Babad Manik Angkeran
Om Avighnam Astu Namo Siddham
Ladang Informasi - Terlebih dahulu, kami
haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama
Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur
semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang
telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
Juga agar tidak terkena malapetaka dari
Ida Sanghyang Saraswati. Semoga kami semuanya. serta keluarga dan keturunan
kami mendapatkan keselamatan. kesejahteraan sampai kelak di kemudian hari di
dunia ini.
Om Siddhir Astu Tat Astu Svaha. Om Ksama Sampurna
Ya Namah Svaha.
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah
di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada
putranya laki-laki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau
memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan
mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra
lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha
sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya.
Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali
pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang
Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di
Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke
Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu
Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel,
Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang
nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun
Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang
atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu
Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur,
berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di
kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana
Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di
Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang
keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di
Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai
sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk
Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini.
Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang
pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat
tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti
seperti ini
"Ida sane ngawentenang pawarah -
warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan,
mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung
Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga
maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama" yang artinya: Beliau
Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang
berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama
(sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan,
menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh
Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu
berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang
mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah
mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula
berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya
Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah
atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam
ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular,
yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam
soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu
Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di
dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan
negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau
di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu
pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata,
berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang
Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra.
Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu
Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan
Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa
Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa
Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta
Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di
Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida
Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri
oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua
orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa
melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau
Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan
Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar
Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas
serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang
membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di
Pulau Bali.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam
di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika
Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang
Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja
Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di
Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang
menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja
yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna
Kepakisan datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya
Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya
Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin,
Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si
Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya
di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para
menterinya untuk mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal
Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya
Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya
Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya
Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di
Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti, Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet,
Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di
Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung,
Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di
Babad Dalem.
Ida Danghyang Siddhimantra Berputra Ida Bang Manik Angkeran
Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang
Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung
atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung karena beliau tidak bisa
mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang Siddhimantra disebabkan
memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta bijaksana. Beliau menjadi
sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta yang bijaksana) di
kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi Danghyang
Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini.
Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan
untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya kelak. Karena itu beliau
melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya.
Karena kesaktian beliau, dan karena
permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar yang keluar dari api homa
tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari tengah-tengah api pahoman itu. Anak
itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari merah
warna api itu. Manik dari manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan
Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya.
Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah beliau memiliki putera, sangat
sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan dimanjakan betul putera beliau.
Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak
remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu
Bekung menemui ganjalan pikiran atau kesusahan, ternyata kemudian putra beliau
sehari-hari pekerjaannya hanya berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di
rumah, selalu berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di
sana Ida Bang Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi
tidak pernah menang. Selalu kalah saja.
Hingga habis milik ayahnya dipergunakan
untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka cita tiada lain karena putranya
tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan resah gelisah perasaan beliau,
seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desa-desa. Setiap
ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada
menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya
mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan, konon, sudah lama beliau
mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba
di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di Tohlangkir - Gunung
Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah kemudian duduk seraya bersamadi
menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang
bernama Ki Brahmara .
Karena keutamaan puja mantra beliau
diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara yang demikian menakjubkan, menjadi
heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya berkata: "Ah Mpu Bekung yang
datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya menjadi tahu
!".
Berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih
paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak pernah sama sekali pulang,
sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu. Maksud hamba agar dengan
senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya, apakah dia masih
hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih hidup agar supaya
pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada".
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih
berkata: "Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih hati, sebenarnya putra Mpu
masih hidup berada di desa-desa, bermalam di sana. Sekarang saya yang akan
mengarad (menarik) Jiwa - putra Mpu, agar segera pulang kembali. Namun, Mpu
saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya mengarad putra sang
Mpu". Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung
agar pulang ke rumahnya .
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu
memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka
sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera
telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya
berkata: "Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan
sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah - sudah. Ayah
tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda ingat
juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk
desa-desa".
Kemudian berkatalah putranya:
"Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali palungguh Mpu
marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda tidak
pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan
diri sebagai seorang putra Brahmana". Demikian kata putranya Sang Bang
Manik Angkeran, Setelah usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya,
ingat beliau kepada permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu
lembu.
Pada hari yang baik. lengkap dengan
gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju Tohlangkir. Sesampainya di
Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja
Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau. Karena kemakbulan weda
mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida Bhatara keluar seraya
bersabda: "Ah, Mpu Bekung yang datang, apa keinginan sang Mpu datang
lagi?".
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah". Tatkala didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang. Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah". Tatkala didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang. Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat ceritera, setelah beliau mengambil
emas itu yang kemudian dibungkus sebesar kelapa besarnya, lalu beliau memohon
diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan perjalanan Ida Mpu
Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa emas.
Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya,
meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu.
Ida Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal
kepergian beliau mendapat emas itu. Putra beliau tetap saja gencar mencari
tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada putranya. "Aduh ananda, jangan hendaknya
ananda gencar bertanya seperti itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau
ada keinginan ananda untuk mengambil, Ayahanda berikan". Walaupun demikian
kasih sayang beliau kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada
ayahandanya untuk diberi tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai
hati dan rasa kasih sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan
perihal beliau mendapatkan harta itu.
Karena sekarang sudah memiliki emas, maka
pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi
kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya
tidak sampai satu bulan habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual,
dipakai modal di tempat perjudian.
Karena keadaannya demikian, lalu beliau
berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada perjalanan ayahandanya
mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir.
Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi - sembunyi agar tidak diketahui
ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta
genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak diceriterakan perjalanannya,
sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu beliau duduk mengheningkan
cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta
diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu, membuat geger, keluar Bhatara Naga
Basukih dari gua itu seraya berkata "Ah siapa anda ini datang, segera
katakan !".
Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah:
"Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba
mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan
paduka Sanghyang. "Demikian hatur beliau. Karena demikian, sangat
sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu itu, setelah
berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu.
Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran:
"lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta
akan kuberikan ."
Berkatalah Ida Bang Manik Angkeran:
"Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon modal, nista sekali
hamba berjudi, selalu kalah setiap hari ".
Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil
emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan kepada Ida Bang Manik
Angkeran, seraya bersabda: "Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma,
poma". Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon
pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di
rumah di Griya Daha, menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain
judi. Atas kehendak Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya,
itu sebabnya kembali beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat,
meminjam tidak diberi. Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik
ayahandanya, seraya mencari sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang
bernama Ki Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.
Setibanya beliau di Tohlangkir, lalu
beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya, mengheningkan cipta, memuja
Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu betul-betul genta utama,
gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya bersabda: "Ah Sang
Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa
lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan kuberikan".
Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih
demikian mempesona dan menggetarkan perasaan, menjadi tak enak perasaan Ida
Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa. Karena demikian kata Ida Sang
Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar,
seraya meminum susu lembu tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida
Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala
beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di
luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena
di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu manikam beralaskan emas dan
mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika itulah muncul rasa angkara loba Ida
Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat tamak untuk memiliki permata itu. Lalu
beliau menghunus pedang Ki Gepang yang dibawanya segera memenggal ekor Ida
Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata intan yang ada di bagian ekor yang
segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik Angkeran. Karena demikian tingkah
Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara Nagaraja, sebab merasa
ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke luar gua. Dilihat oleh
beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik Angkeran. Segera beliau
menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran yang
kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara
Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik
Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem
Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah
perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke rumah. Desa-desa
diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan. Segera beliau
mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau putranya
sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang ditujunya,
berkehendak mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan di jalan tibalah
beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu, sementara buah genta
berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas, bahwa genta itu
adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu itu merupakan
jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa duka-citanya, seraya
berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran disebabkan
perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja.
Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena sudah jelas diketahui, maka beliau
kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak untuk menghadap Ida Sanghyang
Basukih. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk
melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basukih.
Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama
beliau menunggu, tidak juga keluar Ida Sanghyang Basukih, disebabkan demikian
besar amarahnya, ingat diperdaya oleh suara genta.
ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan
lagi pujastutinya dengan mengujarkan Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti
Mantra diiringi dengan suara genta beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara
keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul, seraya
menghaturkan sembah panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata:
"Om paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan
anakku yang demikian tak berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah
Bhatara menceriterakan perbuatan anak hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam
diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga.
Namun, karena Ida Sang Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida
Bhatara berkata perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida
Sang Bang Manik Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk
menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida
Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai
bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan sembah seraya berkata:
"Singgih pukulun paduka Bhatara, demikian memang dosa anakku itu, namun
rupanya dia sudah menjalani kematian, habis sudah dosanya. Inggih, hamba
sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara
menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dialah anak hamba satu-satunya,
sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila
mana dia nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka
Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak kemudian hari".
Mendengar hatur Ida Sang Mpu Bekung
sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara seraya bersabda: "Ah, Sang
Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka rela menghidupkan anakmu,
namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali ekorku".
Lalu menyembah Mpu Bekung: "Singgih
paduka Sanghyang, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk
menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba
berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan, permata intan yang
sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota
paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula mereka yang
jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di
bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa
terbang karena keberatan di bagian ekor".
Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang
Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu Bekung. Setelah usai bertemu wirasa,
lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi menghaturkan puja mantra, menyatukan
batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi
(pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pujastuti serta permohonan
beliau, segera beliau membuat gelung mahkota, dengan hiasan candi kurung,
garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan memakai sekar taji.
Demikian indahnya memang kalau dilihat.
Selesai sudah gelung agung itu, kemudian
dipakai oleh Ida Bhatara. Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin
mempesona prabawa Ida Bhatara, dan juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian
sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja. Karena itu, segera pula Ida Bhatara
menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran, didahului dengan pujastuti weda
mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran bangun, seperti baru habis tidur
layaknya, hidup seperti semula, dan ketika sadar, beliau cepat lari. Tempat itu
kemudian bernama Pura Bangun Sakti. Segera Ida Sang Bang diikuti oleh
ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk menghadap Ida Bhatara Hyang
Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang Manik Angkeran dihaturkan kepada
Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai kelak di kemudian hari.
Demikian suka citanya beliau berdua,
karena semuanya sudah berhasil, disebabkan kesaktian beliau masing-masing. Ida
Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida
Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja.
Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang
Basukih. Ida Sanghyang Basukih kemudian bersabda: "Duh, Mpu Bekung, memang
demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti
dan makbulnya japa - mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama
anda, namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah
sahabat karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !" lalu Ida Sanghyang
Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar
Danghyang Siddhimantra.
Sebelum Ida Danghyang Siddhimantra kembali
ke Griya Daha, tidak lupa beliau memberikan petuah kepada putranya Ida Sang
Bang Manik Angkeran: " Uduh mas juwita permata hati ayah, engkau anakku
Manik Angkeran. Ananda akan ayah tinggal sekarang ini. Sebab Ayahanda akan
kembali ke Jawa. l Dewa akan ayahanda haturkan kepada Ida Sanghyang Basukih,
sesuai dengan janji ayah kepada Ida Bhatara. Mungkin ananda belum jelas tahu
perihal keberadaan ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara
sampai habis menjadi abu, disebabkan karena marah beliau tak terhingga,
perilaku ananda sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu
ayahandamu ini memohon kepada Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati
menghidupkan kembali ananda, dengan janji, kalau ananda bisa hidup kembali,
ananda akan ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di sini di Besakih.
Selain itu, kalau ananda kembali ke Jawa, jelas perilaku ananda akan kembali
seperti yang sudah-sudah, sebab lingkungan ananda di sana sudah demikian rupa.
Diamlah dan tinggal ananda di sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan
ananda salah terima dan salah paham, sebab sebenarnya, perihal perasaan ayahanda
dan kasih sayang ayahanda kepada ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu
sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda ini yang sangat Penting, agar diteruskan
dharma bakti ananda ke hadapan Ida Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih.
Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian, menjadi ingkar ayahanda dengan
janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda,
sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan
menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang
ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan,
mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di
Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin
meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida
Bhatara semuanya".
Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan
semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di samping petuah tersebut, Ida Sang
Bang juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang
untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan upacara, di samping diberikan
pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang tinggi.
Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran
mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau ditinggalkan oleh ayahandanya
yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali ke Jawa.
Tidak diceriterakan perjalanan beliau,
tibalah beliau di tanah genting - tempat perbatasan antara Jawa dan Bali. Di
sana beliau termenung -menung. teringat beliau akan kelakuan putranya yang tak
senonoh. ltu sebabnya timbul kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida
Sang Bang Manik Angkeran kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan
mengupayakan bagai mana caranya agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab
janji beliau sudah demikian pasti. ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar
menjadi laut. Di sana kemudian beliau menggelar yoga semadinya. Menyatukan
batinnya, memuja Bhatara di pegunungan agar berkenan dan tidak beliau menjadi
kualat. Sudah bersatu pikiran beliau dan juga sudah mendapatkan ijin anugrah,
lalu tanah genting itu digores dengan tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat
kawasan Bali dan Jawa, lindu dan gempa terjadi, kilat dan halilintar bertubi -
tubi ! Terpisah dan putuslah kawasan Bali dengan Jawa ! Laut memisahkan
keduanya. Lalu laut itu dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita
Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke
Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Dukuh Sakti Belatung
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang
Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua,
sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari-hari
melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian
kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar
jika dibandingkan dengan sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara
Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang
pendeta pura yang suci. Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja
Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa
pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan
mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau
berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang
Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan
rumput dan menyiangi. Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian
saktinya, namun tindak-tanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang
pamer. Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau
bekerja, keluarlah keisengannya untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian
menaruh alat siangnya dan melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil
sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi. Pikir Ki Dukuh ingin
supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan
menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya
untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: "lh
Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa
yang bisa Bapak hasilkan?".
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?". Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu". Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina". Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?". Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu". Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina". Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida
Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan
utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik
bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?" Ki Dukuh kemudian
berkata: "Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa
Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini". Berkata lagi Sang
Bang, masih perasaannya jengkel: "lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu
ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan? "Akan
saya bersihkan !". "Bagaimana cara Bapak membersihkan ?" "Akan
saya bakar !. "Apa yang akan Bapak pakai membakar ? "Wah, ini
benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai
membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar
?". "Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir,
"kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun
kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang
berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja
sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang
demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung,
kemudian menghaturkan sembah "Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti
perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba
akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak
hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu". Usai Sang Bang
mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau
berkata perlahan: "Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan
memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta
disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi". "Jangan sekali-kali l
Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan
janji". Demikian hatur Ki Dukuh. "Nah, kalau begitu, ke sana Bapak
pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya
memberikan bukti di hadapan Bapak". Demikian perjanjian Ida Sang Bang
Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu
memberitahukan kepada anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada
Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu
sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya
menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah
disepakati, pagi - pagi hari Ida Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi
di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar
memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan
menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh,
nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai
pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal
menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat benar matahari di atas kepala,
lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan
cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung
Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air
kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang
menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu,
hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta
semua iringannya, sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh
merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan
baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida
Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu
beliau berkata kepada Ki Dukuh: "Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan
ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut". Saat itu Ki Dukuh menemukan
jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api
itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta
dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang
memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul
tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki
Dukuh yang memakai kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya
melompat juga ke api, sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta
berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke
Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan
- penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang
bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau
Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa
dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang.
Sekarang diceriterakan yang masih hidup.
Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan
Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang
merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh
Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling mencintai, disebabkan yang satunya
merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang
jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan
Setelah upacara selesai, lalu keduanya
kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian,
Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu
menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau
melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian
membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan
nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya
sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan
yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki
kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri
saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki,
rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak
Wide.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Dengan Bidadari
Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau
bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar
dari pasraman, membawa tempat air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang
sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari baik atau pada hari Purnama-Tilem,
selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik
perlahan sebab merasa senang beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi
jurang, serta pula di berbagai tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya
serta beraneka rupa warnanya. Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat
keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga
itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar
oleh beliau suara burung semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut
kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu
menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan
tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti. Karena terlihat
oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih dahulu di tempat air suci itu,
kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan wanita itu.
Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa.
Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat
lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali.
Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh. Setelah agak lama
mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu,
seraya menyampaikan pertanyaan: "Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah
gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan
puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah
Dewa?" Menjawab wanita itu: "Inggih Sang Pendeta, yang sangat
bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia". "Kalau
demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?". "Ya, benar sekali
seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga". "Aduh,
sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba
melihat kecantikan paras tuan puteri". "Inggih, memang demikian Sang
Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau
Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta
bertekuk lutut di kakinya". Demikian kata Sang Bidadari. Ketika mendengar
perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang Pendeta.
Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: "Apa yang
mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?"
Menjawab Sang Bidadari: "Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke
sini, hanya bersenang-senang". Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke
sini untuk bersenang-senang. Apakah di Sorga kurang tempat yang indah untuk
bersenang-senang?" "Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga,
memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang membuat
hati ini senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka
atau duka, hanya tergantung pada hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti
hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan
kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati
hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal
yang sangat indah di sini". Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang
Pendeta menjadi makin gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: "Memang
betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri
berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri". "Janganlah
berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba.
Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda". Demikian Sang Bidadari
segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang serta
keduanya merasa di hati masing -masing sudah akrab serta bersemi lagi rasa
cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata: "Duh
Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan
hamba tidak berkenan di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan
perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut
baik sekali". Lalu menjawab Sang Bidadari: "Silakan Sang Pendeta, apa
yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang
Pendeta merasa ragu dan khawatir". Berkata Sang Pendeta: "Duh, Dewa,
terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan
Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini .... diri hamba
akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke
Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak
di sini di dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara
di sini". Menjawab Sang Bidadari: "Ya kanda, sebelum hamba menjawab
keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal
kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus
untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra, dinda
sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke
Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda menunggu
kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang
turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan
kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu,
kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak
lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di
dunia, semasih kakanda berada di sini". Setelah mendengar perkataan Sang
Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta.
Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: "Duh,
permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang
dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun
terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih
sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda,
sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang
ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama
dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan
ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan
dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut
di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda
khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui
kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada
kanda".
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum
manis: "Ya kanda, memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun
jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida
Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan
ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri
kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar
saja diutus turun ke sini ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida
Sang Nagaraja, seyogyanya kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda
sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja,
yang sudah berjanji kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula
memang kebetulan ada lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi
hambalah yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak
mau ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara,
memohon agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan
kanda. Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin
untuk mohon pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke
dunia, tidak lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi
seperti kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak
bisa dinda bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang".
Memang demikian kagumnya beliau Sang
Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya
kembali: "Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini
sudah dinda ketahui ?"
"Ya, semua dinda ketahui". Baru
demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya.
Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari
melanjutkan: "Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida
Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan
anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja,
sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya
angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena
beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani -
stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau
dengan badan jasmani baik seperti sekarang ".
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian
melanjutkan lagi: "Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki
Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga
samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati
dan senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar
dari air kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida
Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil
kanda akan memperlihatkan kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air
kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang
langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan
berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik
jelas akan hilang keutamaannya". Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Cepat berkata Sang Bidadari:
"Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu dengan kanda seperti ini
saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia dibandingkan dengan di
Sorgaloka".
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah
Ida Sang Pendeta dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang,
tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida
Wang Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih,
Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu
sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di
kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di
sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta,
Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran
tatwa, pengetahuan serta kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya
Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita
yang cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek
sekeluarga sampai kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak
keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang
Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni - pendeta wanita yang sangat
fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan tapa brata yoga samadhi. Dari
isterinya - Ni Luh Murdani, lahir seorang putera Iaki-laki, yang juga
berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang
Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra
beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang
Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang
putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab
bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena
segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta
Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan
Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada
isi dari Tri Ratna dan Asta Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya
diberikan nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya
segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga. Selain dengan
memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang
Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat dan
petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya,
kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai
bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Ki Dukuh Murthi
Diceriterakan sekarang, pada suatu hari.
Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju ke arah Barat
Laut, ke arah tempat kediaman Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan,
sampailah beliau di hutan Jehem, kemudian, menuju Padukuhan, dan berjumpa
dengan Ki Dukuh Murthi. Keduanya kemudian berbincang-bincang mengenai mertua
Sang Pendeta yakni Ki Dukuh Belatung yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang
bersaudara dengan Ki Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki
seorang anak wanita yang sangat cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu
dipersembahkan oleh Ki Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai haturan utama yang
tulus ikhlas, bukti besar bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai
pengikat hingga kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta sangat mencintai
dan mengasihi Ni Luh Canting, serta bertemu cinta didasari rasa kasih sayang
yang suci. Namun karena ada pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi oleh
warga desa-desa lain untuk memberikan pelajaran pengetahuan keagamaan,
tergesa-gesa beliau meninggalkan Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan
memberikan petuah kepada warga desa-desa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil, dan
lama-kelamaan melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra
Manik. Belakangan Sira Agra Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan
ayahandanya untuk menghaturkan Lawangan Agung.
Dengan demikian Ida Danghyang Bang Manik
Angkeran memiliki putra empat orang, yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang
Tulusdewa, Ida Bang Wayabiya dan Si Agra Manik, yang keturunannya kemudian
bernama Catur Warga.
Ida Danghyang Bang Manik Angkeran Berpulang Ke Sunyaloka
Patut diketahui perihal kesaktian Sang
Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika
dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh
orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau
jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak
hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan
putranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang
Bang Manik Angkeran melaksanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau
bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya
perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang
Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari
sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian
memasak, dibukanya kekeb - penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat
padinya sebulir itu masih seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari,
kemungkinan memang sampai saat itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta.
Kemudian beliau menghadap dan menghaturkan sembah: "Inggih kakandaku, Sang
Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri - bersuamikan kanda.
Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke
hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka".
Sang Pandita kemudian berkata halus:
"Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan
mengikuti perjalanan dinda". Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang
Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam
baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu
beliau memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga
memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama
isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna:
" l Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya,
anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang
bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke
Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun
suka hendaknya tetap satu! Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara
Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih
serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah
ayahandamu ini". Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh
para putranya bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian
berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh
isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah
menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah
serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus
bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat
itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni
Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera
itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak
Wide akan berbincang dengan kedua adiknya. Setelah semuanya duduk, maka
berkatalah Ida Bang Banyak Wide "Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi
dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang
bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau
Jawa, tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah
kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek
kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang
mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda
pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang - kakek kita tidak tahu sama sekali akan
keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan
ayahanda kita serta kita bertiga".
Baru didengar perkataan kakaknya demikian,
maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: "Inggih
palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat,
namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal
keinginan kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar
sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa,
untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk
bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda
tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar
ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu
di sini di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda".!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan
sembah: "Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda
hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang,
walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih
dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali
ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak
ikut mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru.
Dinda tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa,
menghadap kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda
berkehendak akan pergi, silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang
memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua
di sini di Bali ".
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua,
lama Ida Sang Banyak Wide berdiam, berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah
berpisah dan mereka saling mengasihi satu sama lainnya. Kemudian beliau
berkata: "Inggih, kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di
Bali agar ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan
perihal keadaan kita di Bali ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru.
ltu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap
kepada Ida l Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun
kanda tidak lagi berada di sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin
kanda - dinda berdiam, kalaupun kanda - dinda menemui kebaikan atau keburukan,
agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di
kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu
Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal!
Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami
kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu
kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu
kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian
hari".
Inggih, silakan palungguh kanda pergi,
dinda menuruti semua apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa
bertemu dengan Ida l Kakiyang". Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide
mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan
Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan
dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan
manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah
diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia,
demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi
kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana
beliau merasa lesu, di sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah
menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau
kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali
beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali
beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha
itu.
Singkat ceritera, sampailah beliau di
perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan keadaan negeri itu yang demikian
ramai dan indah. Berbeda sekali kalau dibandingkan dengan desa Besakih, yang
sedikit bangunannya. Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok
yang tinggi dari batu bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus -
bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di
sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu
nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan
memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero
itu, ada balai-balai kecil: bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh
dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian
gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya,
sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya - tempat
seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya
Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat
Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya,
di tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi
untuk mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,.
langsung akan hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida
Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika
melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya
berkata: " Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal,
eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane
sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya
ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa
namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek
mengetahuinya !"
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide
berkata, seraya menghaturkan sembah bakti "Singgih pukulun Sang Pendeta,
hamba adalah cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang
Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin
bertemu dengan kakek Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta
Siddhimantra itu".
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide
demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata:
"Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah
bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini
sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini,
jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja
cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi
pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu
putera kakek ada Iaki-laki seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh
sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung -
tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi
sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini kelak di
kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di samping itu
ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu
ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar
Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan ".Demikian wacana
Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak
Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat
- kadharma putera.
Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta.
sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah
berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu
Sedah.
Ida Bang Banyak Wide Menyunting I Gusti Ayu Pinatih
Diceriterakan sekarang, betapa bahagianya
hati Ida Mpu Sedah, Ida Wang Bang Banyak Wide - putra angkatnya sangat
disayanginya. Singkat ceritera, sekarang Ida Bang Banyak Wide sudah berdiam di
Geria Daha, di Geriya kakek beliau Ida Mpu Sedah.
Dikisahkan kemudian Ki Arya Buleteng, yang menjadi patih di Kerajaan Daha, mempunyai seorang putri benama I Gusti Ayu Pinatih. I Gusti Ayu Pinatih, tatkala itu sudah remaja putri, parasnya cantik nian, bagaikan Dewi Saraswati nampaknya, serta juga bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, cocok memang sebagai putri seorang bangsawan, serta sangat dimanja oleh ayah bundanya dan semua keluarganya. Puri Ki Patih Arya Buleteng itu tidaklah demikian jauh dari tempat tinggal Geria Ida Mpu Sedah, dan lagi pula sering Ida Mpu Sedah beranjangsana ke Puri sang Patih. Demikian juga putra sang Mpu, Ida Bang Banyak Wide, sering berkunjung ke Puri. Dan semakin lama semakin sering sang teruna remaja berkunjung ke Puri, untuk menghadap kepada sang patih, namun yang paling utama adalah untuk bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih. Lama-kelamaan semakin bersemi cinta kasih di antara sang teruna dan sang dara, tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu diambillah I Gusti Ayu Pinatih oleh Ida Sang Bang. Itu sebabnya marah besar Ki Arya Buleteng, disebabkan putri beliau diambil oleh Ida Sang Bang Banyak Wide. Kemudian datanglah Ki Arya menghadap sang Mpu, menyampaikan prihalnya beliau memiliki anak hanya sorang. Disebabkan karena putra sang Mpu juga hanya seorang yakni Ida Sang Bang Banyak Wide, maka menjadi sangat prihatin perasaan keduanya, dan berkehendak akan memisahkan kedua teruna-daha itu. Tiba-tiba Ida Sang Bang Banyak Wide menghaturkan sembah di hadapan Ida Mpu seraya mengatakan bahwa sama sekali beliau tidak mau dipisahkan dengan I Gusti Ayu Pinatih. Kalau saja dipisahkan, tak urung mereka akan membunuh diri berdua. Itu sebabnya beliau tak bisa berkata-kata. Kemudian berkata Ki Arya Buleteng, menjelaskan keinginan beliau : "Aum sang mahapandita, jikalau begitu kehendak ananda sang Mpu, kalau menurut saya, kalau saja ananda sang Mpu mau menjadi putraku, sampai di kelak kemudian hari, saya berikan putri saya kepada ananda Sang Ban", demikian atur Ki Arya Buleteng. Belum selesai perbincangan beliau berdua, segera menghaturkan sembah Sang Bang Banyak Wide : "Duh, beribu maaf, ayahanda Ki Arya Buleteng serta ayahanda sang Pendeta, jikalau demikian keinginan mertua nanda, ananda menuruti kehendak mertua hamba, dan jika nanti hamba memiliki keturunan, agar menjadi Arya.
Anugrah Ida Mpu Sedah
Semakin tak bisa berkata-kata lagi
Danghyang Mpu Sedah mendengar atur putranya, namun sang Pandita menyadari bahwa
semuanya itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa, lalu berkatalah beliau ?Ah
anakku, juwita hatiku Sang Banyak Wide, nah karena sekarang ananda berkehendak
menjadi pratisentana - putera dari Ki Arya Buleteng, maka dengarkanlah ini,
tanda cinta kasihku kepadamu anakku:
“Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam, wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah, Siwatwam, pujatityasam, trikayam pansudham, kayiko, waciko suklam, manaciko sidha pumam. Puranam tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam maho, witing kunam purwa Daham”
Berkatalah kemudian Ida Sang Pandita: Aum,
Sang bang, inilah merupakan titah Yang Maha Kuasa, berupa aturan sidhikarana
yang kakek berikan kepadamu, perjalanan sejarah dan status brahmana yang
dahulu, sekarang menjadi Arya Pinatih, ini ada tanda kasihku padamu berupa
keris sebuah, bemama Ki Brahmana Siwapakarana - peralatan pemujaan pendeta,
pustaka weda, itu semua agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan bagaikan
kawitan-leluhurmu, sebagai pertambang jati dirimu sebagai Arya Bang Pinatih,
yang berasal dari brahmana dahulu. Ada nasehatku juga, kalau ada keturunan Arya
Wang bang, tahu tentang Filfasat Kedharman, kokoh melakukan tapa yoga brata,
memiliki ilmu pengetahuan yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta
selalu mengupayakan ketrentraman, menganut prilaku Brahmana Wangsa, dapat
didiksa, menjadi pendeta maharesi. Ingatlah hal ini. Serta ada pula anugerahku,
kepada mu, jika ada yang tahu tentang siapa yang membawa pusaka itu di kemudian
hari, menyucikan diri sanak saudaramu kelak, dan bila sesudah meninggal,
bilamana sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika melakukan
upacara atiwa-tiwa - palebon, berhak memakai sarana upacara seperti seorang
brahmana lepas, berhak mempergunakan padmasana, serba putih, serta segala
sarana upacara sebagai sang brahmana, pendeta. Bilamana yang meninggal adalah
walaka, bilamana memperoleh kebahagiaan utama memegang kekuasaaan serta
memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan bade bertumpang 9, petulangannya
lembu, semua sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga bandha, berhak
dipakainya. Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara
atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya,
demikian yang berlaku pada Arya Pinatih.
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki
Arya Pinatih, yang - karenanya ingatlah sampai di kemudian hari, jika meninggal
bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal bayi sesudah kepus
pungsed, cuntakanya 11 hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal
sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Jangan lupa
pada nasehatku ini. Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari, dalam hal
bersanak-saudara, jika ada orang luar desa datang, berkehendak untuk ikut
menyungsung - menyembah Sanghyang Kawitan Ki Brahmana serta Siwopakarananya,
mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun orangnya nista madhya utama, janganlah
ananda kadropon, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian
Sanghyang Kawitan, bukan sanak saudaramu itu. Jika dia mau anapak Sanghyang
Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak saudara denganmu, dan
berhak ikut menyungsung bersama, bhatara Kawitan, walaupun jauh tempat
tinggalnya. Serta sanak saudaramu si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama
lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku ini, hala tunggal, hala kabeh
- satu menemui celaka, semuanya celaka. Serta kemudian tidak bisa disupat
Sanghyang Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Resi Siwa Budha, serta jika
melanggar seperti nasehatku ini. OM ANG medhalong, ANG OM mepatang, ANG UNG
MANG ti sudha OM NRANG OM. Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian
pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan dirimu dalam mengamong kawitanmu,
serta kukuh seperti nasehatku pada ananda.
Ida Bang Banyak Wide Berputra Ida Bang Bagus Pinatih / Sira Ranggalawe
Setelah mencari hari baik, maka
diselenggarakanlah upara Perkawinan Agung di Puri Ki Arya Buleteng. Para
raja-adipati, menteri-menteri serta sanak saudara se wilayah Daha semua
diundang, dan yang terutama diundang adalah Ida Pendeta Siwa Budha yang akan memimpin
upacara Pawiwahan - Pernikahan Agung itu. Tidak bisa diperpanjang lagi prihal
upacara Perkawinan itu, semua rakyat menjadi riang dan gembira. Ida Sang Bang
Banyak Wide sudah bertempat tinggal di Puri Patih Arya Buleteng, serta memakai
nama Sang Arya Bang Banyak Wide. Kemudian I Gusti Ayu Pinatih melahirkan
seorang putra laki-laki, dinamai Ida Bang Bagus Pinatih, mempergunakan nama
sang ibu. Pada hari tertentu, diceriterakan anak Ida Bang Banyak Wide diculik
oleh seorang raksasa. Namun tiada berapa lama, ditemui I Raksasa beserta
putranya di sebuah goa. Saat itu Ida Bang Banyak Wide menghunus kerisnya Ki
Brahmana. Baru keris itu dihunus gemetar seluruh tubuh I Raksasa, kemudian
memohon hidup. Katanya : ?Inggih, sekarang ini agar tuanku suka memberi hidup
kepada hamba. Dan sekarang saya menaruh janji agar sampai kelak di kemudian
hari turun temurun, sepanjang hidup keturunan Tuanku, semoga tidak akan pernah
dibencanai oleh kaum Durga?. Demikian ucap I Raksasa yang bernama Buta Wilis
itu, kemudian menghilang. Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin
besar, dewasa dan sudah mengambil isteri serta memiliki putra yang bernama sama
dengan nama ayahandanya. Ida Bagus Pinatih juga bernama Pangeran Anglurah
Pinatih atau Sira Kuda Anjampiani. Demikian dulu keadaaannya di kawasan Daha.
Ida Bang Banyak Wide Membantu Raden Wijaya Membangun Majapahit
Diceriterakan sekarang daerah Daha
diserang oleh Raja Singasari serta kemudian dikuasai oleh Singasari. Ida Bang
Banyak Wide tatkala itu menjabat sebagai Demang atau Patih pada saat
pemerintahan Prabu Kertanagara tahun 1272 Masehi. Lama kemudian para menteri
yang sudah tua di Singosari semuanya diturunkan pangkatnya masing-masing
diganti dengan pejabat yang muda-muda. Saat itu patih tua Rangganata
diberhentikan. Ki Arya Banyak Wide diturunkan jabatannya ke Sumenep menjadi
Adhipati Madura bergelar Arya Wiraraja. Hal seperti itu jelas menjadi bibit
tidak baik di kemudian hari. Lalu diceriterakan Prabu Singasari menyerang Tanah
Melayu, semua bala tentaranya dikirim ke Tanah Melayu. Tatkala sang Prabu
bersenang-senang di Puri, Ida Arya Bang Banyak Wide kemudian memberikan surat
sindiran kepada Raja Daha yang bernama Prabu Jayakatwang tentang leluhur beliau
yang bernama Dandang Gendis dirusak oleh sang Prabu Singosari. Patut sang
Prabhu Daha membalas dendam kepada Sang Prabu Kerthanegara. Pemberitahuan
Adipati Banyak Wide diluluskan oleh Sang Prabu Daha. Kemudian Singosari
diserang oleh Daha, tidak urung kemudian kalah Singasari.
Pada saat itu ada putra Singasari yang berama Raden Wijaya secara sembunyi-sembunyi datang ke Madura, bermaksud bermitra dengan Adipati Madura. Sesampainya di Madura, diadakan daya upaya, agar Raden Wijaya mau menyerahkan diri kepada Prabu Kediri. Sang Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja akan memohonkan jabatan untuk Raden Wijaya agar menjadi orang penting di Keraton. Kemudian Raden Wijaya agar memohon kepada Raja agar diberikan hutan Tarik dengan alasan untuk dipakai tempat raja bersenang-senang. Ida Bang Banyak Wide sanggup akan memberikan bala sahaya serta Raden Wijaya agar memberitahukan kepada rakyat di Tumapel ikut membuat tempat tinggal di alas Tarik.
Singkat ceritera, hutan Tarik itu sudah
diberikan, kemudian Raden Wijaya di tempat itu membuat pasraman, kemudian
diberi nama tempat itu Majapahit atau Wilwatikta disebabkan karena banyaknya
buah maja yang pahit ditemukan di sana. Disebabkan pekerjaan merabas hutan itu
dipimpin oleh Ida Bagus Pinatih, putra Ida Sang Bang Banyak Wide atau Arya
Wiraraja, maka kepada Ida Bagus Pinatih diberikan gelar sebagai Sira
Ranggalawe.
Sekarang ada daya upaya dari Raden Wijaya akan menyerang wilayah Kediri. Namun demikian Ida Arya Wiraraja atau Arya Bang Banyak Wide memberitahu, agar menunggu kedatangan prajutir Tartar yang juga akan menyerang Kediri. Arya Wiraraja sudah mengadakan perjanjian dengan Pasukan Tartar akan secara bersama-sama menyerang Kediri. Di tahun Masehi 1292, kerajaan Kediri kemudian diserang oleh prajurit Tartar dan prajurit Majapahit yang dipimpin oleh Arya Wiraraja serta putranya Sira Ranggalawe. Ramai nian perang itu. Tanpa disangka akhirya kalah Kediri serta Prabu Jayakatwang berhasil ditawan. Sejak saat itu Raden Wijaya kemudian menjadi raja dengan gelar Srimaharaja Kertharajasa Jayawardhana.
Sira Ranggalawe Memberontak
Dikisahkan sekarang Sira Ranggalawe
menjabat sebagai Menteri Amanca Negara, memerintah kawasan Tuban. Arya Wiraraja
tidak diperkenankan untuk berdiam di Madura, diperintahkan untuk bertempat
tinggal di Majapahit, sebagai Tabeng Wijang Ida Prabu Kertharajasa. Sejak saat
itu Bhupati Arya Wiraraja berganti gelar, dimaklumkan di seluruh penjuru negeri
sebagai Rakriyan Mantri Arya Adikara.
Diceriterakan Ida sang Prabhu di Majapahit
menyelenggarakan pentemuan besar membahas prihal rencana penunjukan Patih
Amengkubhumi. Kemudian, saat itu Ida Sang Prabu menunjuk Sira Patih Nambi
menjadi Patih Amengkubhumi. Keputusan itu kemudian didengar oleh Sira
Ranggalawe, kemudian beliau menghadap ke Kraton Majapahit, berhatur sembah
kepada Ida Sang Natha Kertharajasa, berkenaan dengan keputusan Ida Sang Prabhu,
yang sudah diumumkan di seluruh negeri yakni Ki Patih Nambi diangkat menjadi
Patih Amengkubhumi, hanyalah satu upaya yang tidak berguna, jelas negeri ini
akan menjadi tidak baik, sebab Ki Patih Nambi sudah nyata-nyata pengecut di
medan laga. Yang sebenarnya patut dipertimbangkan soal kesetiannya di medan
perang hanyalah Ki Lembu Sora atau diri beliau sendiri Sira Ranggalawe, yang
patut diangkat menjabat sebagai Patih Amengkubhumi. Itu sebabnya menjadi kacau
pertemuan itu.
Diceriterakan sekarang, karena tidak
dipenuhinya keinginan Sira Ranggalawe, maka bermohon diri Sira Ranggalawe
pulang menuju Puri Madura, memberitahukan kepada ayahandanya prihal rencananya
akan menyerang Majapahit, akan menantang Ki Patih Nambi. Disebabkan karena
tidak bisa lagi dihalangi keinginan anaknya Sira Ranggalawe, maka Arya Wiraraja
tiada bisa berkata lagi. Kemudian menjadi riuhlah perang yang terjadi, bala
tentara Sira Ranggalawe dihadapi pasukan dari Majapahit. Sira Ranggalawe
direbut. Akhirnya terjadilah perang tanding antara Sira Ranggalawe melawan Kebo
Anabrang , yang akhirnya keduanya meninggal di medan laga di Sungai Tambak
Beras.
Kemudian adalah utusan yang menghadap ke
Purinya sang ayah Sang Arya Bang Wiraraja. Singkat ceritera, sang utusan sudah
berjalan untuk menghadap Ki Arya Adikara di Puri Tuban, serta semuanya sudah
dipermaklumkan tentang sabda Raja Majapahit, serta segala hal yang berkenaan
dengan wafatnya Adipati Ranggalawe, dimana jenazahnya sudah berada di Puri
Majapahit. Arya Adikara, setelah mendengar atur sang utusan dari Puri
Majapahit, segera memberitahukan rakyat beliau, sanak saudara sampai kepada
cucunya untuk semuanya bersama-sama menghadap ke Puri Majapahit untuk
menyelesaikan tata upacara Palebon putra beliau. Setelah selesai upacara
palebon itu, Adipati Arya Adikara memohon diri dari Puri Majapahit diiringi
oleh isteri, menantu serta cucunya, kembali ke Puri Tuban.
Ida Bang Banyak Wide Memegang Kekuasaan di Lumajang
Tidak berapa lama, Ida Sang Prabhu
kemudian memberikan anugerah berupa sebagian kawasan timur sampai ke pesisir
selatan kepada Sang Arya Bang Wiraraja, disebabkan ingat dengan perjanjiannya
dahulu. Sejak saat itu Sira Arya Bang Wiraraja menjabat sebagai penguasa di
kawasan yang bernama Lumajang, diiringi oleh cucunya yang bernama Ida Bagus
Pinatih atau Anglurah Pinatih atau juga disebut Sira Arya Bang Kuda Anjampyani
pada tahun 1295 Masehi.
Lama kemudian, ketika Ida Arya Bang
Adhikara berumur tua, tidak berselang lama beliau menjabat sebagai penguasa di
Puri Ksatriyan Lumajang, kemudian beliau wafat menuju Sorgaloka. Kemudian cucu
beliau. Sira Bang Kuda Anjampyani dijadikan pejabat di Majapahit menggantikan
kedudukan kakek beliau bergelar Kyayi Agung Pinatih Mantra. Inggih, hentikan
dahulu keberadaaan Ida Bang Banyak Wide di kawasan Jawa.
Para Raja di Jawa
Dikisahkan juga para raja yang berkuasa di
Kerajaan Majapahit. Sri Maharaja Kertharajasa Jawardhana yang menjadi raja pada
tahun 1294-1309, digantikan oleh putranya Maharaja Jayanegara atau Kala Gemet
dari tahun Masehi 1309 sampai dengan 1328. Kemudian Bre Kahuripan /Tribuwana Tunggadewi
menjabat raja pada kurun waktu tahun Masehi 1328-1350. Beliau kemudian
digantikan oleh Sri Hayam Wuruk pada tahun Masehi 1350-1389. Pada tahun Saka
1258 atau tahun Masehi 1336, Kriyan Gajah Mada diangkat menjadi Patih
Amengkubhumi atau Mahapatih. Kepandaran dan keperwiraan sang mahapatih demikian
terkenal sampai kelak di kemudian hari. Ada Sumpah Amukti Palapa yang
dikumandangkan oleh Kriyan Mahapatih Gajah Mada pada tahun Masehi 1336 itu.
Adapun isi Sumpah tersebut :” Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya
baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru beristirahat”, demikian
ucapan sumpah beliau ke hadapan sang ratu Rani Tribuwanatunggadewi. Kemudian
ternyata pada tahun Isaka 1265 Bali diserang. Demikian keberadaan Ida sang Mahapatih
Gajah Mada.
Dalem Bedaulu Kalah, Ida Dalem Kresna Kapakisan Menjadi Raja di Bali
Sekarang kembali diceriterakan perihal di
Pulau Bali. Dikisahkan di Bali adalah raja bernama Sri Gajah Waktera yang
dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena
merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali
merasa takut kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipun. Sri Gajah Waktera
mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta
juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di
Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang
Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana -
Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru
berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki
Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro. Prihal
keangkara-murkaan Sri Gajah Waktera itu, diketahui oleh raja Majapahit Singkat
ceritera, setelah Ki Patuh Kebo Iwa dikalahkan dengan tipu daya, maka
diseranglah Bali oleh Kriyan Mahapatih Gajah Mada didampingi para perwira
perang seperti Arya Damar sebagai pimpinan diiringi oleh Arya Kanuruhan, Arya
Wang Bang yakni Kyai Anglurah Pinatih Mantra, Arya Kepakisan, Arya Kenceng,
Arya Delancang, Arya Belog, Arya Mangun, Arya Pangalasan serta Arya
Kutawaringin.
Kemudian diceriterakan pada perang yang
terjadi tahun 1343 Masehi itu, di Tengkulak Peliatan, Raja Tapolung beserta
para patihnya yang bemama Kebo Warunya dan I Gudug Basur gugur di medan perang.
Namun Ki Pasung Gengis patih utama Dalem Bedaulu dapat ditawan.
Tiada lama kemudian Ki Pasung Gerigis menyatakan dirinya menyerahkan diri dan berbhakti kepada Raja Majapahit, karena itu diperintahkan untuk mengalahkan Raja Sumbawa yang bernama Dedela Natha. Akhirnya keduanya wafat di dalam perang tanding. Sesudah Raja Bedaulu mangkat, maka Pulau Bali sunyi tidak memiliki penguasa, karena itu timbul huru hara.
Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu Danghyang Soma
Kepakisan - sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri Kresna
Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain
saudara dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra dan
Ida Mpu Asmaranatha. Kemudian Ida Kresna Kepakisan mempunyai putra 4 orang,
laki tiga, wanita seorang. Pada saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki
penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di masing-masing
wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada
meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk dijadikan
penguasa atau Dalem. Pada saat itu putra beliau yang sulung bernama Ida Nyoman
Kepakisan diangkat dijadikan penguasa di Blambangan, Ida Made Kepakisan menjadi
penguasa di Pasuruan, Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya di Sumbawa serta
yang bungsu Ida Ketut Kresna Kepakisan, dijadikan penguasa di Bali. Oleh
Mahapatih Gajah Mada, Ida Dalem Ketut Kresna Kapakisan dianugerahi pusaka Kris
Ki Ganja Dungkul, serta berkedudukan sebagai Adipati.
Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan - dari Pulau Jawa, turun di Lebih, kemudian ke
arah timur laut berkedudukan di Samprangan. Di sanalah beliau membangun Puri
pada tahun Masehi 1350. Sesudah beliau Ida Dalem bertempat tinggal di puri di
Samprangan, mahapatih beliau I Gusti Nyuhaya bertempat tinggal di Nyuhaya,
sementara para menterinya seperti Arya Kutawangin di Klungkung, Arya Kenceng di
Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di
Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kanuruhan di Tangkas, Kriyan Punta di
Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti, Arya Temenggung di Patemon, Arya Demung
Wangbang Kediri yakni Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu, Arya Sura
Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Mataram tidak tetap tempat tinggalnya, Arya
Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Arya Gajah Para dan
adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Selain dan para Arya tersebut, ada yang kemudian
datang yakni Tiga Wesya bersaudara : Si Tan Kober, diberikan tempat tinggal di
Pacung, Si Tan Kawur diberi tempat tinggal di Abiansemal serta Si Tan Mundur
berdiam di Cacahan.
Diceriterakan Kyai Angelurah Pinatih
Mantra, diberikan tempat tinggal di Kerthalangu, Badung, menguasai kawasan
Pinatih serta diberikan memegang bala sejumnlah 35.000 orang, yakni mereka yang
merupakan rakyat dan Senapati Arya Buleteng. Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah
berusia senja kemudian di Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka pada
saat mangrwa wastu simna pramana ning wang atau tahun Isaka 1302, tahun Masehi
1380. Beliau diganti oleh putranya Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Dalem
Smara Kepakisan.
Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih
Mantra, memiliki putra laki seorang, bernama Kyai Anglurah Agung Pinatih Kertha
atau I Gusti Anglurah Agung Pinatih Kejot, Pinatih Tinjik atau I Gusti Agung
Pinatih Perot. Beliaulah yang dikenal menyerang serta mengalahkan kawasan
Bangli Singharsa sewaktu pemerintahan Ngakan Pog yang menjadi manca di sana,
sesuai dengan perintah Ida Dalem Ketut Ngulesir atau Ida Dalem Smara Kepakisan
yang menjadi penguasa tahun Masehi 1380 sampai dengan 1460. Kyayi Anglurah
Pinatih Mantra sudah tua, kemudian berpulang ke sorgaloka. Kyai Anglurah
Pinatih Kertha Kejot berputra laki dan isteri pingarep bernama Ki Gusti
Anglurah Pinatih Resi, dan isteri putri I Jurutkemong bernama Ki Gusti Anglurah
Made Bija serta putra laki-laki dari sor bernama I Gusti Gde Tembuku.
Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija sudah mempunyai putra, namun
kakaknya I Gusti Anglurah Pinatih Rsi belum beristeri. Para putra Gusti
Anglurah Made Bija bernama I Gusti Putu Pahang, I Gusti Mpulaga utawi Pulagaan,
I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman Bija Pinatih dan I
Gusti Ketut Blongkoran. I Gusti Bija Pulagaan, sesuai perintah Ida Dalem Ketut
Smara Kapakisan kemudian menjadi Manca di kawasan Singharsa Bangli sejak tahun
Masehi 1453.
Anglurah Pinatih Rsi Menyunting Ida Ayu Puniyawati
Dikisahkan sekarang Ida Bang Panataran, putra Ida Wang
Bang Tulus Dewa, bertempat tinggal di Bukcabe Besakih bersama adik sepupunya
yang bernama Ida Bang Kajakauh atau Ida Bang Wayabiya.
Diceriterakan Ida Bang Panataran, mempunyai seorang
putri bernama Ida Ayu Punyawati, cantik tanpa tanding seperti bidadari
layaknya, bahkan seperti Sanghyang Cita Rasmin yang menjelma. Banyak para
penguasa dan pejabat yang melamar, namun tidak diberi.
Karena sudah terkenal di seluruh pelosok negeri tentang kerupawanan beliau Ida Ayu Punyawati, maka hal ini didengar juga oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi di Puri Kerthalangu, Badung. Kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi mengirim utusan untuk melamar Ida Ayu Punyawati. Yang ditugaskan untuk melamar Ida Ayu Punyawati, adalah adik disertai para kemenakan beliau yang bernama I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Putu Pahang, I Gusti Jumpahi. Itulah keponakan yang diutus, bagaikan Baladewa Kresna dan Arjuna, demikian kalau diperumpamakan, diiringi oleh bala rakyat yang jumlahnya cukup banyak mengiringkan.
Karena sudah terkenal di seluruh pelosok negeri tentang kerupawanan beliau Ida Ayu Punyawati, maka hal ini didengar juga oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi di Puri Kerthalangu, Badung. Kemudian Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi mengirim utusan untuk melamar Ida Ayu Punyawati. Yang ditugaskan untuk melamar Ida Ayu Punyawati, adalah adik disertai para kemenakan beliau yang bernama I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Putu Pahang, I Gusti Jumpahi. Itulah keponakan yang diutus, bagaikan Baladewa Kresna dan Arjuna, demikian kalau diperumpamakan, diiringi oleh bala rakyat yang jumlahnya cukup banyak mengiringkan.
Tidak diceriterakan di tengah jalan, akhirnya
sampailah di Geria Ida Bang Sidemen Penataran kemudian melakukan pembicaraan.
Prihal lamaran itu diajukan seperti ini : "Inggih Ratu Sang Bang, kami datang kemari hanyalah utusan dari Ki Arya Bang
Pinatih, yang beristana di Kerthalangu kawasan Badung, yang merupakan paman
kami, yang bermaksud untuk melamar puteri palungguh I Ratu akan dijadikan
permaisuri".
Kaget Ida Bang Panataran, seperti gugup tak bisa
berkata-kata, kemudian menjawab: “Saya sama sekali tidak mengerti dengan maksud Ki Arya
Pinatih, karena tidak boleh sang Arya melamar sang Brahmana” Demikian ucap Ida
Bang Sidemen Panataran.
Menjawab sang utusan I Gusti Gde Tembuku serta Gusti
Putu Pahang : “Ah bagimana rupanya ratu Bang Sidemen, mungkin tiada ingat dengan nasehat
leluhur dahulu" Hamba berani melamar putri tuanku Bang Sidemen ke sini, karena
kawitan hamba dahuhi sesungguhnya adalah wangsa Brahmana. Sekarang mohon
didengar atur hamba agar merasa pasti. Pada saat dahulu ada nasehat dari
leluhur hamba, yang bernama Ida Bang Banyak Wide, bersaudara dengan Ida Bang
Tulus Dewa serta Ida Bang Kajakauh. Ida Bang Banyak Wide pergi dari Besakih
guna mencari kakeknda Ida Sang Pandya Siddhimantra di Jawa, namun tidak
dijumpainya, kemudian benjumpa dengan Ida Mpu Sedah, dan kemudian belakangan
dijadikan menantu oleh Ki Arya Buleteng. Karena Ki Arya Buleteng tidak memiliki
keturunan langsung atau sentana, maka Ida Bang Banyak Wide dijadikan sentana Ki
Arya, sehingga Ida Bang Banyak Wide menjadi Arya. Ida Bang Banyak Wide itu
merupakan leluhur kami yang menurunkan Ki Arya Pinatih Rsi”. Demikian halnya
dahulu.
Nah, sekarang ini bagaimana Sang Bang Sidemen, apakah
tidak ada ceritera dari Leluhur seperti itu? Demikian hatur I Gusti Gde
Tambuku. Segera ingat Ida Sang Bang Sidemen, pada nasehat dari sang leluhur
kepada beliau, pada saat dulu. Karena mendengar hal itu, maka diberikanlah
putri Ida Bang Panataran Sidemen kepada Ki Arya Bang Pinatih, dan dengan segera
mau bersama menjadi Arya Ksatrian.
Demikian pula Ida Bang Panataran menjadi Arya : Arya
Bang Sidemen diwariskan sampai sekarang turun temurun bersaudara dengan Arya
Bang Pinatih. Ida Bang Wayabiya, saat itu juga datang menghadap kakaknya
berkehendak untuk melamar putri Ida Bang Panataran Sidemen yakni Ida Ayu
Puniyawati. Karena sudah didahului oleh Ida I Gusti Anglurah Pinatih Rsi,
lamaran itu tidak bisa dipenuhi. Itu sebabnya kemudian Ida Bang Wayabiya
kemudian pergi tanpa pamit dari Besakih, tanpa tujuan.
Dikisahkan Ki Arya Bang Panataran, sudah selesai
perbincangannya dengan Ki Arya Bang Pinatih, sebab semuanya memang benar
menjaga nama leluhurnya. Karena sudah selesai perbincangan itu, kemudian Ki
Arya Bang Pinatih bertiga memohon diri, pulang menuju Kerajaan Kerthalangu.
Sesudah selesal pembicaraan mengenal han baik berkenaan dengan rencana
pemikahan itu, kemudian diselenggarakanlah upacara Pawiwahan itu seraya
mengundang semua penguasa serta rakyat dan warga. Tentram wilayah Pinatih pada
saat pemerintahannya I Gusti Ngurah Pinatih Rsi serta adiknya Ida Gusti Ngurah
Made Bija Pinatih.
Diceriterakan kemudian sesudah beristerikan Ida Ayu
Puniyawati, kemudian lahir putra beliau, yang sulung bemama Kyai Anglurah Agung
Gde Pinatih , adiknya Kyai Anglurah Made Sakti, serta yang wanita bemama I
Gusti Ayu Nilawati. Lama juga Kyai Anglurah Bang Pinatih Rsi bersama adiknya
Kya Anglurah Pinatih Bija memegang kekuasaan di wilayah Jagat Kerthalangu,
Badung, tentram wilayah itu, serta sang raja dipuja dengan taat oleh rakyat dan
warga semuanya. Wilayah itu menjadi makmur, hama menjauh, mereka yang ingin
berbuat jahat tidak berani. Inggih, demikian keadaannya di kawasan Kerthalangu.
Kyayi Kenceng Meminta Putra Dalem di Puri Gelgel
Diceriterakan Ki Arya Kenceng di Badung berkehendak
akan memohon seorang putra Dalem Sagening di Puri Gelgel, akan dijadikan
penguasa di kawasan Badung. Konon setelah sampai di jaba tengah atau halaman
dalam Pun Gelgel di Sumanggen, terlihat oleh Ki Arya Kenceng api bagaikan
lentera di Sumanggen, kemudian diperhatikan oleh Ki Arya Kenceng, sudah pasti
hanya dia itu adalah putra Dalem Segening. Kemudian Ki Arya Kenceng mengambil
kapur. seraya digoreskan menyilang atau dibubuhi tampak dara anak kecil itu.
Keesokan hannya diingat kembali , karena dia itu memang betul putra Dalem yang
bernama I Dewa Manggis Kuning. Kemudian Ki Arya Kenceng datang menghadap
berhatur sembah kepada Ida Dalem seraya mengatakan untuk memohon putra beliau
seorang, akan dijadikan penguasa di negara Badung. Ida Dalem merasa senang dan
memberikan putranya yang dimohon itu, yang bemama I Dewa Manggis Kuning, dan
kemudian diiringkan pulang ke Puri Badung. Sesudah diberi tempat di Badung,
sangat disayang oleh Ki Arya Kenceng, disebabkan karena kebagusan rupanya,
ganteng seperti Arjuna, dan bagaikan Sanghyang Asmara yang menjelma di Puri
Pamecutan.
Ki Arya Kenceng Memohon Putri Anglurah Pinatih Rsi
Diceritakan Ki Arya Kenceng memiliki seorang putera
laki ? laki bernama I Gusti Ngurah Pemecutan, dipertunangkan dengan putri Ida
Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi yang menjadi penguasa di istana Puri
Kerthalangu. Putrinya bernama I Gusti Ayu Nilawati. Paras rupanya sangat cantik
tanpa tanding bagaikan Dewi Ratih yang menjelma ke dunia. Diceritakan kemudian
sang putri sudah masuk ke Puri Pemecutan, namun belum diupacarai menurut tata
cara upacara perkawinan dengan I Gusti Ngurah Pemecutan. Pada saat malam tiba,
dilihatlah oleh sang putri I Dewa Manggis, yang menyebabkan jatuh hatinya I
Gusti Ayu Nilawati serta pada akhirnya dapat beradu asmara. Karena demikian
halnya, bukan alang kepalang marahnya Ki Arya Kenceng, berkehendak akan merebut
I Dewa Manggis. Hal itu kemudian diketahui oleh Kyai Anglurah Pinatih Resi.
Bila saja I Dewa Manggis terkena bencana, tidak mustahil putrinya juga akan
meninggal. Saat itu kemudian Kyai Anglurah Pinatih Resi memakai busana wanita,
menyerupai selir, lalu masuk ke rumah yang didiami oleh I Dewa Manggis,
kemudian I Dewa Manggis digulung tikar, kemudian dibawa keluar puri. Karena
berupa seorang wanita, maka tak seorangpun hirau, sehingga I Dewa Manggis bisa
dibawa ke Purinya Ida Kyai Anglurah Pinatih Rsi, bersama putri beliau.
Baru sehari disembunyikan di Puri Kerthalangu,
diketahui oleh Kyai Kenceng, dikatakan bahwa Ki Arya Agung Pinatih Rsi
menyembunyikan putrinya bersama I Dewa Manggis, kemudian mendatangi Puri
Kerthalangu. Segera tahu Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi, itu sebabnya segera I
Dewa Manggis Kuning dan putrinya dilarikan ke purinya I Gusti Putu Pahang.
Sampai disana masih juga diketahui oleh Ki Arya Kenceng, maka dikepung dengan
bala pasukan yang jumlah cukup banyak. Kembali I Dewa Manggis Kuning digulung
dengan tikar, ditaruh di depan rumah, ditindih dengan selimut. Kemudian datang
pasukan pemecutan mencari kesana kemari sampai kedalam rumah, namu tidak juga
ditemukan I Dewa Manggis. Karena itu kembalilah pasukan itu ke Puri Pemecutan.
I Dewa Manggis Mengambil Istri : I Gusti Ayu Nilawati dan I Gusti Ayu Pahang
Setelah malam, I Gusti Pahang bertimbang rasa dengan I
Dewa Manggis Kuning: “Aum I Dewa Manggis anakku I Dewa, merasa sulit bapak
menyembunyikan I Dewa disini. Sekarang lebih baik I Dewa berpindah tempat dari
sini, sebab bapak malu dengan Ki Arya Kenceng. Dan lagi bapak sangat mengasihi
ananda I Dewa, agar I Dewa bisa meneruskan hidup ? panjang umur. Ini ada anak
bapak seorang, agar mendampingi ananda dipakai isteri. Putri bapak ini bernama
I Gusti Ayu Pahang.” Demikian hatur I Gusti Putu Pahang disaksikan oleh
ayahandanya Ki Arya Bija Pinatih. Kemudian dijawab oleh I Dewa Manggis dengan
rasa penuh prihatin : “Aum ayahanda Ki Arya Pinatih, sangat besar rasa kasihan
Ayahanda kepada saya, tidak akan bisa saya membayar pihal kasih sayang Ayahanda
kepada diri saya”.
Wilayah Kerthalangu Tentram dan Kertaraharja
Diceritakan kembali Kyai Anglurah Pinatih Rsi sudah
berusia lanjut, kemudian berpulang ke Sorgaloka. Demikian juga Ida Kyai
Anglurah Made Bija, juga sudah meninggalkan dunia fana? ini. Kyai Anglurah
Pinatih Rsi kemudian digantikan oleh putranya memegang kekuasaan, yang bernama
sama dengan ayahandanya yakni I Gusti Anglurah Agung Gde Pinatih Rsi disertai
oleh adiknya I Gusti Anglurah Made Sakti Pinatih, didampingi oleh paman beliau
dari para putra Kyai Anglurah Made Bija seperti I Gusti Gde Tembuku, I Gusti
Putu Pahang, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman bija Pinatih, I Gusti
Nyoman Bona, I Gusti Benculuk serta I Gusti Ktut Blongkoran.
Banyak memang keturunan Ki Arya Pinatih ketika
beristana di Kerthalangu, tidak bisa dihitung jumlahnya. Semasa pemerintahan
beliau berdua tidak ada orang lain yang berani bertingkah, semuanya besembah
sujud, serta tentram wilayah itu semasa kekuasaan I Gusti Ngurah Gde Pinatih
beserta I Gusti Ngurag Made. Tidak ada manusia yang beranai, subur makmur
kawasan itu jadinya serta sejuk keadaannya karena sang penguasa sangat welas
asih suka memberi serta tiada pernah lupa menghaturkan sembah baktinya kepada
Yang Maha Kuasa. Itu sebabnya wilayah beliau menjadi tentram dan kertaraharja.
Lama beliau berkuasa di kawasan Pinatih Badung,
menjadi tertib kerajaan Kerthalangu yang bernama Kawasan Pinatih, sebab Pinatih
lah yang memegang kekuasaan disana. Patut diketahui Ida I Gusti Anglurah Gde
Pinatih mempunyai putra banyak yakni I Gusti Ngurah Gde Pinatih, sama namanya
dengan sang ayah, I Gusti Ngurah Tembawu,I Gusti Ngurah Kapandeyan, I Gusti Ayu
Tembawu, I Gusti Bedulu, I Gusti Ngenjung, I Gusti Batan, I Gusti Abyannangka, I
Gusti Miranggi, I Gusti Celuk, I Gusti Arak Api, I Gusti Ngurah Anom Bang, I
Gusti Ayu Pinatih, I Gusti Balangsigha.
Adik beliau I Gusti Ngurah Anglurah Made Sakti
mempunyai putra: I Gusti Putu Pinatih, I Gusti Ngurah Made Pinatih, I Gusti
Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Mantra, I Gusti Ngurah Puja.
Saudara sepupunya I Gusti Putu Pahang mempunyai putra I
Gusti Putu Pahang ? sama dengan nama sang ayah, I Gusti Made Pahang, I Gusti
Ayu Pahang ? yang diambil oleh I Dewa Manggis Kuning, serta I Gusti Nyoman
Pahang.
Dukuh Sakti Pahang Mapamit Moksa
Dikisahkan sesudah lama Kyai Anglurah Agung Gde
Pinatih memegang kekuasaan di wilayah Pinatih, datanglah masa tidak
mengenakkan. Ada anggota masyarakat beliau yang dipakai sebagai mertua bernama
I Dukuh Pahang atau I Dukuh Sakti. I Dukuh Sakti memang seorang yang memiliki
pengetahuan yang tinggi, ahli dalam ilmu sastra yang mahautama, paham tentang
Catur Kamoksan atau jalan Moksa yang empat, serta Falsafah menuju Kematian atau
Tattwa Pati. Suatu saat I Dukuh menghadap kepada I Gusti Anglurah Pinatih: “Aum
Ki Arya Agung Pinatih, hamba sekarang memohon diri kepada tuanku, akan pulang
ke Sorgaloka, akan moksah.”
Karena demikian kata I Dukuh, menjadi marah Kyai Anglurah Pinatih, serta berkata : “Uduh Kaki Dukuh, seberapa besar karya yang Ki Dukuh sudah buat sehingga bisa mengatakan akan moksa”. Saya saja yang begini, menjadi penguasa, banyak memiliki rakyat, kokoh membangun kebaikan, tidak bisa melakukan moksa. Sekarang kalau benar seperti yang dikatakan Dukuh yakni akan pulang ke dunia sana dengan moksa, saya akan berhenti menjadi penguasa di negara Badung.
Karena demikian kata I Dukuh, menjadi marah Kyai Anglurah Pinatih, serta berkata : “Uduh Kaki Dukuh, seberapa besar karya yang Ki Dukuh sudah buat sehingga bisa mengatakan akan moksa”. Saya saja yang begini, menjadi penguasa, banyak memiliki rakyat, kokoh membangun kebaikan, tidak bisa melakukan moksa. Sekarang kalau benar seperti yang dikatakan Dukuh yakni akan pulang ke dunia sana dengan moksa, saya akan berhenti menjadi penguasa di negara Badung.
Baru saja demikian kata Kyai Anglurah Pinatih, segera
Ki Dukuh berkata : ”Aum Kyai Anglurah Agung Pinatih, sebagai ratuning Jagat
Kerthalangu, janganlah I ratu berkata demikian kepada hamba”. Memang benar
hamba bisa moksa, ini simsim hamba bawa agar tuanku tidak kabjrawisa !”.
“Ah masa aku kurang apa. Sekarang kapan sira Dukuh
akan melakukan moksah ?”. Menjawab sira Dukuh : “Inggih, pada hari besok hamba
akan pulang moksa, pada saat sang Surya tepat? diatas kepala”. Demikian atur
sira Dukuh.
Karena sudah pasti janji I Dukuh akan moksa, kemudian
Kyai Anglurah Agung Pinatih memberitahukan kepada para bala dan menterinya
semua agar mengawasi di rumah Ki Dukuh, serta agar membawa tongkat, kalau ?
kalau sira Dukuh dengan tongkat itu. Demikian perintah Ida Kyai Aglurah Agung
Pinatih kepada rakyatnya semua.
Pada keesokan harinya, semua bersiap, bala pasukan
serta para menteri menuju tempat kediaman sira Dukuh. Sesampainya disana
dilihat sira Dukuh sedang menggelar yoga samadhi, menghadapi pedupaan. Sesudah
masak betul yoganya, kemudian Ki Dukuh menyampaikan sapa kutukan bagi Kyai
Anglurah Agung Pinatih : “Inggih Kyai Anglurah Agung Pinatih, ratuning wilayah
Kerthalangu, Jhah Tasmat ? semoga Kyai Anglurah Pinatih dirusak semut !”.
Sesudah menyampaikan sapa kutukan itu, Ki Dukuh masuk ke pedupaan besar itu, lepas, hilang tidak kelihatan lagi Ki Dukuh. Memang benar Ki Dukuh moksa tidak kembali lagi. Inggih hentikan dahulu sampai disini. Sesudah itu, merasa kagum takjub rakyat Kyai Anglurah Agung Pinatih, memang benar Ki Dukuh moksa, kemudian disampaikannnya kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih prihalnya sira Dukuh. Saat itu Kyai Anglurah Agung Pinatih berdiam diri, berpikir dalam hatinya, terlanjur mengeluarkan kata-kata tidak baik.
Sesudah menyampaikan sapa kutukan itu, Ki Dukuh masuk ke pedupaan besar itu, lepas, hilang tidak kelihatan lagi Ki Dukuh. Memang benar Ki Dukuh moksa tidak kembali lagi. Inggih hentikan dahulu sampai disini. Sesudah itu, merasa kagum takjub rakyat Kyai Anglurah Agung Pinatih, memang benar Ki Dukuh moksa, kemudian disampaikannnya kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih prihalnya sira Dukuh. Saat itu Kyai Anglurah Agung Pinatih berdiam diri, berpikir dalam hatinya, terlanjur mengeluarkan kata-kata tidak baik.
Kyai Pinatih Berpindah Tempat Dari Kerthalangu
Sesudah satu bulan tujuh hari lamanya, datanglah ciri
Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi didatangi semut tak terhitung banyaknya
merebut, ada dari bawah, dari atas, jatuh berkelompok-kelompok. Itu sebabnya
merasa gundah hati Kyai Anglurah Agung Pinatih beserta para isteri, putra, cucu
semuanya. Karena demikian keadaannya, kemudian diadakan pertemuan dengan sanak
saudara semuanya, berencana akan berpindah dari Purian, menuju Pura Dalem
Paninjoan. Sesampainya disana, kemudian diberitahukan semua rakyatnya untuk
membuat Taman dikitari dengan telaga, telaga itu dikelilingi api, ditengahnya
telaga barulah dibangun tempat peraduan. Namun masih saja dicari, direbut oleh
semut, berbukit-bukit tingginya kemudian jatuh di tengahnya taman itu.
Karena itu halnya, kembali Kyai Agung Pinatih
menyelenggarakan pertemuan, bertukar pikiran dengan saudaranya semua serta didampingi
oleh rakyatnya. Semuanya merasa masgul, kemudian meninggalkan Pura Dalem
Paninjoan, berpindah lalu berdiam diri di sebelah timur sungai, diiringi
rakyatnya semua. Tentu saja Kyai Anglurah Agung Pinatih berpikir tentang
kedigjayaan sira Dukuh. Kemudian beliau merencanakan akan berpindah dari tempat
itu, serta diberitahukan kepada balanya, siapa yang sanggup menjaga Pura Dalem
itu, boleh tidak mengiringkan Kyai Anglurah Pinatih. Kemudian segera matur
anggota masyarakat beliau yang bernama Ki Bali Hamed, ia akan menuruti kehendak
beliau untuk menjaga Pura? Dalem itu. Pada saat itu I Gusti Tembawu menyatakan
tidak bisa mengikuti keinginan ayahandanya, demikian juga I Gusti Ngurah
Kepandeyan, yang pernah berpaman dengan I Dukuh, dan karena memang tidak baik
dalam hubungan bersanak saudara, karena sudah terlanjur bertempat tinggal
disana serta memperoleh kebaikan di wilayah Intaran. Usai sudah perbincangan
diadakan, kemudian diputuskan hubungan pasidikaraan dengan I Gusti Tembawu dan
I Gusti Kepandeyan.
Disebabkan karena masih juga diburu oleh semut,
kembali beliau beralih tempat bersama menuju Geria milik Ida Peranda Gde
Bendesa dan di tempat tinggal Ida Peranda Gde Wayan Abian, seperti para
putranya semua, yang ada di Kerthalangu, ke Padanggalak, disana Kyai Anglurah
Agung Pinatih bertempat tinggal diiringi rakyatnya semua.
Penuh sesak disana di pinggir sungai Biaung, disana
Kyai Anglurah Agung Pinatih menghaturkan rakyat 60 KK kepada Ida Peranda
berdua. Ida Peranda berdua merasa senang hati mendapatkan warga itu semua yang
handal didapatkan oleh beliau Ida Peranda, yang bernama Ki Bendesa Kayu Putih,
Macan Gading, I Pasek Kayu Selem, semua bertempat tinggal di Tangtu. Di sana kemudian ada perjanjian Kyai
Anglurah Agung Pinatih di hadapan Ida Peranda berdua, menyatakan sudah putus
hubungan kekeluargaan dengan I Gusti Tembawu, sebab sudah berumah di I mangku
Dalem Tembawu. Karena demikian yang didengar oleh I Mangku Dalem Tembawu lalu dibalaslah
pernyataan Kyai Anglurah Agung Pinatih. Katanya : “Mudah-mudahanlah yang membawa pusaka keris yang
bernama I Brahmana serta tumbak yang bernama I Baru Gudug, pada saat
menyelenggarakan upacara ala ataukah ayu, jika tidak ada I wong Tembawu, mudah-mudahan
tidak berhasil upacara itu”.
Dibalaslah oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih : “Mudah-mudahan
I wong Tembawu itu kaya dengan pekerjaan”. Demikian pernyataan Kyai Anglurah
Agung pinatih. Kemudian I Gusti Tembawu dipakai menantu oleh I Mangku Dalem
Tembawu. Setelah itu Kyai Anglurah Agung Pinatih disertai oleh adiknya serta
sanak saudaranya semua memohon kepada Ida Peranda berdua, akan membangun
Panyiwian di ujung desa Biaung, dinamai Pura Dalem Bangun Sakti, disungsung
oleh rakyatnya yang ada si Biaung. Ida Peranda berdua dengan senang hati
memberikan restu untuk hal itu. Disana kemudian Ida Peranda berdua berdiam
membuat Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik Batur dan Kentel Gumi, untuk wilayah
Padanggalak. Hentikan dahulu.
Diceritakan kembali setelah beberapa lama Kyai
Anglurah Agung Pinatih bertempat tinggal di Padanggalak, kembali direbut semut.
Karena itu kembali beliau berpindah tempat menuju Alas Intaran Mimba semuanya.
Tidak berapa lama disana, ada lagi cobaan dari Yang Maha Kuasa, ada ikan Aju
datang dari tengahnya laut, semuanya terhempas ke pantai tidak terbilang banyaknya.
Itu sebabnya kemudian orang di Intaran segera membuat tembok dengan pohon
pepaya, diperintahkan oleh Kyai Anglurah Agung Pinatih. Memang merupakan cobaan
dari Hyang Widhi, tembok itu ditubruk oleh ikan itu dihempas-hempas hingga
rusak, itu sebabnya banyak bangkai ikan di tepi pantai sampai ke tengah hutan.
Kemudian datanglah semut merebut bangkai ikan itu. Semakin banyak semut itu
datang, serta ikan itu berulat, baunya sangat busuk. Itu sebabnya menjadi
gundah orang disana, dan kelak kemudian hari tempat itu dinamai Ajumenang.
Karena semuanya merasa gundah, merasa tidak tahan
dengan bau ikan yang sangat busuk itu, banyak anggota masyarakat yang ada di
Intaran berpindah kesana kemari mencari perladangan. Ada yang mencari tempat di
Kepisah, ada di Pedungan, di Tegal, di Glogor Carik, di Seminyak, memohon diri
kepada Kyai Anglurah Agung Pinatih.
Karena demikian keadaannya, semakin masygul hati Kyai
Anglurah Agung Pinatih Rsi, serta menyesali diri, karena sudah terlanjur
menyampaikan pernyataan tidak baik, tidak boleh berkata sumbar, sangat
berbahaya dikatakan, dan hal itu sudah menjadi bukti, buahnya dipetik sekarang.
Singkat ceritera, Kyai Anglurah Agung Pinatih,
kemudian memohon diri kepada Ida Peranda berdua, akan beralih tempat ke wilayah
Blahbatuh, semuanya dengan rakyatnya. Bagaikan bibit pepohonan yang besar yang
ditimpa panas membara serta angin ribut rasanya, karena itu berpencar para
putranya, juga saudaranya I Gusti Ngurah Anom Bang yang dipakai menantu oleh Ki
Karang Buncing di Blahbatuh. Sejak saat itu putus pula hubungan pasidikara. I
Gusti Blangsinga, pergi tanpa tujuan seraya membawa pusaka. Entah berapa lama
berdiam di Blahbatuh, kembali ada semut yang datang, kembali beralih tempat
dari sana menuju desa Kapal. Di Kapal, karena tempat disana sempit untuk banyak
orang, sehingga bisa berjejal disana, maka Kyai Anglurah Agung Pinatih mengutus
I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I Gusti Jumpahi, untuk mencari
tempat, yang kemudian pergi menuju ke arah timur, ditemuilah hutan perladangan
yang cukup luas bernama Huruk Mangandang juga disebut Pucung bolong. Disebelah
utaranya adalah wilayah Dewa Gede Oka dari Tama Bali dan sebelah timurnya
adalah sungai Melangit namanya. Prihal tempat itu dipermaklumkan kepada I Gusti
Ngurah Agung, kemudian dilanjutkan gotong royong membersihkan hutan tersebut.
Dalam perjalanan merabas hutan ada tempat ditemukan salah satu yang agak
angker, lalu ditempat tersebut dibangun tempat persembahyangan sekarang bernama
Pura Dalem Agung, yang merupakan sungsungan Desa Adat.
Pada Utama Mandala, ada Pelinggih berjejer menghadap
kebarat paling Utara disebut Pelinggih Dalem Muku, Dalem Pande dan Dalem Dura.
Kemudian melanjutkan perjalanan keutara lalu menetap dan membangun tempat
tinggal atau Puri termasuk juga membangun Tempat Suci atau Parhyangan, sebagai
tempat untuk memegang wilayah dan parhyangan Sthana Ida Bhatara Kawitan. Tempat
Pemujaan dulu bernama Pemerajan Agung Pinatih dan sekarang bernama “Pura
penataran Agung Pinatih” di puri Tulikup, yang merupakan tempat tonggak sejarah
yang harus diingat oleh seluruh warga besar Arya Wang Bang Pinatih.
Disamping itu Pura Penataran Agung Pinatih menjadi satu dengan Dang Kahyangan Pura Sakti pada Utama Mandala termasuk Pemedel Ageng juga satu. Sehingga menetap di Puri Tulikup bersama keluarga besar dan putra-putri beliau berdua dikelilingi oleh rakyat serta sanak saudaranya. Sesudah baik keadaan Huruk Mangandang, sejak itu disebut dengan Pradesa Tulikup utawi Talikup dan sekarang bernama Desa Tulikup.
Diceritakan kembali I Gusti Ngurah Anom Bang yang
dipakai menantu oleh Ki Karang Buncing, diputuskan hubungan pasidikaraannya
oleh keluarganya, namun masih kokoh kuat natad/membawa kalingan/keluhuran
beliau, sebagai warga Pinatih, walaupun sudah dipatah/putuskan pasidikaraannya.
Setelah berputera, kemudian I Gusti Ngurah Bang beralih tempat ke desa
Batubulan, putranya masih di Blahbatuh. I Gusti Bang mengambil istri putri dari
I Dewa Batusasih, mendapatkan putra, bernama I Gusti Putu Bun bertempat tingga
di Batubulan, I Gusti Made Bun pindah ke desa Lodtunduh, ayahnya masih di
Batubulan, didampingi oleh putranya yang lain bernama I Gusti Putu Bija Karang,
adiknya yang bernama I Gusti Bija Kareng mengungsi ke wilayah Peliatan,
Krobokan, juga adiknya yang dua lagi I Gusti Bawa serta I Gusti Bija bertempat
tinggal di Dawuh Yeh serta Dangin We. Kemudian I Gusti Bawa pergi tanpa arah
tujuan ke arah barat Er Uma membangun sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung
Atad. Ada juga sanak saudara beliau yang berpindah tempat menuju kawasan
Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam di Bebandem.
Ada ceritanya putra Ki Arya Bang Pinatih yang bernama
I Gusti Ketut Bija Natih kemudian menurunkan Ketut Bija Natih, masih di wilayah
Kerthalangu, menjadi pemangku di Dalem Kerthalangu, lalu ada yang berpinda ke
arah selatan, ada di Bukit, ada di Jimbaran, di Ungasan serta Umadwi. Demikian
ceritanya dahulu. Entah berapa lama Kyai Anglurah Agung Pinatih Rsi memerintah
Puri Tulikup bersama adiknya, ternyata kemudian pecah persaudaraannya dengan
adiknya Kyai Anglurah Made Sakti. Halnya seperti dibawah ini.
Cokorda Nyalian Memperluas Wilayahnya
Diceritakan Cokorda Panji Nyalian berkeinginan untuk
memperluas wilayahnya. Kemudian datang dia ke Uruk Mangandang mempermaklumkan
sebagai utusan Dalem yang berkehendak agar Kyai Anglurah Pinatih menghadap
kepada Dalem di Gelgel semuanya, diiringi oleh rakyat, para putra dan cucu,
karena ada hal penting yang hendak dititahkan oleh Ida Dalem.
Pada saat itu diadakan pertemuan dengan sanak saudara, yang berkemukan seperti sang kakak dan sang adik. Kesimpulan pertemuan itu, sang kakak akan melaksanakan perintah Dalem. Saat itu berkata sang kakak Kyai Ngurah Gde Pinatih kepada adiknya Kyai Ngurah Made Sakti :
“Bila adinda tidak akan mengikuti kanda, kakanda akan menghadap kepada Dalem, walaupun adinda memohon diri kepada kakanda, dan walaupun nanti adinda akan bertempat tinggal jauh, agar jangan sekali-sekali lupa bersaudara di kelak kemudian hari”.
Kemudian berkata adiknya : “Uduh, kakandaku, dinda
menuruti kata - kata kanda".
Setelah usai pertemuan itu, kemudian dibagi dua milik
beliau berdua seperti pusaka sampai dengan rakyat. Beliau sang kakak Kyai
Anglurah Agung Pinatih membawa Keris Ki Brahmana serta tumbak yang bernama I
Barugudug. Adiknya Kyai Ngurah Made Sakti membawa segala perlengkapan pemujaan,
seperti pasiwakaranaan serta pustaka. Sesudah itu, karena Kyai Anglurah Agung
Pinatih masih sangat hormat dan bakti kepada Dalem, maka sekalian bersama -
sama pergi menuju Puri Suwecapura diiringi olah sanak saudaranya serta
rakyatnya. Kyai Anglurah Made Sakti, kemudian menuju arah barat, diikuti juga
oleh saudara-saudara, cucu semuanya serta rakyat, dan tidak diceritakan di
perjalanan, akhirnya sampai di Jenggala Bija. Pada saat itu paman beliau I Gusti
Gde Tembuku kemudian pindah dari Tulikup menuju Buruan terus ke Pliatan, dan
berdiam di Tebesaya. Hentikan dahulu prihal I Gusti Ngurah Made sakti yang
bertempat tinggal di Jenggala Bija dan I Gusti Gde Tembuku yang ke Tebesaya.
Juga diceritakan prihal para putra Arya Bang Pinatih
yang lain seperti putra I Gusti Made Pahang di Tulikup, yang sulung bernama I
Gusti Putu Pahang pindah dari desa Tulikup menuju desa yang kemudian bernama
Jagapati, I Gusti Made Pahang masih bertempat tinggal di Tulikup, I Gusti
Nyoman Pahang kembali ke wilayah Pahang, I Gusti Ngurah Ketut Pahang pindah ke
desa Selat. I Gusti Kaja Kauh pindah menuju wilayah Bebalang, Bangli disambut
disana oleh sanak saudara dari Arya Bang Wayabiya.
Di Tulikup, para putra Ki Arya Bang Pinatih menguasai
tempat dan kemudian membangun sthana Pamerajan masing-masing, seperti para
putra I gusti Bona, I Gusti Benculuk, I Gusti Sampalan, I Gusti Pandak, I Gusti
Nangun, I Gusti Berasan, I Gusti Meranggi, I Gusti Sayan, I Gusti Bedulu, I
Gusti Nunung, I Gusti Kandel, dan I Gusti Kutri.
Kemudian ada juga yang bertempat tinggal di Kembengan,
yakni I Gusti Tegal, I Gusti Sukawati, I Gusti Arak Api, I Gusti Julingan putra
I Gusti Kandel, I Gusti Kembengan, I Gusti Manggis, I Gusti Pelagaan. Juga
masing-masing membangun Pamerajan. Ada lagu yang mengungsi ke wilayah Siut,
bernama I Gusti Nyoman Natih, putranya berdiam di Banjar Bias, ada di Karang
Dadi serta di Gerombongan.
Kembali diceritakan kedatangan Ida Kyai Naglurah
Pinatih di hadapan Dalem kemudian mempermaklumkan prihal kedatangan Cokorda
Panji dari Nyalian. Ida Dalem berkata bahwa tidak sekali-kali memrintahkan Kyai
Anglurah Agung Pinatih agar datang menghadap, sehingga disimpulkan bahwa hal
itu merupakan tipu muslihat Cokorda Panji, agar Kyai Anglurah Agung Pinatih
meninggalkan wilayah uruk Mangandang. Lama beliau berdiam, berpikir, dan
mungkin sudah ada dalam pikiran beliau, dan agar tidak menjdai bibit yang tidak
baik, agar tetap bhakti masing-masing sejak dahulu kala. Sejak berkuasanya
leluhur Dalem dahulu, sejak pemerintahan Ida Dalem Kresna Kepakisa, Kriyan
Pinatih memang disayang di Puri menjadi demung. Kemudian Ida dalem berkeinginan
memnuhi keinginan kedua belah pihak : Cokorda Panji ingin memperluas wilayahnya
agar memperoleh rahayu; Kyai Pinatih juga agar tetap bhaktinya seperti yang
dilakukan para leluhrunya yakni para Kriyan Pinatih yang sudah wafat, juga agar
mendapatkan keselamatan. Kyai Anglurah Pinatih kemudian diminta untuk sementara
tinggal di Puri Agung, tidak diperkenankan kembali ke Tulikup, diminta untuk
mendampingi beliau Ida Dalem.
Diceritakan tidak lama Cokorda Nyalian memegang
wilayah Tulikup kemudian diserang oleh raja Gianyar.
Diberi Tempat Di Bukit Mekar Menjadi Desa Sulang
Singkat ceritera, Ida Dalem mengadakan utusan untuk
mencari tempat tinggal bagi Kyai Pinatih, di perbatasan wilayah Klungkung dan
Karangasem bernama Bukit Mekar. Walaupun tempat itu sempit, atas perintah
Dalem, Ida I Gusti Anglurah Agung Pinatih Rsi kemudian bertempat tinggal disana
diiringi oleh putra sanak saudara. Rakyat semuanya mengiringi. Tempat itu
kemudian diberi nama desa Sulang. Sedangkan di Bukit Mekar, beliau pertama kali
mengukur tempat untuk Pamerajan, tempat Puri, mengukur tempat untuk Kahyangan
Tiga serta tempat kuburan dan rumah tempat tinggal rakyatnya semua.
Setelah sesak di Bukit Mekar, diberikan lagi tempat di
perbatasan Klungkung dan Karangasem yang bernama Tegal Ening, dekat dengan desa
Lebu Cegeng di tepi Sungai Unda yang sudah dikuasai I Gusti Dauh Talibeng.
Disana rakyat Kriyan Pinatih ada sebagian membangun rumah serta panyungsungan
Puseh Bale Agung, wilayah itu kemudian dinamai Banjar Mincidan. Penuh sesak di
banjar Mincidan, kemudian diberi tempat lagi di tepi Sungai Unda yang bernama
Tegal Genuk, yang kemudian diberi nama Banjar Gerombongan. Dari Banjar
Gerombongan, karena sesak diberikan tempat di perbatasan Semara Pura tepi
selatan, tempat warga Pande yang diajak dari Madura, tempat itu bernama Banjar
Galiran. Dari Banjar Galiran, karena sesak, yang diberikan lagi tempat di
Kusamba, dekat dengan Banjar Sangging, kemudian ada yang berada di pesisir
pantai Kusamba yang bernama Karang Dadi.
Kemudian ada diceritakan para putra Ki Arya Bang Pinatih yang kemudian mengikuti penuanya. Berkeinginan untuk menghadap ke Puri Dalem lalu berdiam di Banjarangkan, serta mmembuat panyawangan kawitan diberi nama Pura Lung Atad. Kemudian ada yang beralih mencari tempat di tempat Sungai Bubuh bernama tempat itu Basang Alu, membangun Pamerajan diberi nama menurut nama masing - masing. Pura di Lung Atad dituntun ke Basang Alu, berganti naman menjadi Pura Sari Bang.
Diceritakan lagi I Gusti Jimbaran pindah dari Tulikup
menuju desa Getakan, berdiam disana disayang oleh Cokorda Bakas. Inggih
demikian hentikan dahulu keadaan para putra yang terpencar tempat tinggalnya.
Kyai Anglurah Made Sakti Di Jenggala Bija
Diceritakan sekarang Kyai Anglurah Made
Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup menuju
Jenggalabija diiringi oleh rakyat lengkap dengan bawaannya. Jenggala Bija itu
dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu di wilayah
Mambal.
Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki
Puri di Jenggalabija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai
dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.
Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa : “Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun.
Kyai Ngurah Made Sakti benar - benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Ppada saat itu ada anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi pada hari Selasa Kliwon - Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan - Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upaacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pengumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan - akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made, sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun - pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira - kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa : “Nah, dengarkanlah sabdaku ini! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa maupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun.
Setelah selesai mendengar sabda dari
angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. Setelah sampai di tanah
kemudian beliau berkeinginan untuk membari tanda tempat itu denga kapur -
diberikan tanda silang - tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke
Puri.
Pada pagi harinya sampailah kemudian di
Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada perbekel serta rakyat
semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah
Made berkata : “Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya
untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”. Rakyat
semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti
Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu.
Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas
kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu
di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang
sampah. Disana dibuang sampah itu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian
tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. Kemudian ada orang melaporkan
permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat
pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah
Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian,
sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak
patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di
Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata.
Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah
Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka, karena itu segera didengar
olah rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan
tantangan terhadap Gustinya. Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made
kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang
Ksatria.
Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai
putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata bersorak
sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat
ramailah perang disana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang
mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati
dan banyak yang luka. Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti
Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah
Pangumpian dan kemudian meninggal. Sejak itu orang - orang di Pangumpian kalah
kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke
pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kesiman, ada di Suwung, di Wimba
serta Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya
kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija. Hentikan dahulu
ceritera di Bun Pangumpian.
Diceritakan sekarang yang memegang
kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta
bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal peperangan itu.
Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang
Maha Kuasa.
Berkata Cokorda : “Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Berkata Cokorda : “Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.
Diceritakan sekarang yang menjadi pendeta
bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama Ida Wayan Abian.
Adiknya bernama Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah
Bun. Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama
menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga
Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. Kemudian juga I
Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat
300 orang disampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah.
Diceritakan I Gusti Putu Bija di
Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu
kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas,
kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura - pura serta dipakai
peringatan di kelak kemudian hari. Ada juga terlahir dari warga Beranjingan,
bernama I Gusti Ngurah Gde Bija, adiknya bernama I Gusti Ngurah Made Bija
Beranjingan, I Gusti Ngurah Anom Lengar, serta terakhir bernama I Gusti Ketut
Bija Tangkeng itu semua lahir dari Puri Beranjingan, diamping ada yang wanita.
Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang
bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba - tamak, moha hatinya, itu
sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak
ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan
dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berbicara dengan
putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar,
tidak lagi peduli pada kelebihan orang lain. Karena itu, menjadi marah Kyai
Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain
seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I
Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan. Itu
sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh
pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di daerah
Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan
keperwiraannya. Disanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk,
saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan
demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan
bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya
bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba
putih, sedia akan mati di medan laga. Karena sudah demikian tekad I Gusti
Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, serta para putra semuanya,
kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pinti
Puri. Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah
Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menentang,
sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang
besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di
Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti
Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak disana di Darmasaba. Dengan
demikian I Gusti Ngurah Putu Bija, Beranjingan batal meninggal di medan perang
tempat itu kemudian dinamai Jagapati.
Sesudah lama berdiam disana, kemudian
semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti
Ngurah Putu Bija Beranjingan masing - masing adalah I Gusti Ngurah Beranjingan
membangun Puri di Banjar Bantas, adiknya I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan
mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. I Gusti Ngurah Ketut Bija
Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari tempat di Moncos diiringi
rakyat 60 KK, I Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran. Belakangan
I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak - balik
tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang, yang sulung bernama I Gusti Putu
Bija, adiknya I Gusti Bija Lekong, yang paling kecil I Gusti Bija Leking, I
Gusti Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman
Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking.
Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi
ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang
mengungsi ke Jembrana I Gusti Putu menuju wilayah Kaba - Kaba kemudian ke
Lodsawah.
Kembali diceritakan Kyai Ngurah Made Bija
Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawaan di Desa Bun, tidak ada yang
membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang
menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal
penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti
Nyoman Langkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra
I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun
menggantikan ayahnya bergelar Cokorda Mayun. Demikian dahulu keadaan di Mengwi.
Puri Bun Diserang Oleh Mengwi
Diceritakan sekarang, tidak bagitu lama
keadaan ini aman, kemudian tiba masa Kalisengsara - kekacauan, dan ternyata
marah besar Ida Cokorda Maun di Mengwi berkehendak menyerang I Dewa Karang yang
ada di Puri Mambal. Karena demikian didengar oleh I Dewa Karang, beliau
berbincang dengan ipar beliau di Puri Bun. Setelah selesai bertukar pikiran,
maka kembali pulang dengan tidak merasa sak wasangka lagi. Singkat ceritera,
pasukan Mengwi sudah datang menyebabkan penuh sesak mengitari. Puri Mambal
sudah dipenuhi oleh para putra Mengwi, dipimpin oleh Cokorda Mayun. Setelah
dikelilingi puri Mambal itu, sangat duka hati I Dewa Karang, kemudian keluar ke
depan Puri itu. Yang sebenarnya diandalkan oleh Puri Mengwi hanyalah pasukan
Bun. Dan teryata yang mengitari Puri I Dewa Karang juga? hanya pasukan Bun.
Karena itu I Dewa Karang dapat disembunyikan oelh pasukan Bun di tengah -
tengah mereka. Menjadi takjub ppasukan Mengwi, heran dengan kesaktian I Dewa Karang
yang hilang tidak ada di puri, karena sudah diungsikan - diamankan oleh pasukan
Bun. Itu sebabnya pulanglah pasukan Mengwi tanpa hasil. I Dewa Karang kemudian
mencari saudaranya yang berdiam di Banjar Tegal wilayah Tegalalang yang bernama
I Dewa Bata.
Sesudah lama, tahulah Ida Cokorda Mayun akan tipu muslihat I Gusti Ngurah Made Bun, yang menyebabkan hilangnya I Dewa Karang karena diapaki menantu oleh Anglurah Bun. Penguasa Mengwi kemudian menyuarakan kentongan agung, serta kemudian berangkat Cokorda Mayun beserta balanya semua, akan merusak dan merebut Kyai Naglurah Bun. Bila saja berani dalam medan perang, akan dihabiskan sampai anak cucu Anglurah Bun.
Singkat ceritera, pasukan Mengwi semuanya
sudah berangkat menuju puri Bun. Sesampainya di Bancingan Puri Bun, kaget Kyai
Ngerurah kemudian memukul kentongan bertalu - talu, serentak rakyatnya semua
laki maupun perempuan membawa senjata. Disana kemudian berkecamuklah perang
itu, saling amuk, setapakpun tidak mundur, bersorak saling ejek, saling tantang,
saling tusuk, saling penggal, saling banting, sama - sama tidak mengenal mana
kawan mana lawan, sehingga kemudian peperangan itu sampai ke Puri Bun. Tak
dinyana kemudian Cokorda Mayun, sebagai pucuk pimpinan pasukan Mengwi wafat,
dapat ditusuk oleh Kyai Nglurah Bun. Serta kalahlah pasukan Mengwi. Jenazah
Cokorda Mayun, diceritakan masih di Bun. Kemudian banyak rakyat Mengwi yang
masih hidup, kembali ke Mengwi, ada yang langsung menghadap I Gusti Agung Made
Munggu, adik Ida Cokorda Mayun yang wafat di Bun. Itu sebabnya murka I Gusti
Agung Made Munggu, seraya memerintahkan semua anggota keluarganya untuk
menyerang Anglurah Bun. Kemudian berangkat bala pasukan Mengwi dari Munggu dan
Mengwi seraya membawa senjata. Di Lambing para putra Mengwi mengadakan pembicaraan.
Kesimpulan pembicaraan itu, pasukan akan dibagi dua. Dari barat, sebagai
pimpinan pasukan I Gusti Agung Made Kamasan dari Sibang serta I Gusti Agung
Jlantik dari Penarungan, serta dari utara, bala pasukan disana mengiringi I
Gusti Agung Made Munggu.
Dari Taensiat Ke Nagari
Singkat ceritera Kyai Ngurah Bun Pinatih
sudah mendengar rencana balas dendam dari Puri Mengwi, jelas akan mendatangkan
bala pasukan dalam jumlah yang besar. Kalau dihadapi jelas akan kalah. Kemudian
beliau berpikir untuk tidak melawan, serta bersiap untuk meninggalkan puri,
mengungsi ke wilayah Badung, bersama dengan anak cucu, besar kecil, serta
rakyat semuanya, dengan mengusung Bhatara Kawitan semuanya seperti
Siwapakaranaan serta pusaka I Keboraja beserta I Baru Upas.
Setibanya di Badung kemudian menuju
Taensiat, rakyat beliau ditempatkan di Banjar Bun serta Banjar Ambengan. Ada
yang beralih menuju Angayabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Paguyangan. Ada
yang mengungsi ke wilayah Pagutan, Negara, Pagesangan, Tamesi. Ada ke Tagtag
Negara, Pangrebongan bersama I Gusti Tangeb, I Gusti Meranggi. I Gusti Meranggi
pindah ke wilayah Sarimertha. Demikian ceritanya dahulu.
Diceritakan sekarang di Puri Bun, karena
semua penduduk disana mengungsi ke wilayah Badung, maka keadaan disana menjadi
sunyi, tak ada seorangpun kelihatan lewat. Setibanya pasukan Mengwi ditempat
itu, maka dilakukan penyerobotan, dijarah semua milik Puri Bun serta milik
rakyat disana. Sisa penjarahan adalah purinya, wantilan, merajan, pura, dan
juga ada perumahan rakyat, semuanya dibakar habis diratakan sama sekali.
Jenazah Cokorda Agung Mayun yang meninggal dan tertinggal di Puri Bun kemudian
diambil dibawa pulang ke Mengwi.
Kembali diceritakan I Gusti Ngurah Bun di
taensiat, para putra beliau sekarang ada yang pindah ke desa - desa lainnya,
seraya memohon diri kepada ayahnya, seperti I Gusti Bun Sayoga ke Sigaran
Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal
di Padangkertha. I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit. Ada putranya 3 orang,
yang sulung I Gusti Teja - namanya sama dengan ayahnya, di Dawan Banjar, I
Gusti demung menuju Timbul, Sukawati. Ayahnya I Gusti Ngurah Bun kemudian
berpuri di Taensiat. Demikian dahulu.
Diceritakan I Dewa Karang berpuri di
Banjar Tegal, beliau senang melakukan persembahyangan, disana di Dalem
Pamuwusan namanya. Kemudian ada anugerah Ida Sang Hyang Widhi, beliau
mendapatkan anugerah senjata dua buah. Itu sebabnya sangat suka cita I Dewa
Karang, sangat percaya diri di hatinya. Karena itu beliau bermaksud untuk
mencari I Gusti Ngurah Made Bun di Puri Taensiat, agar turut serta berpuri di
Banjar Tegal. Singkat ceritera, sangat senang hati I Gusti Ngurah Made Bun,
demikian juga I Dewa Karang kemudian berjalan diiringi rakyatnya semua dengan
membawa perlengkapan menuju Alas Kawos, namun putranya yang bernama I Gusti
Ngurah Putu Wija diangkat atau kadharma putra oleh Kyai Pamecutan. Kemudian
diceriterakan I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Made Bun bersama tempat
tinggalnya kemudian menuju desa Kengetan.
Diceritakan I Gusti Wirya yang bertempat
tinggal di Kengetan, dan juga di desa Singakertha, ditantang oleh I Dewa Karang
dan I Gusti Ngurah Made Bun untuk berperang tanding. Akhirnya seperti keder
hati I Gusti Wirya di Kengetan, kemudian beralih tempat semuanya serentak
membawa perlengkapan di saat malam menuju desa Sigaran terus ke Melanjung.
Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua. Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari. I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita.
Sejak itu kemudian desa Kengetan, Jukutpaku, serta Singakertha dikuasain oleh I Dewa Kaarang. Karena keberhasilan itu, kemudian I Dewa Karang beserta I Gusti Ngurah Made Bun membuat puri di Karang Tepesan sampai kepada rakyatnya semua. Entah berapa masa sudah berpuri disana, ada usulan dari I Gusti Ngurah Made Bun agar membangun Puri yang baik dan indah, sebab keadaan sudah membaik, terus dinamai wilayah Negara. I Gusti Ngurah Made Bun membangun puri dinamai Puri Negari. I Dewa Karang mempunyai janji dengan I Gusti Ngurah Made Bun agar bersuka duka berdua, dan semoga terus sampai ke keturunannya nantinya. Demikian inti perbincangan I Dewa Karang serta I Gusti Ngurah Made Bun, semuanya merasa suka cita.
Diceritakan Ida Peranda Nyoman Padangrata
yang pernah menjadi pendeta atau Bagawantah Ida Ngurah Bun sudah berpindah dari
wilayah Bun, diikuti oleh putra serta isteri menuju desa Kutri, sewilayah
dengan Negara. Banyak rakyat I Dewa Karang ada di Kutris diberikan kepada Ida
Peranda. Demikian halnya di masa lalu, dicantumkan dalam pariagem.
Dilanjutkan sekarang purtra I Gusti Ngurah
Made Bun di Negari semua sudah diandalkan oleh I Dewa Karang yang berkuasa di
Negara. Putra I Gusti Ngurah Made Bun yang paling sulung bernama I Gusti Ngurah
Gde Bun atau I Gusti Ngurah Mawang berpuri di Negari, I Gusti Anom Angkrah di
Banjar Tunon, I Gusti Ketut Alit Bija bertempat tinggal di Kutri, I Gusti
Ngurah Tangeb mmasih di Mawang, serta wanita I Gusti Ayu Oka juga di Negari.
Semuanya memiliki jiwa keperwiraan masing - masing. Demikian keadaannya.
Diceritakan sekarang yang menjadi penguasa
wilayah Gianyar bernama Ida I Dewa Manggis, memberi perintah kepada I Dewa
Karang agar para putra Anglurah Bun Pinatih menjadi pengokoh wilayah Gianyar,
paling utama mengawasi Tegal Pangrebongan. Kesimpulan perbincangan itu agar
putra Ngurah Bun yang bernama I Gusti Ngurah Tangeb, yang memamng keturunan
Pinatih, itu yang mengawasi di Pangrebongan, diberikan rakyat 200 orang.
Demikian dicatat di Pariagem.
Juga diceritakan Ida Bang Pinatih memiliki
keturunan yang bernama mangurah Guwa dan Mangurah campida. Keduanya, ketika
masa kerajaan Gelgel atau Sweca Linggarsa Pura, ada di lingkunga Ida Dalem.
Namun ketika masa pemberontakan I Gusti Agung Maruti, terjadi huru - hara, maka
sanak keturunan beliau berdua meninggalkan Gelgel, ke arah timur perjalanannya,
serta kemudaian berdiam di desa Gunaksa. Disana membangun kahyangan dinamai
Pura Guwa. Tujuannya agar diketahui oleh keturunannya sebagai keturunan
Mangurah Guwa. Demikian tercatat dalam prasasti, tentang keadaan Sira Mangurah
Guwa.
Diceritakan pula di kemudian hari
mendapatkan panjang umur keturunan Mangurah Guwa, ada yang pindah ke desa
Timhun, sanak saudara yang lain menuju desa Aan. Ada juga yang meninggalkan
desa Gunaksa yang menuju desa Akah, Pagubungan Manduang serta Nusa Penida.
Demikian kisahnya Mangurah Guwa dan
Mangurah Campida. Dan demikian pula kisah tentang keberadaan sanak keturunan
Ida wang Bang Banyak wide yang kemudian menjadi warga Arya Wang Bang Pinatih di
seluruh pelosok Pula Bali.
(Sumber : Babad Bali)
No comments:
Post a Comment