viral

loading...
Showing posts with label Kitab Agama Hindu. Show all posts
Showing posts with label Kitab Agama Hindu. Show all posts

Thursday, May 10, 2018

Renungan Suci Tentang Kehidupan


Memaknai Hidup Dalam Ajaran Agama Hindu

KelahiranLadang Informasi - Apakah Hidup itu? Kenapa kita harus lahir ke dunia? Pertanyaan semacam ini sering muncul dalam benak kita. jika kita sadari, benar apa yang disebutkan oleh istilah "Hidup Sederhana". Namun, kebanyakan insan di dunia ini, terkadang tidak sadar karena pengaruh sifat-sifat duniawi dalam dirinya.

Untuk itu, sebagai bahan renungan, kita dapat sadari, apakah hidup itu sesungguhnya?
Hidup didalam atma yang abadi,
Untuk menikmati kebahagiaan jiwa,
Memuja Dewa setiap saat,
Adalah hidup yang sesungguhnya.
Melakukan japa atas nama Dewa
Menyanyikan kemuliaanNya
Selalu mengingat-Nya setiap saat
Adalah hidup yang sesungguhnya
Melaksanakan Yama, Niyama,
Melayani kaum miskin dan mereka yang lemah
Mendengarkan Sruti-Sruti
Adalah hidup yang sesungguhnya
Merenung dan bermeditasi
Melayani guru
Mengikuti petunjuk-petunjuknya
Adalah hidup yang sesungguhnya
Menyadari keberadaan diri sendiri
Melihat diri yang tunggal dimana-mana
Meraih Brahma jnana
Adalah hidup sesungguhnya
Hidup untuk melayani umat Manusia
Melakukan penendalian diri
Mengekang pikiran dan panca indra
Adalah hidup sesungguhnya
Melakukan pranayama
Mempraktekkan Brahma vicara
Selalu berketetapan hati
Adalah hidup sesungguhnya
Hidup didalam Om
Melantunkan Om
Bermeditasi pada Om
Adalah hidup sesungguhnya
Mengabaikan nama-nama dan bentuk-bentuk
Mengambil intisari tersembunyi didalamnya
Meminum nektar keabadian
Adalam hidup sesungguhnya
Demikian yang dapat menyadari makna dari kehidupan.
Lalu, Apakah sesungguhnya kematian?
Tiada mempelajari gita, berbagai Upanisad, setiap hari
Tidak mengingat Tuhan setiap hari
Tidak melayan Sadhu dan guru
Adalah kematian sesungguhnya
Tidak memiliki pandangan yang sama
Tidak memiliki pikiran seimbang
Tidak memiliki atma drsti
Adalah kematian sesungguhnya
Tidak memiliki Brahma jnana
Tidak simpatik dan dermawan
Tidak melakukan perbuatan amat
Adalah kematian sesungguhnaya
Menilai seseorang dari penampilan pisik
Melupakan sifat suci orang itu
Hidup tanpa tujuan
Adalah kematian sesungguhnya
Makan dan minum-minuman dan bergembiraMengabiskan waktu dengan kegiatan tak bergunaMenghilangkan kehormatan dan nama seseorangAdalah kematian sesungguhnya
Membicarakan orang lain, memaki, berbohong,
Menjelekkan orang lainBerlaku tidak jujur, memlsu dan menipuAdalah kematian sesungguhnya Memperoleh uang dengan tida sah
Menyakiti hati perempuan
Melukai orang lain
Adalah kematian sesungguhnya
 Hidup menuruti hawa nafsu
Memboroskan energi vital
Berpenampilan yang mengundang nafsu
Adalah kematian sesungguhnya
Demikianlah sesungguhnya kematian itu, yang sebagian besar dari kita takut menghadapinya.

dan yang terakhir, kenapa kita harus hidup namun pada akhirnya akan mati? 

Kelahiran dan kematian adalah dua adegan mayaDalam drama alam raya iniSungguh tiada yang lahir tiada yang matiTiada yang datang tiada yang pergi
Ia adalah sulapan maya
Ia adalah permainan pikiran
Hanya Brahmanlah yang ada
Ada kelahiran bagi sang raga sendiri
Lima unsur bersatu membentuk raga
Atma tak terlahirkan dan tak bisa mati
Kematian meninggalkan lubang badan kasar
Bagaikan sebuah tidur panjang
Kelahiran bagaikan bangun dari tidur
Janganlah takut akan kematian, O Brahman
Hidup ini terus bergulir
Bunga mungkin layu namun wanginya menyebar

Badan kasar boleh terurai
Namun wewangian abadi dari jiwa
Senantiasa tersisa
Belajarlah mengenali perbedaan

Yang nyata dan tidak nyata
Berfikirlah selalu tentang Dia yang tidak terbatas
Dia yang tidak dilahirkan dan tidak mati
Melampaui Maya dan Moha

Pergilah melewati tiga GunaLepaskanlan keterikatan pada badan kasarBebaskanlah dirimu dari kelahiran dan kematianDan bersatu didalam pokok keabadian.

Demikian Renungan Suci yang dapat kita aplikasikan dalam menyadari akan arti kehidupan ini.

Tuesday, May 8, 2018

Keutamaan Purana


Pengertian dan Keutamaan Purana

Ladang Informasi - Purana berasal dari kata : Pura dan Ana menjadi kata “Purana”. “Pura” berarti kuno atau jaman kuno dan “Ana” berarti menyatakan. Jadi Purana adalah sejarah kuno. Purana isinya menceritakan Dewa – dewa, Raja – raja, dan Rsi – rsi kuno. Purana juga berarti ceritra kuno dan setiap ceritra Purana intinya mengandung ajaran agama. Kata “Pura” di dalam Purana mengandung dua pengertian yaitu yang lalu dan yang akan datang. Kata “Purana” dapat dijumpai lebih dari puluhan kali di dalam Kitab Suci Rg Veda, sebagai kata sifat yang berarti kuno atau tua. Kitab Nighantu (III.27) menyebutkan enam kata di dalam Veda yang mengandung pengertian “Purana” antara lain : Pratnam, Pradirah, Pravayah, Sanemi, Purvyam, Ahnaya. Yaska dalam Kitabnya Nirukta (III.9) menyatakan “Purana” berasal dari kata “Pura” yakni Pura Nayan Bhavati artinya sesuatu yang baru di masa silam.
Purana

Kata “Purana” barangkali berasal dari kata “Puratana” kemudian dalam bentuknya berubah menjadi “Purana”. Secara etimologi, istilah Purana dijumpai dalam Kitab Vayu Purana (I.203) yakni berasal dari kata “Pura” (pada masa purba, terdahulu) dan dari kata “An” artinya bernafas atau hidup, oleh karena itu kata “Purana” berarti mereka yang hidup dari jaman purba (Yasmat Pura Hyamati dan Purana Tena Tatsmartam). Kitab Brahmanda Purana (I.1.173) menyatakan disebut Purana karena keberadaannya di jaman yang sangat purba (Yasmat Pura Hyabhucaitat Purana Tena Tatsmrtam). Sedangkan Padma Purana (V.2.253) sedikit berbeda dalam menjelaskan etimologi Purana, yang menyatakan : hal tersebut dinamakan “Purana” karena merindukan atau menginginkan (kehidupan) masa lampau, dari kata “Pura” dan akar kata “Vas” yang berarti merindukan atau menginginkan (Pura Puram Vasisteha Puranam Tena Vai Smrtam). Menurut Panini (4.2.23,2.1.4) “Purana” berasal dari “Pura” (Purvasminkala), artinya yang telah ada di masa lalu. Matsya Purana (53.63) menggambarkan bahwa Purana mengandung catatan kejadian – kejadian masa yang silam.

Walaupun di jaman yang sangat purba, kita belum menemukan susastra Purana, sesungguhnya ceritra – ceritra yang terdapat dalam kitab – kitab Purana sudah di kenal jauh sebelum sabda suci Veda dihimpun. (Pusalker 1959 :75). Dalam Ramayana karya Valmiki (IV.62,13) kata Purana berarti ramalan yang dibuat pada jaman purba (Winternitz 1990 : 501 ff). Maha Rsi Kautilya pada kitabnya Artha Sastra (I.5.14) yang membahas tentang Itihasa menyebutkan bahwa “Purana” dan Itivrtta dari segi isinya merupakan bagian dari Itihasa. Itivrtta berarti peristiwa bersejarah, Purana berarti mitologi dan tradisi yang lama dalam legenda. Di dalam Matsya Purana (I.203) dinyatakan bahwa kata “Purana” berasal dari kata : (1)  Puranyate,  (2)  Puraanati, (3)  Purabhavam, ketiga kata – kata ini mengandung makna keadaan yang lalu atau kedaan yang telah lalu. Selanjutnya dalam Kitab Laksikon Sabda Kalpa Druma (III.179) secara gramatika kata “Purana” dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Pura (Puvasmin kale) Bhavam (Panini 4.3.23 ; 2.1.29 atau 4.3.105)
  2. Pura Niyate Iti (Tagore, 1992, Vol.7, Part I : XVII)

Seorang sarjana besar ahli Bahasa Sansekerta Rangacarya memberikan definisi tentang “Purana” yang menyatakan bahwa terdiri dari dua kata yaitu : “Pura” dan “Nava”. Pura berarti lama dan Nava berarti baru. Purana berarti segala sesuatu tradisi yang baik dan selalu menarik untuk diceritakan kembali ada sejak jaman purba. Margaret dan James Stutly dalam Harper’s Dictionary of Hinduism menyatakan : Purana merupakan kumpulan cerita kuno setelah jaman Veda. Chakuntala Jagannathan menjelaskan tentang Kitab – kitab Purana sebagai berikut : setelah Sruti, Smrti, dan Itihasa kita memiliki buku yang ke-4 yakni Kitab – kitab Purana. Kitab – kitab Purana terdiri dari 18 macam. Berdasarkan dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa Purana merupakan susatra Hindu yang di dalamnya penuh dengan ceritra keagamaan, memberi tuntunan bagi kehidupan dan kehidupan umat manusia.

Kita dapat jumpai dalam Kitab – kitab Atharva Veda (XI.7.24 dan XV.7.11-12), Sathapatha Brahmana (XI.5.6.8), Bhradaranyaka Upanisad (IV.5.11), Candogya Upanisad (III,4.1-2) dan lain – lain oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa “Purana” telah muncul sebelum ditetapkannya tahun masehi. Kitab – kitab Semerti menyatakan bahwa Purana adalah buku – buku yang memberikan komentar (Penjelasan) tentag segala sesuatu dalam Kitab Suci Veda. Dari berbagai pernyataan tersebut di atas dapat disebutkan bahwa “Purana” benar – benar merupakan susastra Veda yang amat tua usianya disusun jauh dimasa lalu. Sebagai jenis susastra Hindu, Purana telah ada sejak jaman Veda. Seperti telah disebutkan di atas istilah Purana sebagai suatu karya sastra keagamaan yang di dalamnya di kandung ceritra – ceritra kuno dapat pula kita jumpai didalam susastra Veda, di dalamnya Kitab – kitab Itihasa, seperti dalam Ramayana (Karya Maha Rsi Valmiki) dan Mahabharata (Karya Maha Rsi Vyasa). Dalam Kitab Manawa Dharmasastra (Karya Maha Rsi Manu) juga menyebutkan tentang Purana.

         Ruang Lingkup dan jumlah Kitab Purana

Beberapa Kitab Purana seperti : Matsya (53.3.11), Vayu (I.60-61) Brahmanda (I.1.40-41), Lingga (I.2.2), Naradya (I.92.22-26), dan Padma Purana menyatakan aslinya Kitab Purana hanyalah satu dan Brahma yang pertama kali mengajarkannya, kemudian barulah Kitab Suci Veda diturunkan muncul dari bibir Brahma demikianlah asalnya yang selanjutnya berkembang menjadi seratus karor sloka dan itulah inti sarinya yang diumumkan pada setiap jaman Dvapara (Dvapara Yuga) oleh Maha Rsi Vyasa. Adapun unsur penting dalam Kitab Purana tentang “Panca Laksana” seperti yang disebutkan dalam Kitab Kurma Purana :
Sargas ca prati sargas caVamso manvantarani caVansanucaritam cai vaPuranam pancalaksanamKurma Purana (I.1-12)

Artinya :
Ada lima unsur penting dalam Kitab Purana yang disebut Panca Laksana yaitu : Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama), Prati Sarga (citaan alam semesta yang kedua), Vamsa (keturunan raja – raja dan rsi – rsi), Manvantara (perubahan dari manu ke manu), Vamsanucaritam (diskripsi keturunan yang akan datang.

Selanjutnya jumlah Kitab Purana sebanyak delapan belas buah (umumnya kitab – kitab ini disebut Maha Purana). Kurma Purana (I.1.13-15) mengenai daftar urutan Kitab – kitab Purana dari 1-18 sekaligus jumlah slokanya masing – masing seperti tercantum dalam tabel (Purana-Dr.Titib, Hal 27). Di dalam satu sloka dari Devebhagavata Purana, kita menemukan nama – nama Purana untuk mudah mengingatnya.
Madhvayam bhadvayam caivaBratrayam vacatustayamNalimpagnim kuskam garudam evaDevibhagavata (I.3.2)

Adapun makna terjemahan sloka ini adalah menguraikan nama dan jumlah Kitab – kitab Purana, sebagai berikut :
a.        Dua dengan hurup “ma”
1.  Matsya Purana             2.  Markandeya Purana
b.       Dua dengan hurup “bha”
1.  Bhavisya Purana           2.  Bhagavata Purana
c.        Tiga dengan hurup “bra”
1.  Brahma Purana                        2.  Brahmanda Purana
3.  Brahma Vaivarta Purana
d.       Empat dengan hurup “va”
1.  Visnu Purana                2.  Vayu Purana
3.  Vamana Purana            4.  Varaha Purana
e.        Tujuah dengan hurup “na, lin, va, agnim, kuskam, dan garudam”, yaitu :
1.  Narada Purana             2.  Lingga Purana
3.  Padma Purana              4.  Agni Purana
5.  Kurma Purana              6.  Skanda Purana
7.  Garuda Purana

Daftar ke delapan belas Purana diberikan pada masing – masing kitab tersebut sebagai pertimbangannya, tak ada yang pertama dan tak ada yang terakhir namun kesemuanya sudah eksis satu dengan yang lain sudah melengkapi. Pada Uttaradhyaya dari Padma Purana (263.81) dapat dijumpai pengelompokan kitab – kitab Purana sesuai dengan Tri Guna Purusa Avatara dari sudut pendirian pengikut Vaisnawa. Menurut pengelompokannya hanya kitab- kitab Purana (Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda, Vadma dan Varaha) merupakan kualitas “Ketuhanan” (Sattwika) dan menguasai pembebasan. Kitab – kitab Purana yang diabdikan kepada Brahman (Brahmanda, Brahmavaivarta, Markendeya, Bhavisya, Wamana, dan Brahma) merupakan kualifikasi “nafsu” (Rajasika) dan hanya mengantarkannya untuk mencapai sorga, sedangkan Kitab – kitab Purana lainnya diabdikan kepada Dewa Siwa (Matsya, Kurma, Lingga, Siva, Skanda, dan Agni) digambarkan sebagai “kegelapan” (Tamasika) dan menguasai neraka.

Di dalam Sivarahasyakanda dari Sansekerta Samhiti, dari Kitab Skanda Purana nama – nama dari delapan belas Purana itu disebutkan satu demi satu serta pengelompokannya sebagai berikut :
  1. Sepuluh Purana berikut : Siva (Vayu), Darisya, Markandeya, Lingga, Varaha, Sekanda, Matsya, Kurma, Vanana, dan Brahmanda Purana dinyatakan sebagai Purana yang Sivaistik.
  2. Empat Purana berikut : Visnu, Bhagavata, Naradiya, dan Garuda Purana dinyatakan sebagai Visnuistik.
  3. Brahma dan Padma Purana dikatakan diabdikan untuk Brahman (Brahmanistik)
  4. Agneya diabdikan untuk Agini.
  5. Brahma Vaivarta diabdikan untuk Savitri


Kitab – kitab Purana (Maha Purana) di atas disusun oleh Maha Rsi Vyasa. Buku – buku Purana yang ditulis belakangan dikenal dengan nama “Upapurana” atau Purana Kecil (Minor Purana)
Jumlah Upapurana juga 18, yaitu :

1.
Sanathkumara
10.
Kalika
2.
Narasimha
11.
Samba
3.
Naradiya
12.
Saura
4.
Siva
13.
Aditya
5.
Durvasa
14.
Mahesvara
6.
Kapila
15.
Devibhagavatam
7.
Manawa
16.
Vasistha
8.
Usana
17.
Visnu dharmottara
9.
Varuna
18.
Nelamata Purana











Masa Disusun dan Penyusun Kitab – kitab Purana

Kitab – kitab Purana merupakan susastra agama yakni : “Hinduisme” yang mencapai jaman keemasan pada pemujaan terhadap Deva Visnu dan Deva Siva dan kitab–kitab tersebut merupakan buku penting pada era Brahmanisme. Pendapat para tokoh tentang Purana : H.H Wilson mengungkapkan sesuai dengan semua Purana baik yang merupakan karya yang belakangan merupakan Susastra Sansekerta dan nampaknya berasal pada beberapa ribu tahun yang lalu tanpa cara pemeliharaan.

Untuk karya sastra (puisi) Bana (sekitar 625 masehi) mengetahui Purana secara pasti dan menuliskan dalam Novel sejarahnya yaitu : Harsacarita, Kumarila, yaitu seorang filosop (sekitar 750 Masehi) menyatakan, Purana adalah sumber hukum. Sri Sankara (Abad ke-9 Masehi) dan Ramanya (Abad ke-12 Masehi) menggolongkan Purana dalam kitab–kitab suci dalam pengajaran pilsafat mereka. Seorang penjelajah Arab Alberumi (Sekitar 1030 Masehi) menggolongkan Purana menjadi 18 Purana dan mengutifp tak hanya Aditya, Vayu, Matsya, dan Visnu Purana tetapi telah dikaji secara cermat salah satu kitab Purana yang memilih bahwa Purana terakhir adalah Visnudharmottara (Vinternitz 1990 : 503).

Terdapat perbedaan pandangan yang sangat luas antara para sarjana India tentang masa disusunnya Kitab–kitab Purana yang sebagian menyatakan bahwa Purana (Purana Samhita) “yang asli” telah ditulis sebelum era masehi. Menurut VS Agrawala, Lomaharsana adalah guru yang asli dari Purana, yang mengajarkan mula samhita  yang jumlahnya masing – masing 4.000-6.000 sloka, yang meguraikan 6 topik penting dan sangat mendasar (essensi) yang setiap bagiannya terdiri dari 4 pada yakni : Sarga atau pencipta dunia, Prati Sarga atau masa kehancuran, Manvantara atau masa–masa usia dunia dan Vanisa atau silsilah keturunan suatu dinasti. Catur Pada atau Catur Laksana ini tetap terpelihara dan dapat dijumpai dalam kitab Vayu Purana dan Brahmanda Purana.

Lebih jauh menurut R.C.Hazra (Loc.Cit) sisipan (interpolasi) tetang materi terhadap kitab–kitab Ur-Purana telah terjadi antara abad ke-3 sampai abad ke-5 masehi yang mengambilkannya dari kitab–kitab Semrti. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Kitab–kitab Purana telah ditulis antara 400 sampai 1.000 sebelum masehi, namun untuk dimaklumi bahwa bentuknya tenunya tidak sama persisi dengan yang kita warisi dewasa ini. Gyani dalam artikelnya, “Date on the Purana Litrature” (Vol. II, No.3.1-2) menguraikan empat fase penulisan Kitab–kitab Purana sebagai berikut :
  1. Fase Akhyana vamsa sekitar 1.200-950 sebelum masehi
  2. Fase Perpecahan (terbagi menjadi 2 kelompok) sekitar 950-500 sebelum masehi
  3. Fase Panca Laksana, sekita 500 sebelum masehi sampai awal masehi
  4. Fase Sektarian atau fase ensiklopedi, mulai awal tahun masehi sampai 700 masehi (Deshpande, Vol. 39, Part I 1988 : XVIII)


Seperti yang telah diuraikan di depan, dinyatakan bahwa penyusun Kitab–kitab Purana adalah Maha Rsi Vyasa, Putra Parasara yang juga dikenal dengan nama Krsna Dvipayana. Di Indonesia di Jawa maupun di Bali hanya ditemukan 1 dari 18 Purana yaitu : berbentuk prosa yakni Brahmanda Purana yang mempergunakan Bahasa Bali dan Bahasa Jawa Kuno. Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam penelitiannya tentang sastra Jawa Kuno Kitab Brahmanda Purana sejaman dengan kitab Sang kamahayanikan yang ditulis 851-869 çaka (929-947 masehi) berkarakter Sivaistik.

Purana Berbahasa Jawa Kuno (di Indonesia)

Kitab Brahmanda Purana berbahasa Jawa Kuno, yang satu – satunya Kitab Purana dalam kasanah kepustakaan Jawa Kuno. Yang merupakan sumber ajaran Agama Hindu, yang menurut P. Van Stein Callenfels dan Zoetmulder kitab ini seperti halnya Sarasamuscaya dan Agastya Parwa merupakan karya religius (Hinduistilo). Di Indonesia telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh I Gede Sandi, B.A dan I Gede Puja, MA. SH (1980) dan kajian yang pertama, dilakukan oleh I Gonda yang dilaksanakan pada tahun 1932 (Zoetmulder 1953:59). Prof. Dr. Rajendra Mishra menyatakan bahwa Kitab Brahmanda Purana Berbahasa Jawa Kuno tersebut bersumber pada Brahmanda Purana berbahasa Sansekerti karya Maha Rsi Veda Vyasa (1989:84). Di masyarakat masih terjadi kerancuan menganggap kitab–kitab Raja Purana seperti Raja Purana Pura Besakih sebagai juga kitab–kitab Purana (Maha atau Upapurana), kerancuan ini meski segera diakhiri, karena kitab – kitab Raja Purana memuat catatan tentang Upacara – upacara di Pura tersebut, propertinya dan lain – lain, yang sangat jauh berbeda dengan kitab – kitab Purana berbahasa Sanskerta sebagai sumber Komprehensif ajaran Agama Hindu.

Monday, May 7, 2018

Makna Atribut Dewa SIva


Atribut Dewa Siva

Dewa Siwa
Dewa Siva
Ladang Informasi - Agama Hindu kaya akan simbol-simbol, sebagai sarana untuk mengkonsentrasikan pikiran dibalik simbul itu terdapat nilai-nilai pendidikan agama Hindu. Dalam keadaan Nirguna Tuhan disebut Paramasiva dan Sadasiva, sedangkan yang saguna disebut Siva. Paramasiva dalam keadaan ini beliau berada dimana-mana (Vyapi Vyapaka Nirvikara), tak terpikirkan (Acintya), tanpa atribut. Sadasiva beliau memiliki empat kemahakuasaan yaitu Prabu Sakti (maha kuasa), Vibhu Sakti (maha sempurna), Jnana Sakti (maha tahu) dan Kriya Sakti (maha karya). Di dalam diri setiap manusia Siva disebut dengan Sivatman yang menjadi jiwanya manusia.Siva dalam tataran saguna memiliki banyak atribut, Siva mimiliki Sakti yang bernama Parvati, Uma atau Durga, yang dimaksud Sakti itu bukanlah istri seperti manusia tetapi (power) kekuatan (purusa pradhana), Siva juga dipuja oleh makhluk halus, hantu, para bhuta, raksasa artinya Siva yang memiliki kasih sayang membimbing makhluk-makhluk tersebut menuju kesempurnaan. Arti kata Siva artinya pemaaf, penganugrah, pemberi, kasih sayang. Siva memiliki lima sifat yang disebut Panca Kriya Shakti yaitu, penciptaan, pemeliharaan, peleburan, pengaburan dan penganugrahan. Dalam upacara Ngaben di Bali umat Hindu menggunakan lembu, simbol lembu Nandini kendaraan Dewa Siva yang bertujuan mengantarkan roh manusia menuju alam bahagia (Sivaloka). Para leluhur kita di Bali menyimbolkan Siva dengan barong dan Durga dengan rangda begitu hebatnya leluhur kita “membumikan” ajaran agama Veda sehingga mudah dipelajari dan dipahami oleh umat yang disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat setempat dimana agama Hindu itu berkembang karana agama Hindu bukanlah agama yang kaku tetapi universal, luwes dan fleksibel. Di dalam Siva Purana disebutkan bahwa Siva akan selalu melindungi bhaktanya dan menghancurkan orang yang ingin menyakiti bhaktanya.

Penampilan Siva, tubuhnya telanjang dan dipenuhi dengan abu. Tubuh yang telanjang melambangkan bahwa Ia bebas dari keterikatan pada benda material di dunia, karena kebanyakan benda akan menjadi abu jika dibakar.

Abu melambangkan intisari dari semua benda dan mahluk di dunia. Abu pada tubuh dewa melambangkan bahwa Ia adalah sumber dari seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Siva memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. 

Siva dikenal dengan nama Kapardi, karena memiliki rambut merah dan digelung tersebut. Siva juga dinyatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (Trinetra), Phalanetra, Agilocana, Trilocana, bermata tiga, dua matanya pada bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitas fisiknya di dunia, di tengah-tengah dahinya adalah mata ketiga, yang menggambarkan energi pengembali yang jika dibiarkan lepas menghancurkan dunia dan lain-lain, pada sumber lainya tiga mata di tengah-tengah dahi dikatakan sebagai lambang pengetahuan (jnana) disebut juga mata kebijaksanaan, karena kekuatan pandangan mata ketiga Siva menghancurkan kejahatan.

Di samping memegang Pinaka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvanga, busur bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang kecil) yang menghasilkan suara bergetar, yang diletakkan pada tangan kirinya tersebut menjelaskan Sabda Brahman, ia menjelaskan OM dari mana semua bahasa dibentuk.

Suatu hari raksasa yang bernama Gayasura menyamar dalam wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan memohon perlindungan di sebuah pura Siva. Siva muncul dan membunuh gajah tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari Siva mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-anting (Kawaca), oleh karena itu ia dikenal dengan nama Nagajundala. Brahma meminta kepada Rudra untuk memciptakan manusia, dan permintaan itu dipenuhinya, tetapi manusia ciptaanya menjadi manusia yang sangat bengis. Brahma khawatir terhadap mahluk itu akan memakan mahluk-mahluk lainnya. Brahma yang gemetar karena ketakutan meminta kepada Rudra untuk menghentikan penciptaan manusia itu dan meminta menciptakan yang lain. Selanjutnya Rudra mulai mempraktekkan tapa.

Di Bali, beliau dipuja di Pura Dalem, sebagai Dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya (pelebur bukan perusak), menjadi Panca Maha Bhuta (lima unsur yang membentuk manusia).


Dewa Siva meminum racun yang keluar dari pengadukan laut oleh Para Dewa dan Raksasa untuk memperoleh tirta amerta. Dari pengadukan laut tersebut, yang pertama muncul adalah racun, kemudian baru tirta. Jika racun tersebut tertumpah ke bumi, niscaya mahkluk hidup akan punah semua, untuk itu Dewa Siva menelan racun tersebut, agar Beliau terselamatkan oleh racun mematikan tersebut, sebelum masuk lebih dalam ke tubuh_Nya, maka Beliau menggunakan ular kobra untuk melilit lehernya agar racun tersebut tertahan di tenggorokan saja. Akibat racun itu, maka muka dan tenggorokan Dewa Siva menjadi Biru, setelah kejadian itu maka Beliau diberi nama Nila Kanta.

Beliau juga menggunakan Gangga digelungan rambut-Nya dan bulan sabit (Candrama) dikepalanya untuk mendinginkan kepala-Nya, mata ketiga-Nya menyala, Abhiseka yang terus menerus mendinginkan matanya. Siva disebut yang bisa menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Agni. Siva menghancurkan segalanya, membawa Trisula yang memiliki tiga ujung. Trisula yang dipegang di tangan kanannya menjelaskan tiga Guna Sattva-Rajas-Tamas, yang melambangkan bahwa dewa jauh dari jangkauan ketiga sifat alam ini, Trisula juga dilambangkan sebagai senjata yang digunakan dewa untuk menghancurkan kejahatan dan ketidakperdulian di dunia. Dan juga merupakan lencana paling berkuasa, Ia mempergunakan dunia dengan ketiga Guna tersebut. Siva juga memiliki pedang di tangan-Nya, ini menjelaskan bahwa Ia adalah penghancur kelahiran dan kematian. Api pada satu dari tangan-Nya menunjukkan Ia melindungi Jiva dengan membakar semua belenggu. Senjatanya yang lain disebut Pinaka, oleh karena itu Siva disebut juga dengan nama Pinakapani (yang memegang Pinaka ditangannya). Baik Siva maupun kendaraannya, Nandini berwarna putih yang menjelaskan Satsanga. Jika kamu mengadakan perkumpulan dengan orang-orang suci, kamu mencapai realisasi Tuhan, orang suci menunjukkan pada kamu jalan mencapai Siva. Warna putih menunjukkan Siva memiliki hati yang murni. Siva digambarkan memiliki 2, 2, 8 dan 10 tangan.

Makna yang lainnya adalah Ia menyangga seluruh ciptaan di tangan-Nya, mengatur sesuai dengan keinginanannya. Itu adalah ia yang membentuk bahasa Sanskrit keluar dari Damaru, dan benda-benda suci lainnya. Gangga (dewi Gangga) yang menyimbulkan madu Abadi dan Ardhacandra (bulan Sabit) yang menunjukkan bahwa Ia telah mengontrol pikiran secara sempurna bertengger pada kepalanya, juga melambangkan siklus waktu dimana penciptaan ada di dalamnya dari awal sampai akhir dan kembali ke awal lagi. Karena Tuhan adalah kenyataan yang abadi, bulan sabit hanyalah hiasan dan bukan bagian penting diri-Nya oleh karena itu disebut juga Gangadhara dan Candracuda. Siva digambarkan duduk di atas kuburan, yang melambangkan kemutlakannya mengendalikan kelahiran dan kematian.

Kalung bunga yang terbuat dari untaian tengkorak manusia melingkar di lehernya. Siva mengenakan bhusana (kain) dari kulit macan dan kulit gajah untuk selimut-Nya, yang menunjukkan bahwa Ia telah mengontrol kebanggaan, di lengannya bergelayutan beberapa ekor ular sebagai hiasan,menginjak tengkorak simbul ketidak kekalan. Di dalam kitab-kitab Purana kita mendapatkan informasi tentang Sang Hyang Siva memperoleh berbagai hiasan tersebut. Istri para rsi terpikat pada Siva, yang sekali waktu tampil dengan mengenakan pakaian seperti orang yang meminta-minta. Para rsi sangat marah terhadap Siva atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. Dari lobang yang digali, muncul seekor harimau, Siva membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya, kulit harimau menjelaskan tentang nafsu, Ia menduduki kulit harimau menandakan takluknya semua nafsu.

Seekor menjangan mengikuti harimau muncul di lobang itu, lalu Siva memegang binatang itu dengan tangan kirinya, menunjukkan bahwa Ia telah menghilangkan Chancalata (kesana-kemari) pikiran (pikiran yang terpusat). Selanjutnya muncul dari lobang itu tongkat besi panas berwarna merah, kemudian Siva mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terakhir dari lobang muncul beberapa ekor ular kobra dan Siva mengambil ular dan mengenakannya sebagai hiasannya, ini menunjukkan bahwa Siva secara mutlak tanpa takut dan abadi karena ular hidup untuk lama, ular juga simbul dari bangkitnya kundalini shakti.

Orang bijaksana memberinya gelar Dewa angin dan Dewa cinta kasih. Beliau tampak sebagai Dewa yang memancarkan kasih sayang kepada makhluk hidup. SeBaliknya bagi orang yang hidupnya penuh dosa, Beliau tampak sebagai Dewa yang menyeramkan, matanya melotot dan memegang banyak senjata, seolah-olah hendak membinasakan apapun yang ada di hadapannya.

Dewa Siva memiliki sakti Dewi Uma/Durgha/Parwati. Dewi Uma merupakan Dewi yang tampak sangat cantik dan lemah lembut sedangkan Dewi Durgha merupakan Dewi kematian yang tampak menyeramkan, mata melotot dan tangannya penuh senjata.
Dalam pengider-ider Dewata Nawa Sanga, Dewa Siva menempati arah tengah dengan warna panca warna. Beliau bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Dipuja di Pura Besakih.Dalam tradisi Indonesia, kadangkala Siva disebut Batara Guru.

Siva Nataraja
Siva Nataraja
Dewa Siva dalam mengendalikan perputaran alam semesta menggunakan gerakan ritmik, seperti tarian, dalam wujud demikian beliau diberikan gelar – Siva Nataraja – Kasih adalah tarian kehidupan yang paling indah, karena ia merupakan esensi kebebasan yang sejati. Namun di sisi lain sangat berbahaya dan ditakuti, karena ia menghancurkan setiap keterkondisian setiap ikatan akan berbagai kepercayaan dan ide yang dilahirkan batin, ia akan menyapu bersih batin dari apa yang diciptakan oleh batin itu sendiri. Jika batin telah kosong dari segala yang ia ciptakan, maka di situ ada keheningan yang luar biasa, sebuah dimensi yang tak terwakilkan oleh kata-kata. Jika ada kata yang sering digunakan untuk menggambarkannya, para guru berkata itulah Kasih, itulah Shiva, jika engkau bisa mencapai itu, itulah Aham Brahman Asmi (Akulah Brahman), itulah Tat Twam Asi (Akulah Itu). Ketika para guru berkata, Brahman tidak berawal tidak berakhir, maka Shiva adalah awal dan juga sekaligus akhir dari semuanya, dua hal yang sama terucap dengan cara yang berbeda. Namun perbedaan itu tidak berarti, karena dualitas berakhir di situ.
Jay Siva Om Kara.....

Sejarah Pura Purancak


Sejarah Pura Purancak Di Desa Perancak

Asal Mula Perancak

Ladang InformasiPura Perancak terletak di pinggir laut, wilayah Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jaraknya dari Kota Negara kira-kira 19 kilometer. Jalan menuju pura tersebut cukup baik dan sudah diaspal. Bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor Panorama sekitar pura adalah lautan dan kebun kelapa.

Pura Gede Perancak merupakan salah satu lokasi sacral di Bali. Pura ini dikenal sebagai salah satu pura Dang Kahyangan, yaitu pura yang terkait erat dengan legenda Dang Hyang Nirartha. Dang Hyang Nirartha juga dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang dipuja masyarakat Bali sebagai penyebaran agama Hindu di Bali.
Asal Mula Pura Purancak di Desa Perancak
Pura Purancak
Pura Gede Perancak yang diselenggarakan pada Buda Umanis wuku Medangsia setiap enam bulan atau 210 hari berdasarkan penanggalan Bali. Nama Pura Gede Perancak terkait erat dengan kisah kedatangan Dang Hyang Nirartha dari kerajaan Blam-bangan di Jawa pada abad ke-15. Menurut kebanyakan orang, kesucian dan kharisma Beliau sangat besar yang menyebabkan adik Raja Blambangan jatuh hatin padanya dan menimbulkan pada orang-orang istana, dan menuduh menggunakan guna-guna. Untuk menghindari konflik, Dang Hyang Nirartha melarikan diri dari jawa dengan bantuan para nelayan desa Muncar di kerajaan blambangan (Jawa Timur).

Tanjung Ketapang merupakan muara sungai tempat Dang Hyang Nirartha tiba, saat in dikenal sebagai Desa Perancak . ketika itu disanalah sang pendeta berjumpa dengan I Gusti Ngurah Rangsasa, mahapatih Kerajaan Negare. Aturan yang berlaku saat itu adalah siapapun yang melewati tersebut harus tunduk dan menyembah pada batu bebaturan (pelinggih kecil yang terbuat dari tumpukan batu bata dan paras yang disebut Pura Usang). Sebagai seorang pendeta suci, Dang Hyang Nirartha tidak dapat melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan. Walaupun sang pendeta menolak untuk melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan, karena dibawah tekanan, pendeta suci tersebut mencakupkan kedua tangannya seperti sikap berdoa. Pada saat ia melakukan itu, pelinggih bebaturan tersebut pecah dan hancur berantakan. Kemudian tempat tersebut dikenal dengan Pura Encak melihat hal tersebut , menteri Kerajaan, I Gusti Rangsasa menjadi takut dan melarikan diri. Kejadiaan saat itu dapat dilihat saat ini disatu tempat yang disebut Sawe Rangsasa, julukan untuk Patih Rangsasa yang melarikan diri dan tewas disana. Peristiwa tersebut terjadi disisi utara, di seberang sungai. Hingga saat ini lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat sacral (tenget). Lama setelah penduduk local berdoa ditempat tersebut dan juga karena ada beberapa masalah disana, para ‘umat’ pura melakukan nunas raos, memohon petunjuk spiritual, untuk menayakan kemungkinan memindahkan Pura Encak ke sisi selatan sungai. Mereka mencari balian sebagai pengantar, untuk bias berkomunikasi dengan para dewa. Ketika dimasukan roh, dikatakan bahwa masyarakat Perancak boleh memindahakn pura keseberang sungai dengan syarat mereka harus melemparkan sebatang bambu khusus, dan dimana bambu tersebut jatuh di situlah tempat lokasi pun didirikan. Suatu hari , ditempat yang didalam di atas tanah timbul hasil gundukan pasir, terlihat sebatang bambu. Lambat laun, setiap hari gundukan pasir secara perlahan semakin luas dan pura bisa dibangun ditempat tersebut. Kisah tersebut dituturkan oleh Nengah Kirtha, seorang penutur asli Perancak dan mantan bendesa adat Perancak periode 1969-1999.

Buaya Dwe, Buaya Penjaga Pura

Dulu, ada sangat banyak buaya diperancak-berjumlah ribuan. Tetapi sekitar tahun 1958, seorang pemburu dari Bugis dating dan mengambil buaya-buaya tersebut. Semua buaya ditangkap dan sekarang benar-benar sudah punah. Saat ini,hanya ada buaya niskala yang kadang-kadang bisa terlihat. Buaya yang dipercaya masyarakat Perancak. Pintu masuk bagian dalam Pura Perancak dijaga oleh dua patung buaya-satu berwarna hitam adalah buaya jantan dan satunya lagi berwarna kuning adalah betina yang menjaga ruang sacral di dalam pura. Disamping dua buaya penjaga pura,ada juga harimau yang menjaga tempat tersebut. Ada masyarakat yang bisa mendengar auman harimau ketika bersembahyang. Suatu ketika, Pak Kirtha menceritakan, ketika ia bersembahnyang di pura bersama ayahnya, ia mendengar suara auman harimau. Suara tersebut membuat Pak Kirtha ketakutan. Pak khirta belum pernah melihat buaya niskala. Tetapi beberapa orang pernah melihatnya. Buaya-buaya  penjaga tersebut kadang-kadang terlihat ketika piodalan pura. Mangku Sandra, salah seorang pemangku di Pura Perancak malah pernah meihat langsung buaya dan harimau tersebut melintas didepannya saat beliau bermeditasi. Selain sepasang buaya hitam dan kuning, kadan ada satu buaya berwarna putih yang juga terlihat. Buaya putih kerap muncul dalam bentuk sampan ketika para perempuan pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

Makam Keramat

Sebuah makam keramat berdiri di bagian utara Desa Perancak. Satu pembunuhan terjadi ditempat tersebut ketika jembrana masih berbentuk kerajaan. Pada saat itu, seorang delegasi dikirim oleh Raja Jawa dan Madura untuk membawa selembar kain Geringsing Wayang yang sacral sebagai hadiah ke salah satu dari dua Raja Jembrana. Hadiah dari Solo tersebut ditunjukan untuk Raja di Utara. Tetapi para utusan dari Solo ditipu,sehingga pergi ke kerajaan Raja Selatan dan ditangkap oleh seorang patih yang sangat berambisi memiliki Geringsing Wayang untuk dirinya sendiri. Para utusan dibunuh ditempat makam keramat yang berada saat ini, agar si pencuri tidak bisa ditemukan. Tetapi lama ke lamaan setelah penyakit secara beruntun menyerang keluarga Kerajaan Jembrana Selatan, mereka meminta petunjuk pada balian. Peristiwa tragis yang terjadi memberikan pelajaran pada mereka tentang utang jiwa (mautang urip), sebagai tanggung jawab sampai saat ini. Sebuah pemakaman megah kemudian dibangun pada lokasi terjadinya pembunuhan terhadap para utusan di Perancak tahun 1800-an, dan untuk saat ini upacara dilakukan dilokasi tersebut sebagai penebusan dosa.

Sunday, May 6, 2018

Sad Darsana

Memahami Lebih Dalam Konsep Sad Darsana



Ladang Informasi - Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofis utama yang secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, nukan karena mereka mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari kitab-kitab Veda.

Memahami Lebih Dalam Konsep Sad Darsana
Svami Vivekananda
Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas kitab-kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Disini, kata tersebut diperguṇa kan dalam pengertian pertama karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena mereka percaya mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, ke enam aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan diuaraikan tentang aliran filsafat orthodox (Ṣaḍ Darśana). Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas kitab kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Di sini, kata tersebut dipergunakan dalam pengertian pertama karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena mereka mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, keenam aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika.

Dalam tradisi intelektual India Darśana merupakan padanan yang paling mendekati istilah filsafat (barat), namun secara esensial ada perbedaan yang sangat mendasar, filsafat (barat) terlepas dari agama sedangkan Darśana tetap mengakar pada agama Hindu. Kata Darśana berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke dalam) atau mengalami, menjadi kata Darśana yang artinya penglihatan atau pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa bermakna observasi perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’ berarti eksposisi kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut menurut Radhakrisnan kata ‘Darśana’ menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui pengalaman intuitif dan dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis. Kata Darśana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan dalam Vaisesika sutra karya Rsi Kanada.

Filsafat Hindu (Darśana) merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan Darśana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemology sehingga antara agama dan Darśana sifatnya saling melengkapi. Darśana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir?, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia? dan apa yang hilang ketika manusia mati?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari Darśana.
Filsafat Hindu sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi atman menjadi tujuan setiap Darśana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Veda menyatakan “ Atma va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan asli atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.
Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama maupun Darśana, terdapat sebuah landasan bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama antara Darśana dan agama. Atman di dalam Kitab Pancamo Veda (Bhagavadgita) digambarkan sebagai berikut :
  • Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
  • Adahya artinya tidak dapat terbakar.
  • Akledya artinya tak terkeringkan.
  • Acesyah tak terbasahkan.
  • Nitya artinya abadi.
  • Sarwagatah artinya ada dimana mana.
  • Sthanu artinya tidak berpindah pindah.
  • Acala artinya tidak bergerak.
  • Sanatama artinya selalu sama.
  • Awyakta artinya tidak terlahirkan.
  • Achintya artinya tidak terpikirkan.
  • Awikara artinya tidak berubah.

Karena sifat Darśana sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada beberapa pandangan (Darśana) dalam tradisi intelektual India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
  1. Pandangan yang Orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darśana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari : Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Vedanta (Uttara Mimamsa).
  2. Pandangan yang Heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha


Enam aliran filsafat Hindu (Sad Darśana) berada dalam kelompok Astika, yang merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama lain : 1. Nyaya dan Vaiseika, 2. Samkhya dan Yoga, 3. Mimamsa dan Vedanta. Waisesika merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya, dan Vedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya. Sehingga Darśana dalam agama Hindu dikenal berjumlah enam, yang disebut Sad Darśana, yaitu :
  1. Nyaya Darśana
  2. Vaesesika Darśana
  3. Samkhya Darśana
  4. Yoga Darśana
  5. Mimamsa Darśana
  6. Vedanta Darśana

Vedanta (puncak ajaran Veda) sebagai filsafat yang muncul secara langsung dari teks-teks upanisad merupakan system filsafat yang dianggap paling memuaskan. Dari penafsiran-penafsiran filsafat Vedanta muncul berbagai aliran pemikiran antara lain : konsep adwaita dari Rsi Sankaracarya, konsep Maharsi Visistadvaita dari Maharsi Ramanujacarya, dan konsep dwaita dari Sri Madhwacarya, konsep Acintya bheda abheda tattva dari Sri Caitanya. Tiap-tiap pemikiran filsafat ini membahas tiga masalah pokok yaitu mengenai Brahman, Alam, dan atman (roh). Selain ketiga aliran pemikiran yang muncul dari filsafat Vedanta tersebut, masih terdapat beberapa aliran pemikiran lainnya namun sifatnya lebih pada penggabungan dari tiga konsep pemikiran tersebut.