Memahami Lebih Dalam Konsep Sad Darsana
Ladang Informasi - Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś
yang artinya melihat, menjadi kata Darśana
(kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran
(filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya
mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup
yang dicita-citakan. Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran
Hindu yang juga disebut dengan Darśana,
semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan
bersumber pada kitab suci Veda. Aliran
atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam sistem filosofis utama
yang secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ
Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, nukan karena mereka
mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari
kitab-kitab Veda.
Svami Vivekananda |
Sebagai
catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika
dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas
kitab-kitab Veda, atau orang yang
mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Disini, kata tersebut diperguṇa kan dalam pengertian pertama karena
dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun
adalah āstika, karena mereka percaya mempercayai
kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, ke enam aliran
filsafat orthodox adalah āstika dan
aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan
diuaraikan tentang aliran filsafat orthodox (Ṣaḍ Darśana). Sebagai catatan, dalam bahasa India modern,
kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam
kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai
otoritas kitab kitab Veda, atau orang
yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti
lawannya. Di sini, kata tersebut dipergunakan dalam pengertian pertama karena
dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah
āstika, karena mereka mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua
pengertian di atas, keenam aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran
filsafat Cārvāka sebagai nāstika.
Dalam
tradisi intelektual India Darśana
merupakan padanan yang paling mendekati istilah filsafat (barat), namun secara
esensial ada perbedaan yang sangat mendasar, filsafat (barat) terlepas dari
agama sedangkan Darśana tetap
mengakar pada agama Hindu. Kata Darśana
berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke dalam) atau mengalami,
menjadi kata Darśana yang artinya
penglihatan atau pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa
bermakna observasi perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’
berarti eksposisi kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut
menurut Radhakrisnan kata ‘Darśana’
menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui pengalaman intuitif dan
dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis. Kata Darśana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan
dalam Vaisesika sutra karya Rsi Kanada.
Filsafat Hindu (Darśana)
merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari
agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis
ritual dan Darśana memberikan aspek
filsafat, metafisika, dan epistemology sehingga antara agama dan Darśana sifatnya saling melengkapi. Darśana muncul dari usaha manusia untuk
mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang
menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu
lahir?, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia? dan apa yang hilang ketika
manusia mati?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari Darśana.
Filsafat Hindu sering kali dianggap Atman sentris,
artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam
proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa,
semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut.
Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan.
Realisasi atman menjadi tujuan setiap Darśana
walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Veda menyatakan “ Atma
va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya
kedudukan asli atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti
dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.
Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama
maupun Darśana, terdapat sebuah
landasan bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi
dalam diri manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas
materi, atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni
terbebas dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan atman
yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama
antara Darśana dan agama. Atman
di dalam Kitab Pancamo Veda (Bhagavadgita) digambarkan sebagai berikut :
- Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
- Adahya artinya tidak dapat terbakar.
- Akledya artinya tak terkeringkan.
- Acesyah tak terbasahkan.
- Nitya artinya abadi.
- Sarwagatah artinya ada dimana mana.
- Sthanu artinya tidak berpindah pindah.
- Acala artinya tidak bergerak.
- Sanatama artinya selalu sama.
- Awyakta artinya tidak terlahirkan.
- Achintya artinya tidak terpikirkan.
- Awikara artinya tidak berubah.
Karena
sifat Darśana sebagai pandangan yang
merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada
beberapa pandangan (Darśana) dalam
tradisi intelektual India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu :
- Pandangan yang Orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darśana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari : Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Vedanta (Uttara Mimamsa).
- Pandangan yang Heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha
Enam
aliran filsafat Hindu (Sad Darśana) berada
dalam kelompok Astika, yang merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama
lain : 1. Nyaya dan Vaiseika, 2. Samkhya dan Yoga, 3. Mimamsa dan Vedanta.
Waisesika merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya,
dan Vedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya. Sehingga Darśana dalam agama Hindu dikenal berjumlah
enam, yang disebut Sad Darśana, yaitu
:
Vedanta
(puncak ajaran Veda) sebagai filsafat
yang muncul secara langsung dari teks-teks upanisad merupakan system filsafat
yang dianggap paling memuaskan. Dari penafsiran-penafsiran filsafat Vedanta
muncul berbagai aliran pemikiran antara lain : konsep adwaita dari Rsi Sankaracarya, konsep Maharsi Visistadvaita dari Maharsi Ramanujacarya, dan konsep dwaita dari
Sri Madhwacarya, konsep Acintya bheda abheda tattva dari Sri Caitanya.
Tiap-tiap pemikiran filsafat ini membahas tiga masalah pokok yaitu mengenai Brahman, Alam, dan atman (roh). Selain ketiga aliran pemikiran yang
muncul dari filsafat Vedanta tersebut, masih terdapat beberapa aliran pemikiran
lainnya namun sifatnya lebih pada penggabungan dari tiga konsep pemikiran
tersebut.
No comments:
Post a Comment