viral

loading...

Saturday, May 5, 2018

Ensiklopedia Hukum Hindu


Manawa Dharmasastra

Manava Dharmasastra
Penulisan Wahyu Kitab Suci Veda
Ladang InformasiBuku Manawa Dharmasastra yang ditulis oleh G. Puja MA dan Tjokorda Rai Sudharta MA pada kulit luarnya tertera: Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Weda Smrti, Compendium Hukum Hindu, dicetak tahun 1973 oleh Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda. Manawa Dharmasastra adalah sebuah kitab dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, dan beliau pula salah seorang Sapta Rsi yang menerima wahyu atau sabda suci dari Tuhan.

Kitab ini dianggap paling penting bagi masyarakat Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga. Wedangga adalah kitab yang merupakan batang tubuh Weda yang tidak dapat dipisahkan dengan Weda Sruti dan Weda Smrti. Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa Dharmasastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa Dharmasastra menurut versinya masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu, misalnya: Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga. Para Maha Rsi yang melakukan penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmasastra menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat. Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga.

Di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12 dipelopori oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka. Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa Manawa Dharmasastra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan dharmasastra yang dipandang sesuai dengan zaman masing-masing, yaitu:
  • Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Krta Yuga
  • Gautama Dharmasastra sesuai untuk zaman Treta Yuga
  • Samkhalikhita Dharmasastra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
  • Parasara Dharmasastra sesuai untuk zaman Kali Yuga
Dari temuan-temuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa Dharmasastra tidaklah dapat diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi, waktu, dan tempat (desa-kala-patra).

Reformasi Hukum di zaman Majapahit menghasilkan produk-produk hukum lainnya seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba, Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama, Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta Sima, Paswara, dll.

Kutaramanawa yang disusun pada puncak kejayaan Majapahit menjadi acuan pokok terbentuknya Hukum Adat di Indonesia, karena penguasa Majapahit berkepentingan menjaga tertib hukum di kawasan Nusantara.

Ditinjau dari segi kehidupan beragama, penghapusan Raad Kerta ( lembaga peradilan agama hindu di bali, yang dihapuskan pada tahun 1951)  merupakan kemunduran yang serius karena pada kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali bersandar pada hukum-hukum agama Hindu, namun bila terjadi sengketa/ perkara Pemerintah RI menyediakan lembaga Hukum Peradilan Perdata/ Pidana yang mengacu pada sumber hukum Eropa (Belanda) dan Yurisprudensi.

Wacana yang berkembang akhir-akhir ini umat Hindu di Bali menginginkan adanya Lembaga Peradilan Agama Hindu yang dapat memutuskan kemelut perbedaan pendapat dan tingkah laku dalam melaksanakan kehidupan beragama. Kebutuhan ini dipandang mendesak agar terwujud kedamaian dan keamanan individu. Sampai saat ini nampaknya keinginan itu hanya sebatas wacana saja karena belum ada upaya-upaya riil dari lembaga-lembaga terkait untuk menyusun tatanan organisasi dan acuan hukum bagi suatu lembaga peradilan.

Pokok Bahasan Dalam Manava Dharmasastra

Berikut merupakan pokok bahasan selayang pandang bab demi bab (dhyayah) Manawa dharmasastra, dikonsentrasikan pada bagian-bagian yang perlu dipikirkan relevansinya atau tafsir yang lebih disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang.

Bab Pertama (Pratamo Dhyayah)

Memuat dua ajaran pokok, yaitu: tentang penciptaan dunia dan tentang landasan hukum bagi dhyayah selanjutnya. Yang menarik dari bab pertama ini adalah pasal 31:
"Lokanam Tu Wiwrddhyartham Mukhabahu Rupadatah, Brahmanam Ksatryiam Waisyam Sudram Ca Nirawartayat"
Terjemahannya:
Tetapi demi keamanan dan kemakmuran dunia, Tuhan menciptakan Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra, yaitu dari mulut-Nya, tangan-Nya, paha-Nya, dan kaki-Nya.

Jika pasal itu dikaji lebih dalam, keempat golongan itu ditafsirkan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena pengertiannya diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia di mana manusia tidak akan sempurna bila salah satu dari keempat organ itu tidak ada. Dengan demikian jelaslah tafsir pasal ini bahwa golongan-golongan itu adalah golongan profesi manusia dalam masyarakat yang menggerakkan roda kehidupan bersama.

Profesi dalam bahasa kawi adalah “dharma” dan golongan adalah “warna” sehingga keempat golongan itu adalah “warnadharma”. Perubahan penafsiran warnadharma menjadi kasta menyebabkan kejatuhan masyarakat Hindu karena menimbulkan perpecahan dan pertentangan terus menerus. Lebih pelik lagi jika kasta itu dikuatkan menjadi “wangsa” yang pada gilirannya diwariskan turun temurun ke anak cucu, sehingga lama kelamaan warnadharma tidak sesuai dengan kastanya.

Bab Kedua (Dwitiyo Dhyayah)

Sumber hukum yang digunakan oleh pejabat peradilan agama berurutan: Sruti, Smrti, Sadacara, dan Atmatusti.

Pengertian Sruti adalah Weda dan Smrti adalah Dharmasastra sudah cukup diketahui, namun pengertian Sadacara dan Atmatusti perlu dijelaskan sebagai berikut: sadacara adalah tradisi-tradisi yang sudah diakui dan berurat akar di masyarakat; atmatusti adalah nilai kewajaran tingkah laku manusia menurut norma-norma umum atau pikiran yang menyenangkan masyarakat.

Kata berurutan di atas perlu digarisbawahi karena sumber hukum (adat) atas putusan suatu perkara atau penetapan suatu peraturan hendaknya dicari terlebih dahulu pada sruti, jika tidak ada diteruskan ke smrti, bila juga tidak ditemukan barulah ke sadacara dan seterusnya ke atmatusti. Dewasa ini para penyusun awig-awig Desa Adat di Bali ada beberapa yang melupakan urut-urutan ini, banyak menekankan pada sadacara dan atmatusti sehingga mengakibatkan kekurangsesuaian dengan sruti dan smrti.

Pasal-pasal: 31, 32, 33 yang mengatur tentang pemberian nama bayi di mana dibedakan menurut warnadharma kurang sesuai dengan semangat warnadharma di bab kedua. Jika dinyatakan bahwa semua golongan manusia sama tetapi dibedakan menurut profesinya, maka pemberian nama bayi tidaklah perlu mempertimbangkan profesi orang tuanya karena profesi si anak di kemudian hari belum tentu sama dengan profesi ayahnya.

Pasal 41 sampai 47 tentang pakaian dan atribut seorang Brahmana nampaknya kini sulit dilaksanakan.

Pasal 48, 49, 50 tentang keharusan seorang Brahmana meminta-minta makanan mungkin dinilai agak aneh dewasa ini.

Pasal 172 tentang larangan bagi seseorang yang belum disucikan untuk mengucapkan mantram, perlu dipikirkan lagi karena Puja Trisandya yang berisi mantram Gayatri sudah lumrah diucapkan oleh setiap orang mulai anak-anak sampai orang tua.

Bab Ketiga (Tritiyo Dhyayah)

Pasal-pasal: 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 tentang pawiwahan antar warnadharma nampaknya tidak dapat diterima oleh masyarakat dewasa ini.

Pasal 21 dan seterusnya tentang delapan cara pawiwahan, yaitu: Brahmana (pasal 27), Daiwa (pasal 28), Arsa (pasal 29), Prajapatya (pasal 30), Asura (pasal 31), Gandharwa (pasal 32), Raksasa (pasal 33) dan Pisaca (pasal 34), diantaranya yang tidak bertentangan dengan Undang-undang perkawinan di Indonesia adalah: Brahmana, Prajapatya, Asura dan Gandharwa, sedangkan cara pawiwahan Daiwa tidak lumrah dilaksanakan karena bertentangan dengan Sila Krama, di mana seorang Sulinggih tidak diperkenankan menikah lagi.

Pasal 44 yang mengatur tata cara pawiwahan antara seorang wanita sudra dengan laki-laki triwangsa nampaknya juga sudah tidak dituruti karena tidak sesuai dengan hak emansipasi dan semangat warnadharma.

Bab Keempat (Caturtho Dyahyah)

Pasal 61yang berbunyi :
"Na Sudra Rajye Niwasenna Dharmika Jana Wrte, Na Pasandi Gana Krante Nopasriste Ntyajairnbhih"
Artinya:Janganlah ia (seorang Sulinggih) tinggal di suatu daerah yang penguasanya adalah seorang sudra, tidak pula di tempat-tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang tidak benar, tidak pula di tempat-tempat yang dijadikan objek kunjungan oleh orang-orang tak berkepercayaan dan tidak pula di tempat yang dibayari oleh orang-orang golongan terendah.
Pasal ini nampaknya tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, karena akan membatasi aktivitas Sulinggih dalam memberikan pelayanan kepada umat dan melaksanakan tugas sebagai dharma duta. Demikian pula pasal 80 dan 81, menghambat tugas Sulinggih memberikan dharma wacana dan dharmatula.

Bab Kelima (Atha Pancamodhyayah)

Tidak ada hal-hal prinsip yang tidak sesuai dengan norma-norma zaman sekarang.

Bab Keenam (Atha Sasthodyayah)

Tidak ada hal-hal prinsip yang tidak sesuai dengan norma-norma zaman sekarang.

Bab Ketujuh (Atha Saptamodhyayah)

Perkataan “raja” dalam Bahasa Sanskrit mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “pemimpin pemerintahan” seperti yang lumrah dewasa ini.

Bab Kedelapan (Astamodhyayah)

Bab ini yang sebagian besar mengatur tetang hukum acara pidana serta lembaga-lembaga peradilan perlu disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku kini di Indonesia, atau seluruh Bab ini diabaikan.

Bab Kesembilan (Atha Nawanodhyayah)

Pasal-pasal yang mengatur tentang hubungan hukum suami-istri, harta kekayaan bersama, perceraian, dan adopsi penting untuk dipertahankan dan dijadikan acuan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang meliputi hal-hal tersebut di atas.

Bab Kesepuluh (Atha Dasamodhyayah)

Dari pasal 1 sampai 102 yang berkaitan dengan kehidupan dan hubungan sosial dalam kasta stelsel tidak relevan lagi jika kita mengacu pada semangat warnadharma di depan.

Bab Kesebelas (Atha Ekadacodhyayah)

Beberapa pasal seperti pasal 18, 21, 24, 42, 88, 181, yang berkaitan dengan tata kehidupan dalam masyarakat yang menganut sistim kasta, perlu ditinjau lagi karena tidak sesuai dengan kondisi masyarakat dewasa ini.

Bab Keduabelas (Atha Dwadacodhyayah)

Pasal-pasal: 70, 71, 72, juga menyangkut kehidupan catur kasta, perlu dipikirkan relevansinya dengan kehidupan sosial dewasa ini.

Kesimpulan

Manawa Dharmasastra bukanlah satu-satunya compendium hukum Hindu. Masih ada acuan hukum Hindu lain, misalnya Parasara Dharmasastra. Oleh karena banyak diantara para Sulinggih, dan cendekiawan Hindu dalam memberikan dharma wacana mengacu pada Manawa Dharmasastra, maka beberapa bab dan pasal-pasal yang disebutkan di atas perlu di kaji lebih dalam apakah masih relevan dengan kondisi sosial masyarakat Hindu dewasa ini.

Di samping itu terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia apakah sudah benar, karena kebanyakan para penerjemah kitab-kitab suci Hindu tidak menerjemahkan langsung dari bahasa aslinya (Sanskrit) tetapi dari kitab-kitab suci berbahasa Inggris yang ditulis para pengamat Hindu orang-orang India atau Eropa.

Misalnya pada terjemahan bahasa Indonesia, tidak ada konsistensi pengertian “warna” dengan “kasta”.

Para Sulinggih, terutama yang duduk dalam PHDI nampaknya yang paling pas memikirkan masalah ini, bila perlu dengan mengadakan seminar tentang bahasan Manawa Dharmasastra.

Jika di India sejak tahun 120 M sampai abad ke-12 para cendekiawan berani merevisi Manawa Dharmasastra, demikian pula di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra direvisi sesuai dengan desa, kala, patra.

No comments:

Post a Comment