Manawa Dharmasastra
Penulisan Wahyu Kitab Suci Veda |
Ladang Informasi - Buku Manawa Dharmasastra yang
ditulis oleh G. Puja MA dan Tjokorda Rai Sudharta MA pada kulit luarnya
tertera: Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Weda Smrti, Compendium
Hukum Hindu, dicetak tahun 1973 oleh Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda. Manawa
Dharmasastra adalah sebuah kitab dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis
oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, dan beliau pula salah
seorang Sapta Rsi yang menerima wahyu atau sabda suci dari Tuhan.
Kitab ini dianggap paling penting
bagi masyarakat Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga.
Wedangga adalah kitab yang merupakan batang tubuh Weda yang tidak dapat
dipisahkan dengan Weda Sruti dan Weda Smrti. Penafsiran terhadap pasal-pasal
Manawa Dharmasastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh
Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi
memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa Dharmasastra menurut versinya
masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu, misalnya:
Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga. Para Maha Rsi yang melakukan
penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmasastra menyesuaikan dengan tradisi dan
kondisi setempat. Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan
Dayabhaga.
Di zaman Majapahit, Manawa
Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian
kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12 dipelopori
oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka. Dua
tokoh pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa Manawa
Dharmasastra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan
sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan dharmasastra yang
dipandang sesuai dengan zaman masing-masing, yaitu:
- Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Krta Yuga
- Gautama Dharmasastra sesuai untuk zaman Treta Yuga
- Samkhalikhita Dharmasastra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
- Parasara Dharmasastra sesuai untuk zaman Kali Yuga
Reformasi Hukum di zaman Majapahit
menghasilkan produk-produk hukum lainnya seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba,
Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama, Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta
Sima, Paswara, dll.
Kutaramanawa yang disusun pada puncak kejayaan Majapahit
menjadi acuan pokok terbentuknya Hukum Adat di Indonesia, karena penguasa
Majapahit berkepentingan menjaga tertib hukum di kawasan Nusantara.
Ditinjau dari segi kehidupan
beragama, penghapusan Raad Kerta ( lembaga peradilan agama hindu di bali, yang
dihapuskan pada tahun 1951) merupakan
kemunduran yang serius karena pada kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali
bersandar pada hukum-hukum agama Hindu, namun bila terjadi sengketa/ perkara
Pemerintah RI menyediakan lembaga Hukum Peradilan Perdata/ Pidana yang mengacu
pada sumber hukum Eropa (Belanda) dan Yurisprudensi.
Wacana yang berkembang akhir-akhir
ini umat Hindu di Bali menginginkan adanya Lembaga Peradilan Agama Hindu yang
dapat memutuskan kemelut perbedaan pendapat dan tingkah laku dalam melaksanakan
kehidupan beragama. Kebutuhan ini dipandang mendesak agar terwujud kedamaian
dan keamanan individu. Sampai saat ini nampaknya keinginan itu hanya sebatas
wacana saja karena belum ada upaya-upaya riil dari lembaga-lembaga terkait
untuk menyusun tatanan organisasi dan acuan hukum bagi suatu lembaga peradilan.
Pokok Bahasan Dalam Manava Dharmasastra
Berikut merupakan pokok bahasan
selayang pandang bab demi bab (dhyayah) Manawa dharmasastra, dikonsentrasikan
pada bagian-bagian yang perlu dipikirkan relevansinya atau tafsir yang lebih
disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang.
Bab Pertama (Pratamo Dhyayah)
Memuat dua ajaran pokok, yaitu: tentang
penciptaan dunia dan tentang landasan hukum bagi dhyayah selanjutnya. Yang
menarik dari bab pertama ini adalah pasal 31:
"Lokanam Tu Wiwrddhyartham Mukhabahu Rupadatah, Brahmanam Ksatryiam Waisyam Sudram Ca Nirawartayat"
Terjemahannya:
Tetapi demi keamanan dan kemakmuran dunia, Tuhan menciptakan Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra, yaitu dari mulut-Nya, tangan-Nya, paha-Nya, dan kaki-Nya.
Jika pasal itu dikaji lebih dalam,
keempat golongan itu ditafsirkan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
karena pengertiannya diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia di mana manusia
tidak akan sempurna bila salah satu dari keempat organ itu tidak ada. Dengan
demikian jelaslah tafsir pasal ini bahwa golongan-golongan itu adalah golongan
profesi manusia dalam masyarakat yang menggerakkan roda kehidupan bersama.
Profesi dalam bahasa kawi adalah
“dharma” dan golongan adalah “warna” sehingga keempat golongan itu adalah
“warnadharma”. Perubahan penafsiran warnadharma menjadi kasta menyebabkan
kejatuhan masyarakat Hindu karena menimbulkan perpecahan dan pertentangan terus
menerus. Lebih pelik lagi jika kasta itu dikuatkan menjadi “wangsa” yang pada
gilirannya diwariskan turun temurun ke anak cucu, sehingga lama kelamaan
warnadharma tidak sesuai dengan kastanya.
Bab Kedua (Dwitiyo Dhyayah)
Sumber hukum yang digunakan oleh
pejabat peradilan agama berurutan: Sruti, Smrti, Sadacara, dan Atmatusti.
Pengertian Sruti adalah Weda dan
Smrti adalah Dharmasastra sudah cukup diketahui, namun pengertian Sadacara dan
Atmatusti perlu dijelaskan sebagai berikut: sadacara adalah tradisi-tradisi
yang sudah diakui dan berurat akar di masyarakat; atmatusti adalah nilai
kewajaran tingkah laku manusia menurut norma-norma umum atau pikiran yang
menyenangkan masyarakat.
Kata berurutan di atas perlu
digarisbawahi karena sumber hukum (adat) atas putusan suatu perkara atau
penetapan suatu peraturan hendaknya dicari terlebih dahulu pada sruti, jika
tidak ada diteruskan ke smrti, bila juga tidak ditemukan barulah ke sadacara
dan seterusnya ke atmatusti. Dewasa ini para penyusun awig-awig Desa Adat di
Bali ada beberapa yang melupakan urut-urutan ini, banyak menekankan pada
sadacara dan atmatusti sehingga mengakibatkan kekurangsesuaian dengan sruti dan
smrti.
Pasal-pasal: 31, 32, 33 yang
mengatur tentang pemberian nama bayi di mana dibedakan menurut warnadharma
kurang sesuai dengan semangat warnadharma di bab kedua. Jika dinyatakan bahwa
semua golongan manusia sama tetapi dibedakan menurut profesinya, maka pemberian
nama bayi tidaklah perlu mempertimbangkan profesi orang tuanya karena profesi
si anak di kemudian hari belum tentu sama dengan profesi ayahnya.
Pasal 41 sampai 47 tentang pakaian
dan atribut seorang Brahmana nampaknya kini sulit dilaksanakan.
Pasal 48, 49, 50 tentang keharusan
seorang Brahmana meminta-minta makanan mungkin dinilai agak aneh dewasa ini.
Pasal 172 tentang larangan bagi
seseorang yang belum disucikan untuk mengucapkan mantram, perlu dipikirkan lagi
karena Puja Trisandya yang berisi mantram Gayatri sudah lumrah diucapkan oleh
setiap orang mulai anak-anak sampai orang tua.
Bab Ketiga (Tritiyo Dhyayah)
Pasal-pasal: 12, 13, 14, 15, 16, 17,
18 tentang pawiwahan antar warnadharma nampaknya tidak dapat diterima oleh
masyarakat dewasa ini.
Pasal 21 dan seterusnya tentang
delapan cara pawiwahan, yaitu: Brahmana (pasal 27), Daiwa (pasal 28), Arsa
(pasal 29), Prajapatya (pasal 30), Asura (pasal 31), Gandharwa (pasal 32),
Raksasa (pasal 33) dan Pisaca (pasal 34), diantaranya yang tidak bertentangan
dengan Undang-undang perkawinan di Indonesia adalah: Brahmana, Prajapatya,
Asura dan Gandharwa, sedangkan cara pawiwahan Daiwa tidak lumrah dilaksanakan
karena bertentangan dengan Sila Krama, di mana seorang Sulinggih tidak
diperkenankan menikah lagi.
Pasal 44 yang mengatur tata cara
pawiwahan antara seorang wanita sudra dengan laki-laki triwangsa nampaknya juga
sudah tidak dituruti karena tidak sesuai dengan hak emansipasi dan semangat
warnadharma.
Bab Keempat (Caturtho Dyahyah)
Pasal 61yang berbunyi :
"Na Sudra Rajye Niwasenna Dharmika Jana Wrte, Na Pasandi Gana Krante Nopasriste Ntyajairnbhih"
Artinya:Janganlah ia (seorang Sulinggih) tinggal di suatu daerah yang penguasanya adalah seorang sudra, tidak pula di tempat-tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang tidak benar, tidak pula di tempat-tempat yang dijadikan objek kunjungan oleh orang-orang tak berkepercayaan dan tidak pula di tempat yang dibayari oleh orang-orang golongan terendah.
Pasal ini
nampaknya tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, karena akan membatasi
aktivitas Sulinggih dalam memberikan pelayanan kepada umat dan melaksanakan
tugas sebagai dharma duta. Demikian pula pasal 80 dan 81, menghambat tugas
Sulinggih memberikan dharma wacana dan dharmatula.
Bab Kelima (Atha Pancamodhyayah)
Tidak ada hal-hal prinsip yang tidak
sesuai dengan norma-norma zaman sekarang.
Bab Keenam (Atha Sasthodyayah)
Tidak ada hal-hal prinsip yang tidak
sesuai dengan norma-norma zaman sekarang.
Bab Ketujuh (Atha Saptamodhyayah)
Perkataan “raja” dalam Bahasa
Sanskrit mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “pemimpin pemerintahan”
seperti yang lumrah dewasa ini.
Bab Kedelapan (Astamodhyayah)
Bab ini yang sebagian besar mengatur
tetang hukum acara pidana serta lembaga-lembaga peradilan perlu disesuaikan
dengan undang-undang yang berlaku kini di Indonesia, atau seluruh Bab ini
diabaikan.
Bab Kesembilan (Atha Nawanodhyayah)
Pasal-pasal yang mengatur tentang
hubungan hukum suami-istri, harta kekayaan bersama, perceraian, dan adopsi
penting untuk dipertahankan dan dijadikan acuan dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang meliputi hal-hal tersebut di atas.
Bab Kesepuluh (Atha Dasamodhyayah)
Dari pasal 1 sampai 102 yang
berkaitan dengan kehidupan dan hubungan sosial dalam kasta stelsel tidak
relevan lagi jika kita mengacu pada semangat warnadharma di depan.
Bab Kesebelas (Atha Ekadacodhyayah)
Beberapa pasal seperti pasal 18, 21,
24, 42, 88, 181, yang berkaitan dengan tata kehidupan dalam masyarakat yang
menganut sistim kasta, perlu ditinjau lagi karena tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat dewasa ini.
Bab Keduabelas (Atha Dwadacodhyayah)
Pasal-pasal: 70, 71, 72, juga
menyangkut kehidupan catur kasta, perlu dipikirkan relevansinya dengan
kehidupan sosial dewasa ini.
Kesimpulan
Manawa Dharmasastra bukanlah
satu-satunya compendium hukum Hindu. Masih ada acuan hukum Hindu lain, misalnya
Parasara Dharmasastra. Oleh karena banyak diantara para Sulinggih, dan
cendekiawan Hindu dalam memberikan dharma wacana mengacu pada Manawa
Dharmasastra, maka beberapa bab dan pasal-pasal yang disebutkan di atas perlu
di kaji lebih dalam apakah masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat Hindu
dewasa ini.
Di samping itu terjemahannya ke
dalam bahasa Indonesia apakah sudah benar, karena kebanyakan para penerjemah
kitab-kitab suci Hindu tidak menerjemahkan langsung dari bahasa aslinya
(Sanskrit) tetapi dari kitab-kitab suci berbahasa Inggris yang ditulis para
pengamat Hindu orang-orang India atau Eropa.
Misalnya pada terjemahan bahasa
Indonesia, tidak ada konsistensi pengertian “warna” dengan “kasta”.
Para Sulinggih, terutama yang duduk
dalam PHDI nampaknya yang paling pas memikirkan masalah ini, bila perlu dengan
mengadakan seminar tentang bahasan Manawa Dharmasastra.
Jika di India sejak tahun 120 M
sampai abad ke-12 para cendekiawan berani merevisi Manawa Dharmasastra,
demikian pula di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra direvisi sesuai dengan
desa, kala, patra.
No comments:
Post a Comment