagai Karmendriya atau organ penggerak, yaitu :
- Daya untuk berbicara
- Daya untuk memegang
- Daya untuk berjalan
- Daya untuk membuang kotoran
- Daya untuk mengeluarkan benih
Perkembangan fisik
menghasilkan asas dunia luar, yang disebut 5 unsur dan perkembangan melalui 2
tahapan, yaitu :
- Pada tahap pertama, berbentuk unsur halus (Pañca Tanmātra) yaitu sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa, dan sari bau.
- Pada tahapan kedua terjadi kombinasi dari unsur-unsur halus yang menimbulkan unsur-unsur kasar yang disebut pañca mahābhūta, yaitu :Ākāśa (ether, ruang), Vāyu (udara), Agni atau Tejah (api/panas), Āpah (air), dan Pṛthivī (tanah).
c. Tri Guṇa
Prakṛti dibangun
oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas, dan Tamas. Guṇa artinya
unsur, atau komponen penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan
indra. Adanya itu disimpulkan atas objek dunia ini yang merupakan akibat
daripadanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat
kita ketahui sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang merupakan wujud hasil
daripadanya. Semua objek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan
rasa senang, susah, dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang
seniman, menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh.
Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu
haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas, dan Tamas itu.
- Sattva adalah suatu Prakṛti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak ke atas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan, dan sebagainya.
- Rājas adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran ke sana ke mari. Ialah yang menggerakkan Sattva dan Tamas untuk melaksanakan tugasnya.
- Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan gerak pikiran, hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktivitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, atau tidur.
Ketiga guṇa ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mendukung
satu sama lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan ‘lampu minyak’ yang terdiri
atas unsur nyala, unsur minyak, dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri
tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan
dan peniadaan, Sattva adalah penciptaan, Rājas adalah
pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakṛti dicirikan oleh
adanya tiga guṇa di atas. Kata guṇa artinya adalah kualitas atau
sifat dari Prakṛti, tetapi tidak sekadar aspek permukaan dari alam
materiil ini, tapi hakikat intrinsik dari Prakṛti. Guṇa itu
selalu berubah dari dalam dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan,
hanya saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu.
Bila keseimbangan terganggu maka guṇa dalam situasi Guṇaksobha,
di mana masing-masing guṇa beraksi satu sama lainnya yang disebabkan
karena salah satu guṇa secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guṇa
lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka
yang dominan adalah Tamas Guṇa dibandingkan dengan dua guṇa lainnya.
Dalam sesuatu ang bergerak maka Rājas Guṇa dominan dari pada dua guṇa
lainnya.
Demikianlah guṇa itu
bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guṇa-Guṇa itu
dapat dimengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik
secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau
pikiran, yang semuanya memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan,
penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali
menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak
keduanya itu. Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya,
tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar
wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat
‘kecantikan’ dari wanita itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dengan
orang-orang lainnya di sekitarnya, yang muncul dari guṇa yang ada pada
dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul
dari semua fenomena Prakṛti yang memiliki ciri-ciri yang dapat kita
temukan pada objek-objek dunia ini. Prakṛti dan produk-produk yang
dihasilkannya membutuhkan guṇa tersebut karena Prakṛti dan
produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Puruṣa.
Mereka adalah objek sedangkan Puruṣa adalah subjek.
Filsafat Sāṁkhya menyatakan
bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari Guṇa, di mana dalam
keadaan ketiga Guṇa itu seimbang alami disebut Prakṛti dan dalam
keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikṛti, yaitu keadaan yang
heterogen. Tiga Guṇa ini oleh filsuf Sāṁkhya yang beraliran
nontheistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktivitas dan Tamas adalah
berat dan gelap, lesu atau menutupi. Guṇa itu tidak berbentuk dan selalu
ada (omnipresent) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya
ke dalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas dikatakan
sebagai pusat dari Sattva dan Tamas, yang menghasilkan penciptaan
karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rājas menghasilkan pasangan-pasangan
yang berlawanan. Sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattva dan
Tamas, karena aktivitas tidak akan terjadi tanpa adanya objek di mana ia
beraktivitas. Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guṇa mendominasi
dua guṇa lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah
atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara
satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika
mengalami kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah menjadi
bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barangkali percepatan berkurang dan mereka
mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari kekuatan Sattvika
maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan
dari kekuatan aktif (Rājas) juga terjadi pada Tamas dan dalam
kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guṇa itu
secara terus menerus mengubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya.
Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva
pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan
pergantian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan
dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain
merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam
penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi
kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, dari mana ia
memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang
sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu dari proses evolusi itu
sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflik yang berkesinambungan antara Guṇa
itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan
oleh karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan
kehidupan individual terus berlangsung. Guṇa itu memiliki peranan yang
sama dalam tubuh dan pikian manusia seperti halnya yang terjadi pada alam
semesta secara keseluruhan.
d. Evolusi Alam Semesta
Prakṛti akan
mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan Puruṣa. Melalui
perhubungan ini Prakṛti dipengaruhi oleh Puruṣa seperti halnya
anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta
tidak mungkin terjadi hanya karena Puruṣa, karena ia bersifat pasif.
Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena
perhubungan Puruṣa dan Prakṛti ini adalah seperti kerja sama
orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekerja sama
untuk mencapai tujuannya.
Hubungan antara Puruṣa
dan Prakṛti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam Tri Guṇa.
Yang mula-mula tergantung ialah Rājas dan menyebabkan Guṇa yang
lain ikut terguncang pula. Masing-masing Guṇa itu berusaha mengatasi kekuatan
Guṇa lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan Tri Guṇa itu
yang menyebabkan munculnya objek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari Prakṛti
ialah Mahat dan Buddhi. Mahat adalah benih besar alam
semesta ini sedangkan Buddhi adalah unsur intelek Fungsi buddhi ialah
untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari
alat-alat yang lebih rendah daripadanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma,
jñana, vāiragya, dan aiṣarya yaitu kebijakan, pengetahuan,
tidak bernafsu, dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahaṁkāra atau
rasa aku adalah hasil Prakṛti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat
dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahaṁkāra ialah
merasakan rasa aku. Dengan Ahaṁkāra sang diri merasa dirinya yang
bertindak, yang ingin, dan yang bermilik. Ada tiga macam Ahaṁkāra sesuai
dengan Guṇa mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahaṁkāra itu
disebut sattvika bila unsur Sattvam yang unggul, Rājasa bila
Rājas yang unggul dan Tamasa bila Tamas yang unggul. Dari Sattvika
timbullah pañca jñanendriya, pañca karmendriya, dan manas.
Dari Tamasa lahirlah pañca tanmātra sedangkan Rājasa memberikan
tenaga baik pada Sattvika maupun Tamasa untuk mengubah manas berfungsi
menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
Pañca tanmātra adalah
sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa, dan bau. Semuanya ini hanya
diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat
dikenal karena amat halusnya. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam
semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan
azas-azas baru lagi seperti dalam perkembangan Mahat. Suatu azaz lagi
setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai di situ, sebab
ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam
ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan, dan
kesusahan hidup ini. Evolusi Prakṛti menjadi objek yang memungkinkan roh
nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatannya. Namun tujuan akhir
evolusi Prakṛti ialah kelepasan.
e. Ajaran tentang Kelepasan
Hidup di dunia ini
adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati,
banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindarkan
diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari
ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika,
Adhibāutika, dan Adhidāivika.
- Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut, marah, dan sebagainya.
- Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk, dan sebagainya.
- Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Tidak ada seorang pun
yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan
sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan
lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan
demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa
saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
Dalam ajaran Sāṁkhya
kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan.
Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan
sepenuh-penuhnya. Sāṁkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu
ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya
pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita. Dalam banyak hal
orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan
terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya
orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak
sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan
dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.
Sad Darsana yang selanjutnya adalah Yoga Darsana...
Sad Darsana yang selanjutnya adalah Yoga Darsana...
No comments:
Post a Comment