Pengertian Padewasan
Hari baik atau hari buruk adalah berkaitan dengan waktu
untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Bagi Umat Hindu baik di Bali maupun
di luar Bali penentuan waktu untuk melakukan suatu aktivitas tertentu dikenal
dengan istilah Padewasan. Berbagai etnis di Indonesia juga mengenal istilah hari
baik atau hari buruk. Tetapi tidak sedikit juga tidak percaya. Mereka berasumsi
semua hari sama saja. Baik atau buruk tergantung pada manusianya. Mungkin ada
benarnya bahwa semua tergantung manusia (sesuai konsep hukum karma phala).
Tetapi pemahaman bahwa semua hari adalah sama, sangat keliru. Bagi yang
meyakini tentang baik buruknya hari mungkin apa yang dibahas di sini dapat menjadi
penguat keyakinan tersebut, sedangkan bagi yang belum yakin dengan apa yang
disampaikan secara logika dapat diterima bahwa memang ada pengaruh hari
terhadap kehidupan manusia.
Sebelum itu mari kita mencoba untuk memahami pengertian hari
baik dan hari buruk. Dalam hal ini hari baik atau hari buruk adalah waktu atau
hari yang tepat untuk melakukan aktivitas tertentu agar aktivitas kita
semaksimal mungkin dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dan mencapai tujuan
yang maksimal. Lalu kenapa harus menentukan waktu? Nah disinilah bermula kita
berpikir. Perkembangan padewasan
tidak bisa dilepaskan dari sumbernya
yakni Veda. Veda dalam pemahamannya memerlukan ilmu bantu yang dinamakan dengan
Vedangga. Vedangga ini ada enam jenis, diantaranya:
- Siksa, mempelajari fonetik Veda.
- Vyakarana, mempelajari gramatikal atau tata bahasa Veda.
- Chanda mempelajari irama, lagu dan persajakan dalam sloka-sloka veda.
- Nirukta merupakan mempelajari tentang asalusul dan arti kata (etymologi) dalam Veda.
- Jyotisa adalah pengetahuan tentang Astronomi dan Astrologi; dan
- Kalpa adalah pengetahuan tentang tata cara melaksanakan upacara.
Bhagawan Atri atau Maharsi Atri adalah salah satu dari tujuh
orang Maharsi penerima wahyu Veda (Sapta Rsi) yang secara khusus menerima
tentang Jyotisa (ilmu bintang), yang kemuadian
diturunkan pada muridnya yang bernama Bhagawan Garga. Jyotisa ini selanjutnya menjadi salah satu ilmu
bantu untuk memahami ajaran Veda yang suci sesuai keterangan tersebut. Jyotisa sebagai alat bantu Veda disistematiskan
dan dijelaskan oleh Maharsi Garga. Jyotisa
diperkirakan disusun kira-kira 1200
tahun SM. Pengetahuan ini sangat berguna dalam penentuan hari baik dalam
melaksanakan upacara-upacara Veda. Lebih jauh pembicaraan seputar Astromoni dan
Astrologi dalam khasanah kesusastraan Hindu dijelaskan pula pada kitab Purana, Dharmasastra dan Itihasa.
Secara tersurat pada teks inilah dapat dilihat dengan jelas
pembagian yuga (zaman) menjadi empat yakni ; satya yuga, traita yuga, dwapara
yuga dan kali yuga. Satu yuga umurnya
432.000 tahun; 1000 yuga
menjadi 1 kalpa. Sistem
tarikh/perhitungan tahun yang dipakai di India sebelum penyebaran Hindu ke
Nusantara adalah Çakavarsa
atau Tahun Çaka. Penciptaan tahun ini
adalah momentum terpenting dari berkuasanya Maharaja Kaniska dari dinasti Çaka.
Permulaan tahun Çaka dimulai setelah tahun 78 M, diawali oleh sebuah kejadian
Astronomis, pada hari minggu tanggal 21 Maret 79 tilem caitra/kesanga, diumumkanlah oleh raja Kaniskha tarikh
baru yang kemudian dinamakan dengan Çakavarsa
atau tahun Çaka, perhitungan tahunnya dimulai
pada jam 00.00, tanggal 22 Maret tahun 79 Masehi (penanggal pisan sasih
Waisyaka/Kedasa) Penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia selanjutnya membawa konsep-konsep tarikh/perhitungan
tahun ke Nusantara. Bukti-bukti dari adanya penyebaran Hindu terutama tarikh
Çaka, Jyotisa dan sistem kalendernya dapat dilihat
pada pencantuman angka tahun Çaka, istilah-istilah hari dan bulan pada sebagian
besar prasasti-prasasti di Nusantara. Tradisi Astronomi Nusantara telah
memiliki interprestasi khusus atas benda-benda angkasa seperti matahari, bulan
bintang dan komet. Kemunculan dari benda-benda angkasa ini dipakai oleh
masyarakat untuk menentukan berbagai keperluan misalnya menentukan hari baik,
masa tanam, arah pelayaran dan lain-lain. Selanjutnya dari pertanda alam tersebut
Astronomi berkembang menjadi Astrologi dan dipakai untuk memprediksi musim,
cuaca, atau meramal berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan
alam sekitarnya, sehingga pengaruh benda-benda langit menjadi penting dalam
kehidupan masyarakat Hindu.
Dalam kehidupan masyarakat Hindu terdapat suatu pandangan
kosmis, dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja
yang ikut terbang oleh proses peredaran alam semesta yang Maha Besar. Pandangan
Kosmos mendasari manusia untuk selalu membangun hubungan yang harmonis antara
makrokosmos dengan mikrokosmos guna mewujudkan ketentraman batin dalam
kehidupan. Planet-planet di alam ini saling mempengaruhi. Matahari, bulan,
dengan berbagai planet yang mengelilingi bumi berpengaruh terhadap semua
makhluk hidup dan benda tak hidup yang ada di bumi. Memang yang paling dominan
terasa di bumi adalah pengaruh matahari dan bulan yang secara langsung bisa
kita rasakan dengan adanya siang dan malam serta adanya musim-musim tertentu
yang berbeda di berbagai belahan bumi. Para astrologi tahu benar tentang
pengaruh berbagai planet yang ada di alam terhadap di bumi. Jika kita pahami bagaimana
proses penciptaan bhuwana agung dan hubungannya dengan proses penciptaan bhuwana
alit maka kita tidak dapat menolak betapa kita sebagai manusia sangat dipengaruhi
oleh guna (sifat dasar) dari alam. Nama-nama hari disesuaikan dengan pengaruh
dominan planet tertentu. Planet-planet tersebut memiliki komposisi guna (sifat
dasar) yang berbeda. Secara sederhana, siang hari dominan pengaruh matahari,
sifat matahari panas. Malam hari dominan pengaruh bulan (sifat bulan lembut).
Disamping pengaruh kedua planet tersebut yang dapat kita rasakan secara
langsung, planet-planet yang lain juga memiliki pengaru atas kehidupan di bumi
ini. Dari segi waktu juga pagi hari berbeda pengaruh planet matahari dengan
siang hari atau sore hari. Jadi setiap waktu berbeda dan hari yang berbeda akan
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kehidupan di bumi.
Para ahli astrologi, ( yang ilmunya diwarisi dari para Rsi
waskita secara turun temurun ribuan tahun) membuat pemetaan pengaruh planet-planet
tersebut, sehingga mengampil kesimpulan bahwa untuk waktu/hari tertentu adalah
baik untuk aktivitas tertentu atau sebaliknya buruk untuk aktivitas lainnya.
Kalau sulit memahami konsep ini, sederhana kita mengambil asumsi bahwa jalan-jalan/lari-lari
untuk kesehatan baik di pagi hari, dan tidak baik di siang hari. Istirahat/tidur
baik di malam hari.
Jadi apapun pendapat kita tentang hari secara de facto bahwa alam mempengaruhi setiap
aktivitas manusia. Lantas apa peranan manusia? Disinilah peranan keputusan setiap
individu untuk menyikapi dan mengambil keputusan terhadap apa yang disediakan
oleh alam. Untuk menghindari pengaruh panas matahari maka orang akan mengambil
keputusan tidak beraktivitas di siang hari terik. Kalau terpaksa harus beraktivitas
menggunakan alat pelindung seperti topi atau payung. Zaman sekarang orang
beraktivitas dengan gedung fasilitas ruang ber AC. Apakah masih berpendapat bahwa
benda tidak berpengaruh pada manusia?
Padewasan berasal
dari kata “dewasa” mendapat awalan pa- dan akhiran -an (padewasa-an). Dewasa artinya
hari pilihan, hari baik. Padewasan
berarti ilmu tentang hari yang baik. Dewasa Ayu artinya hari
yang baik untuk melaksanakan suatu.
Selanjutnya kata “divesa” dalam bahasa Sansekerta berasal dari
akar kata “div” yang artinya
sinar. Dari kata div
lalu menjadi divesa yang berarti sorga, langit, hari. Dari
uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa kiranya kata divesa itulah mengalami peluluhan pengucapan
menjadi kata “dewasa”
yang berarti hari pilihan atau hari
yang baik. Berdasarkan dua konsep pengertian “dewasa”
tersebut dapat disimpulkan bahwa dewasa
adalah hari pilihan atau hari yang
baik. Kata dewasa sering dikaitkan dengan kata wariga yang dalam bahasa Bali jika ditinjau
dari segi sejarah bahasa, memiliki hubungan genetik dengan bahasa Sansekerta
dan Jawa Kuna. Dalam bahasa Sansekerta dikenal sebuah kata ‘vara’ yang artinya terbaik, berharga, terbaik
diantara, lebih baik daripada. Kata vara dalam bahasa Sansekerta kemuadian
menjadi wara dalam bahasa Jawa Kuna, yang berarti pilihan,
harapan, anugerah, hadiah, kemurahanhati; terpilih, berharga, bernilai, terbaik
paling unggul diantara. Dalam bahasa Jawa Kuno juga dikenal kata wara yang memakai ā dirgha (panjang) mempunyai arti waktu yang
telah ditetap untuk sesuatu.
Dalam teks Wariga Gemet dijelaskan tentang akar/urat kata wariga seperti tersebut ;
‘ika
pawaking sang wiku, wruhing wariga gemet, Wa nga, apadang; Ri, nga tungtung; Ga,
nga carira, ika carira tanpa carira ngaran, tanpa dwe buddhi, hala hayu, wang
ring kasaman tasak ring padarta, diksita, blahaning lango buddhi’.
Artinya: Keberadaan sang wiku (pendeta) yang telah
mengetahui ajaran wariga Gemet. Wa artinya terang, Ri artinya puncak, Ga artinya wadag. Inilah wadag yang tak nyata, tanpa memiliki
kehendak, baik dan buruk, dari sesama manusia ia telah mumpuni dalam analisis,
ia telah disucikan, terbebas dari cita-cita. Berdasarkan keterangan lontar
Wariga Gemet kata wariga
berarti wa (terang), ri (puncak) dan ga artinya (wadag). Secara harfiah menurut teks Wariga
Gemet, kata wariga
berarti wadag untuk mencapai puncak yang terang.
Selanjutnya Dalam Kamus Bahasa Bali Lumrah oleh J.Kersten S.V.D dikenal kata wara yang berarti hari dan wariga yang berarti ajaran tentang diwasa/dewasa yaitu baik atau buruknya hari untuk
melakukan sesuatu.
Jadi berdasarkan beberapa uraian dapat dijelaskan wariga dalam pengertian bahasa Bali adalah
ajaran mengenai sistem kelender/tarikh tradisional Bali, terutama dalam menentukan
diwasa/dewasa (baik-buruknya hari) terkait
kepentingan masyarakat. Jadi padewasan
dapat ditentukan dengan menggunakan
wariga.
No comments:
Post a Comment