Pura Mrajapati Tempat Pemujaan Alam Kosmis
Dari ketiga tempat suci itu, orang menghubungkan
lagi dengan unsur-unsur bhuana agung yang juga ditemukan dalam bhuana alit.
Hubungan unsur-unsur itu seakan-akan diatur oleh sistem kosmis melalui jaringan
makna yang renik dan manusia terkurung di dalam jaringan makna itu. Sistem
kosmik ini kemudian mengatur perilaku dan aktivitas ritual umat Hindu Bali
dalam siklus yang tidak pernah terhenti, terus menerus, meskipun kemudian
hubungan jaringan maknawi itu semakin kabur oleh nuansa yang menyeramkan dan
magis. Mungkin itu sebabnya mengapa orang Bali agak sulit melepaskan pikirannya
ke dunia mistik, leak misalnya.
Apa hubungan Pura
Dalem, Mrajapati, Kahyangan dan Setra gandamayu? Menurut sebuah sumber,
mrajapati adalah tempat pemujaan alam kosmis, sedangkan setra atau pemuwunan
atau tempat pembakaran mayat adalah tempat atau panggung transformasi ajian
Dewi Durga yang cenderung bergerak ke kiri atau kiwa. Karena itu, Pura Dalem
adalah stana Siwa yang berfungsi sebagai penetralisir kekuatan positif dan
negatif yang ditimbulkan oleh praktik-praktik ajian Durga tersebut. Jika
demikian tata hubungan ketiga tempat pemujaan itu, maka di Pura Dalem umat
melakukan aktivitas ritual dan persembahan yang bertujuan untuk mendapatkan
kerahayuan dan terhindar dari pengaruh negatif dua kekuatan lainnya, yakni
mrajapati dan setra. Di mrajapati umat membayangkan kekuatan alam, dan setra
adalah tempat untuk melakukan upacara kematian dan pembakaran jenasah.
Di mrajapati
sendiri distanakan Durga dengan tiga kekuatannya, yakni anggapati, prajapati
dan banaspati. Kanda Pat menyebutkan anggapati berarti kala atau nafsu di
badan, mrajapati berarti penguasa Durga setra gandamayu, sedangkan banaspati
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti iblis, tonya atau hantu hutan, atau
raja hutan, raja pepohonan, dan penjaga lembah, sungai dan tempat-tempat angker
lainnya. Akan tetapi, sumber lain menyebutkan banaspati adalah gelar Hyang Siwa
yang mengendalikan dan menentukan hidup dan kehidupan semua ciptaannya (sarwa
bhutesu). Tidak heran kalau beliau selalu digambarkan sebagai dewa yang
menyeramkan dan mengerikan.
Dalam menjalankan
tugas dan fungsinya yang demikian itu, beliau bersikap tegas, cepat, adil dan
penentu segalanya. Dalam hal memberi keadilan, beliau memperoleh julukan Hyang
Yama. Dalam menjalankan tugas itu, beliau dibantu oleh para rencangan beliau,
yakni para Yama Bala. Tugas utama para Yama Bala adalah menjemput dan
memberikan tempat yang pas bagi para atma yang ingin menghadap Hyang Siwa.
Para atma yang baru
hadir untuk menuju alam Siwa tidak langsung diterima di Siwaloka, tetapi
sebelumnya dicatat terlebih dahulu oleh rencangan beliau yang bernama Sang
Suratma. Tugas utama Sang Suratma adalah mencatat atau menuliskan segala
perilaku manusia saat masih di alam manusia.
Segala hal yang
benar dan salah selama hidup manusia wajib dilaporkan oleh sang atma kepada
juru tulis Sang Suratma. Jika semasa hidup di alam manusia seseorang mungkin
dapat berbohong, maka di hadapan Sang Suratma sang atma tidak mungkin
berbohong, karena Sang Suratma telah mencatatnya secara detail dan teliti.
Bilamana semuanya
telah tercatat barulah para Yama Bala melanjutkan perjalanan para atma untuk
menuju tempat yang telah dipersiapkan, yakni tegal penangsaran. Di tempat ini
para atma menerima perlakuan sesuai dengan perbuatannya di alam kehidupan
manusia. Tentu saja tegal penangsaran memiliki kondisi yang berbeda-beda,
antara lain ada tempat yang sangat panas, tempat yang menyakitkan, tempat yang
mengerikan dan tempat untuk memberikan sanksi bagi atma sesuai perbuatannya di
alam manusia dulu. Di tegal penangsaran tidak terdapat pohon-pohon yang
menyejukkan, kecuali pohon yang berisi benda-benda tajam yang digunakan untuk
memberikan hukuman kepada para atma yang telah berbuat kejahatan, kesalahan dan
perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran dharma.
Dengan adanya Sang Suratma di sana, beserta para
Yama Bala, dapat ditafsirkan bahwa mrajapati menjadi semacam birokrasi niskala
yang melayani kepentingan para atma sebelum ke Siwaloka. Disana, roh orang yang
baru meninggal harus menyelesaikan administrasi kependudukannya, yang
berhubungan dengan perbuatannya di masa lalu. Dengan demikian, mrajapati yang
mungkin berasal dari kata praja berarti tata (penguasaan) dan pati yang berarti
mati, maka prajapati yang mengalami perubahan konsonan p menjadi m, sehingga
menjadi mrajapati dapat diartikan sebagai tata, penguasaan atau birokrasi
kematian. Tugasnya yang demikian itu kemudian menyebabkan mrajapati sebagai
tempat pemujaan yang misterius, mengerikan dan menakutkan. Pemahaman akan
kekuatan Tuhan sudah sejak zaman Bali kuno. Hal ini diketahui dari berbagai
lontar, antara lain Lontar Kanda Pat, Usana Bali Gong Besi, dan Taru Pramana.
Semua itu merupakan hasil lokal genius masyarakat Bali yang diakulturasikan
dengan budaya sehingga masyarakat dapat membayangkan dan melihat kekuatan Tuhan
dalam berbagai perwujudan atau pelawatan. Suatu perwujudan kekuatan Tuhan
bukanlah sembarangan. Hal ini merupakan hasil imajinasi yang luar biasa dari
kekuatan yogi jaman dulu.
Salah satu
pemahaman akan kekuatan Tuhan itu adalah keyakinan terhadap Banaspatiraja.
Banaspatiraja merupakan simbol atau wahana Ida Bhatara yang berlandaskan pada
ajaran Çiwa. Ajaran ini mengandung filosofi Tantrayana dan Bhairawa di
dalamnya. Filosofi ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Hindu di
Bali. Sejak Mpu Kuturan datang ke Bali dan menyatukan ajaran berbagai sekte
yang pernah hidup di Bali, berkembanglah yang disebut ajaran Trimurti. Ajaran
ini bermakna tiga manifestasi Tuhan yang mempunyai kedudukan yang sama. Inilah
cikal bakal ajaran Çiwa Sidanta yang kita warisi sampai sekarang.
Pemahaman
Banaspatiraja tidak bisa dipisahkan dari konsep empat bersaudara yang terdiri
atas Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja itu sendiri. Konsep itu
disebut nyama papat (saudara empat). Nyama papat ini jangan selalu dibayangkan
seram, karena kalau kita telusuri itu semua adalah kekuatan Tuhan dalam
berbagai manifestasinya. Hal ini termuat dalam Lontar Çiwa Tatwa.
Dilihat dari sumber
sastra lain yakni Lontar Usana Bali, Banaspatiraja adalah kekuatan pelindung
dari segala macam penyakit atau hama yang ada di sawah. Karenanya beliau
berfungsi sebagai nangluk merana untuk menetralisir kekuatan negatif, dan juga
dalam usadha yang berperan sebagai dewanya balian. Di dalam Lontar Gong Besi,
Banaspatiraja lambang Taksu. Orang yang ingin memiliki Taksu, Beliaulah
sumbernya. Di jajaran Pelinggih Sanggah atau Merajan atau Tempat Suci Keluarga,
beliau berada di Pelinggih Taksu.
Pura Dalem, Mrajapati, Kahyangan dan Setra berikut
para Dewa yang berstana di sana, tampak adanya konsep dasar yang mengatur
hubungan makna ketiga tempat itu, berikut tugas yang dijalankan para Dewa,
yakni konsep Siwaisme. Pemaknaan ketiga tempat suci itu berhubungan dengan
kekuasaan Siwa dengan saktinya Durga. Oleh karena pada umumnya Durga dicitrakan
sebagai tokoh dewa yang menyeramkan, maka ketiga tempat itu juga dipersepsikan
sebagai tempat pemujaan yang terkesan angker dan menyeramkan.
No comments:
Post a Comment