Filosofis Atribut Dewa Siwa / Mahadewa
Ladang Informasi - Agama Hindu begitu kaya akan
ajaran ketuhanan (theologi) yang semuanya bersumber dari kitab
suci Weda. Demikian juga dengan Theologi mengenai dewa Siwa, Kata Siwa
berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka
memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang dan membahagiakan
(Monier dalam Gunawan, 2012 : 56). Sang Hyang Siwa di dalam mengerakkan
hukum kemahakuasaan-Nya didukung oleh sakti-Nya Dewi Durga atau Parwati. Hyang Siwa
adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali atau dapat disebut
aspek pralaya atau pralina dari alam semesta
dan segala isinya. Siwa yang sangat ditakuti disebut Rudra, karena
suara yang menggelegar dan menakutkan. Kitab Satapatha Brahmana menceritakan
tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama
Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis
terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama
oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar
kata "rud" yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa
dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu Purana.
Tersebutlah Brahma sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama
kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat
kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar
seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya
yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah
sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wisnu
Purana merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut
Markandeya Purana disebabkan oleh keinginan Brahma untuk mempunyai anak yang
menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahma pergi bertapa.
Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah
kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu
menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra.
Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh
kali, sehingga Brahma memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isana, Pasupati,
Bhima, Ugra, dan Mahadewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah
nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam
Wisnu Purana.
Penggambaran tentang dewa Siwa
sangatlah unik. Dewa Siwa digambarkan dalam bentuk manusia.
Dewa Siwa
digambarkan duduk di kuburan, yang melambangkan kemutlakannya untuk
mengendaliakan kelahiran dan kematian. Tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan
abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada
benda material didunia, abu melambangkan intisari dari semua benda dan makhluk
didunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh
penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Penampilan Siwa, Siwa
memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siwa dikenal dengan nama kapardi. Siwa
juga dikatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (Tri Netra), Phalanetra,
Agnilocana, Trolocana dan lain-lain, dua matanya pada bagian kiri dan
kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia. Yang ketiga di pusat dahi-Nya
yang melambangkan pengetahuan (jnana), dan ini disebut dengan
mata kebijaksanaan atau pengetahuan. Kekuatan pandangan mata ketiga Siwa
bersifat menghancurkan kejahatan. (Pandit, 2006 : 207).
Cerita tentang mata ketiga dari
dewa Siwa
dapat di temukan dalam berbagai versi. Diceritakanlah Siwa sedang asyik
bercengkerama dengan sakti-Nya yaitu Dewi Parwati sedang bermain tutup-tutupan
mata, karena mata beliau ditutup oleh kedua telapak tangan dewi Parwati
menyebabkan Siwa sulit melihat, karena terhalangnya penglihatan Siwa
maka dunia menjadi goncang. Maka, dari kening beliau muncul
mata ketiga untuk mengembalikan keadaan dunia seperti keadaan semula, yang
terganggu karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati.
Uraian tentang dewa Siwa
yang memiliki 3 mata (Trinetra) juga dijumpai dalam kitab
Mahabharata. Kitab Linga Purana menawarkan cerita yang berbeda tentang
timbulnya mata ketiga Siwa. Dikisahkan adalah Sati,
anak Daksa istri pertama Siwa yang bunuh diri dengan cara
terjun ke dalam api karena ayahnya (Daksa) tidak menghiraukan suaminya (Siwa).
Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung
Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah
Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat Asura (raksasa)
Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan
makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa Dalam kebingungan, para dewa
memutuskan untuk “membangunkan” Siwa Mereka sepakat meminta
pertolongan Dewa Kama. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati
ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siwa
“terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata
ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kama hingga menjadi abu. Pada
saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kama, Siwa jatuh cinta pada
dewi Parwati.
Rati, istri Dewa Kama yang
mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk
menghidupkan kembali Kama. Untuk menghibur Rati, Siwa berjanji bahwa Kama
kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Rati kemudian meminta anugrah agar
dia diberi kehormatan supaya bisa selalu bersama dengan suaminya yang telah
berbadan halus agar lebih mudah menjelma bersama suaminya nanti. Dewa Siwa
memenuhi permintaan Rati, dibakar pulalah Rati dengan mata ketiga-Nya. Semenjak
saat itu Dewa Kama disebut Ananga (tidak berbadan) dan
benih-benih cinta yang ada pada setiap mahluk di dunia adalah percikan abu dari
Dewa Kama dan Dewi Rati. Kisah ini memang berakhir dengan romantika yang indah.
Karena terkena panah cinta dari Dewa Kama akhirnya Dewa Siwa menikah dengan Dewi
Parwati dan melahirkan putra yang bernama Kumara atau Subrahmanya
yang dapat membunuh Asura Tataka.
Di dalam kitab Purana
kita mendapat informasi tentang hiasan yang di gunakan oleh Deva Siwa. Istri
para rsi terpikat kepada Siwa, yang sekali waktu tampil
dengan mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para rsi sangat marah terhadap
Siwa
atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang di gali, muncul
seekor harimau. Siwa membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya. Seekor
menjangan mengikuti harimau dan juga muncul dari lubang yang sama. Siwa
memegang binatang itu dengan tangan kirinya. Selanjutnya muncul dari lubang itu
tongkat besi panas berwarna merah. Siwa mengambil tongkat itu dan
menjadikan senjatanya. Terahir dari lubang muncul beberapa ular kobra dan Siwa
mengambil ular dan mengenakan sebagai hiasan. Suatu hari raksasa bernama Gaya
menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan
diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siwa. Siwa
muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di
badannya. Suatu hari Siwa mengenakan beberapa ekor ular
sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia di kenal dengan nama Nagakundala. Siwa
dilambangkan oleh ular di sekitar lehernya. Ular yang terbelit di lehernya
melambangkan kekuatan penghancurnya. Dalam purana yang lain dikatakan juga
bahwa ular tersebut berfungsi untuk mencegah racun yang diminum saat para dewa
dan asura memperebutkan tirtha amertha masuk kedalam tubuh dewa Siwa.
Tasbih melambangkan sifatnya yang anadi ananta yakni tidak
berawal dan tidak berakhir.
Kitab Kamikagama mengungkapkan
mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan bulan sabit
pada Jatamakuta-Nya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahma,
menikahkan keduapuluh tujuh (konstelasi bintang) anak perempuannya pada
Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya
sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran
hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di
antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik.
Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan
mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu
pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap,
tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak
mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas
bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang,
mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi
panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat
menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahma yang menasihatinya
agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju
Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa
yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan
diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan
mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang
satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam
pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran
yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak(ardhacanrakapala).
Versi yang lain tentang bulan
sabit yang ada di kepala dewa Siwa di ceritakan dalam Bhagawata
Purana, cerita ini juga agak mirip tapi beberapa nama tokohnya berbeda. Cerita
diawali dari Chandra yang mempunyai dua puluh tujuh istri. Dari semua istrinya
ini, Rohini yang paling cantik dan bergairah sangat disayangi oleh Dewa
Chandra. Karena cintanya kepada Rohini, Dewa Chandra melalaikan kewajibannya
kepada istri-istrinya yang lain, kemudian para istri-istri Dewa Chandra yang
lain tersebut yang juga putri-putri Daksa, mengeluh kepada sang ayah. Karena
merasa ditelantarkan putri-putrinya, Daksa menjadi murka, dan mengutuk Chandra.
Karena dikutuk, Dewa Chandra menderita penyakit paru-paru. Dari hari ke hari
kekuatan dan cahaya Dewa Chandra berkurang. Akhirnya Dewa Chandra minta
perlindungan kepada Dewa Siwa. Dewa Siwa yang penuh kasih
melegakan hati Chandra yang menderita sakit paru-paru dan menaruh Bulan di kepala-Nya.
Dengan menumpang di kepala Dewa
Siwa,
Chandra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya.
Tam Siwah sekhare krtva cabhavac
chandrasekharah,
Nasti devesu
lakesu Siwac caharana-pancarah
(Bhagawata
Purana. 59)
Artinya :
Kemudian Dewa Siwa
dikenal dengan nama Chandrasekhara, sebab beliau menaruh Bulan di kepalanya. Oh
para Dewa, tidak ada seorangpun yang lebih berkasih sayang selain Dewa Siwa.
Mengetahui sang suami telah
meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan menangis. Kemudian mereka
datang menghadap sang ayah Daksa, putra Dewa Brahma. Putri-putri Daksa berkata,
“Oh Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami mendapat berkah dari suami,
tetapi kini bukan mendapat berkah darinya, melainkan dia telah meninggalkan
kami. Oh Ayah,meskipun kami memiliki mata,kami hanya menemukan kegelapan di
mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah mata satu-satunya bagi
wanita. Bagi wanita, suami itu sendiri adalah Narayana, ikrar dan agama purba.
Wanita yang membenci atau mendengki suami malang dan bajik dan meninggalkannya,
akan menderita di neraka jahanam selama matahari dan bulan bersinar di Bumi. Di
sana (neraka) serangga-serangga yang bagaikan anjing menggigit dia siang malam.
Bila lapar, dia terpaksa makan daging mayat.
Dan untuk meniadakan rasa haus
dan dahaga, dia terpaksa minum air kencing. Selanjutnya dia harus lahir
berkali-kali sebagai burung nazar (yang memakan bangkai), terus lahir sebagai
babi betina selama seratus tahun, kemudian sebagai binatang buas selama seratus
kali kelahiran. Ketika pada akhirnya dia lahir lagi sebagai manusia, dia
menjadi Janda, pengemis dan terus sakit-sakitan. Kemudian putri-putri Daksa
berkata "Mohon kembalikan suami kami, Anda adalah putra Dewa Brahma, dan
anda cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta".
Mendengar kata-kata dari semua
putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Dewa Siwa, Dewa Siwa
bangkit dari tempat duduknya, dan sujud menghormati Daksa. Daksa lalu
memberkati Dewa Siwa, melihat perilaku Dewa Siwa yang rendah hati,
kemarahan Daksa menjadi hilang. Kemudian Daksa berkata, Oh Dewa Siwa,
mohon kembalikan menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi
nyawanya sendiri. Anda juga adalah menantuku. Jika anda tidak mengembalikan
Chandra kepadaku, saya akan ucapkan kutukan keras atas dirimu".
Setelah mendengar Daksa bicara,
Dewa Siwa
mengucapkan kata-kata yang terdengar lebih manis dari amrita. Dewa Siwa
berkata "Anda boleh bakar saya jadi abu, atau ucapkan satu kutukan atas
diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak bisa mengembalikan Chandra (Bulan)
yang telah berlindung kepadaku." Mendengar kata-kata Dewa Siwa
demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Dewa Siwa, Dewa Siwa
ingat Govinda, pada saat itu pula Sri Krishna muncul disana dalam wujud seorang
Brahmana tua. Baik Dewa Siwa maupun Daksa sujud kepada
Brahmana tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan
berkata kepada Dewa Siwa. Sri Krishna berkata; "Oh Siwa, tidak ada apapun
yang lebih disayangi oleh semua mahluk hidup selain dirinya sendiri. Dengan
merenungi hal ini, Oh penguasa para Dewa, anda hendaknya selamatkan dirimu
dengan memberikan Chandra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik,
anda tenang, anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan anda memperlakukan
segala makhluk dengan cara yang sama. Anda bebas dari tindak kekerasan dan
kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Dewa Brahma dan dia berwatak pemarah.
Dewa yang mulia mengalah dihadapan yang sedang marah".
Dewa Siwa tersenyum dan
berkata "Saya bisa mengorbankan pertapaan saya, kemuliaan saya, semua
keberhasilan saya, kekayaan dan bahkan nyawa saya sendiri. Tetapi saya tidak
bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada saya. Dia yang telah
mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya, akan ditinggalkan oleh
Dharma. Oh Tuhanku, anda tahu betul tentang Dharma. Mengapa anda mengucapkan
kata-kata yang dipengaruhi khayalan?. Anda adalah pencipta dan pelebur segala
sesuatu. Orang yang berbhakti kepada Mu tidak takut kepada siapapun".
Tuhan yang mengetahui betul
perasaan setiap orang, mendengar kata-kata Dewa Siwa dengan seksama.
Kemudian beliau mengambil setengah bagian Chandra (Bulan) yang sakit dan
memberikannya kepada Daksa. Selanjutnya Beliau mengambil setengah bagian Bulan
yang sehat dan menaruhnya di kepala Dewa Siwa. Melihat Bulan tergerogoti oleh
penyakit paru-paru, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Krishna. Beliau lalu
mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu, dan tidak akan
bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah ketetapan alam yang dibuat
oleh Sri Krishna. Setelah memberkati Dewa Siwa dan Daksa, Sri Krishna kembali
ketempat tinggal-Nya.
Dewi Gangga dan Ardhacandra (bulan
sabit) bertengkar pada kepalanya, oleh karena itu disebut Gangadhana dan Candracuda.
Bulan sabit yang terlihat pada kepala Dewa Siwa tersebut sebagai hiasan, dan
bukan menjadi bagian dari tubuh-Nya. Pembahasan dan pengecilan bulan
melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada didalamnya dari awal sampai
akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah Kenyataan yang Abadi, bulan
sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diri-Nya. Bulan juga
melambangkan sifat hati seperti cinta, kebaikan, dan kasih. Bulan sabit yang
dekat dengan kepala Dewa memilki makna bahwa seorang pemuja harus mengembangkan
sifat-sifat ini agar dapat lebih dekat dengan Dewa. (Pandit, 2006 : 208)
Kitab Mahabharata menguraikan
asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Siwa dalam dua versi.
Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi
jantan menjadi wahana Siwa. Daksa, atas perintah ayahnya,
yakni Brahma, menciptakan sapi. Siwa yang sedang bertapa di dunia
terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada
induknya. Untuk menjaga agar Siwa tidak marah, Dakasa
menghadiahkan seekor sapi jantan pada Siwa. Siwa sangat senang
menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di
atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahma. Di sini Siwa menjawab pertanyaan
Uma mengapa kendaraan Siwa itu adalah banteng dan bukan
binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna
putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Siwa
sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki
dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di
sekeliling Siwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Siwa
sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu,
sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam.
Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Siwa.
Sejak itu banteng menjadi kendaraan Siwa. Sapi-sapi yang melihat dan
mengakui kehebatan dan kesaktian Siwa sangat kagum dan mengangkatnya
sebagai pemimpin, serat memberi julukanGopari pada Siwa.
Seekor sapi, yang dikenal
dengan nama Nandi, yang dihubungkan dengan Siwa
dan dikatakan sebagai kendaraannya. Sapi jantan ini melambangkan kekuatan dan
ketidakpedulian. Siwa mengendarai sapi menandakan bahwa Śiwa menghilangkan
ketidakpedulian dan menganugerahkan kekuatan kebijaksanaan pada pemujanya. Sapi
dalam Sanskertanya Vṛṣa. Dalam bahasa Sanskṛta Vṛṣa juga
berarti Dharma (kebenaran). Sehingga sapi disamping Siwa melambangkan persahabatan abadi dan kebenaran.
Nandi juga melambangkan kesadaran seseorang (sṛṣṭa puruṣa) atau
manusia yang sempurna, yang terserap secara permanen dalam pandangan Kenyataan.
Siwa menghancurkan segalanya dengan mebawa Trisula. Trisula senjata
yang utama Siwa, Dalam berbagai gambar Siwa digambarkan memegang
Trisula di tangan belakang. Siwa Purana IV.20 menyebutkan,
Dewa yang bersenjatakan Trisula
,
Brahman yang agung, yaitu Siwa adalah asal mula penciptaan,
pemeliharaan, dan penghancuran. pelenyapan, serta pemberkatan.
Tanpa campur tangan beliau maka
tidak seujung rambut pun benda atau makhluk bisa dihancurkan.
Sebuah Trisula memiliki
tiga ujung, yang menandakan tiga sifat alam : sattva (keaktifan), rajas (kegiatan),
dan tamas (ketidakaktifan). Trisula melambangkan bahwa dewa
jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini. Trisula juga melambangkan senjata
yang digunakan Dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakpedulian di dunia.
(Pandit, 2006 : 208). Selain trisula ada pula senjata
lain disebutpinaka, oleh karena itu Siwa disebut dengan nama
Pinakapani (Siwa yang memegang pinaka di tangannya). Siwa
digambarkan memiliki 2,2,8, dan 10 tangan. Disamping membawa Pinaka, Siwa
juga memegang tongkat yang dinamakan khatyanga, busur (Ajagava), seekor
menjangan, genitri, tengkorak, damaru (gendang
kecil), dan benda-benda suci lainnya
Sebuah damaru (kendang
kecil) yang menghasilkan suara yang bergetar. Seperti yang disebutkan dalam
kitab Hindu suara yang bergetar dari suku kata Om yang suci dipercaya sebagai
sumber dari penciptaan. Sebuah damaru pada salah satu tangan
mengandung makna bahwa ia menyangga seluruh ciptaan di tangannya, mengatur
sesuai dengan keinginannya. Karena harimau menyimbolkan kekuatan, kulit harimau
yang menjadi tempat duduk Dewa Siwa melambangkan Ia adalah sumber
dari kekuatan yang pasti yang Ia kendalikan sesuai dengan keinginan-Nya.
No comments:
Post a Comment