Pemahaman Mengenai Mīmāmsā Darśana
Pendiri dan Sumber Ajaran
Ladang Informasi - Pūrva Mīmāmsā atau Karma Mīmāmsā atau yang
lebih dikenal dengan Mīmāmsā, adalah
penyelidikian ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian kedalam
ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang berurusan dengan masalah Mantra dan Brāhmana saja.disebut Pūrva Mīmāmsā karena ia lebih awal dari pada Uttara Mīmāmsā (Vedānta),
dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.
Mīmāmsā sebenarnya
bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau disebutkan
sebagai suatu sistem penafsiran Veda dimana diskusi
filosofisnya sama dengan semacam ulasan kritis pada Brāhmana atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab Veda dalam pengertian berdasarkan arti yang sebenarnya. Sebagai filsafat Mīmāmsā mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan keagamaan Veda terdiri dari bermacam-macam unsur,
yaitu :
- Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan mengamati hasil dari ritual di sorga.
- Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan.
- Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah suatu bentuk illusi.
Tokoh pendiri dari sistem filsafat Mīmāmsā adalah Mahāṛṣi Jaimini yang merupakan murid dari Mahāṛṣi Vyāsa telah mensistematir aturan-aturan dari Mīmāmsā
dan
menetapkan keabsahannya dalam karyanya itudimana aturan-aturannya sangat
penting guna menafsirkan hukum-hukum Hindu. Beliau menulis
kitab Mīmāmsā
Sūtra yang menjadi sumber ajaran pokok Mīmāmsā. Sūtra
pertama
dari Mīmāmsā Sūtra
berbunyi:
Athato Dharmajijñasa, yang
menyatakan keseluruhan dari sistemnya yaitu, suatu keinginan utnuk mengetahui Dharma atau kewajiban, yang tekandung
dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab Veda. Dharma yang diperintahkan Kitab Veda, dikenal dengan Śruti yang pelaksanaannya member
kebahagiaan. Seorang Hindu harus melaksanakan nitya karma seperti saṅdhyā-vandana.
Serta naimitika karma selama ada
kesempatan, untuk mendapatkan pembebasan, yang dapat dikatakan sebagai kewajiban
tanpa syarat.
Sifat Ajaran
Ajaran Mīmāmsā
bersifat pluralistis dan realistis yang mengakui jiwa yang jamak dan alam
semesta yang nyata serta berbeda dengan jiwa. Karena sangat mengagungkan Veda, maka Mīmāmsā menganggap Veda
itu bersifat kekal dan tanpa penyusun, baik oleh manusia maupun oleh Tuhan. Apa
yang diajarkan oleh Veda dipandang
sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Menurut filsafat Mīmāmsā, pelaksanaan upacara keagamaan adalah semata-mata perintah
dari Veda dan merupakan suatu
kewajiban yang mendatangkan pahala. Kekuatan yang mengatur antara pelaksanaan
upacara tersebut dengan pahalanya disebut apūrva. Pelaksanaan apūrva
memberikan
ganjaran kepada si pelaksana kurban, karena apūrva
merupakan
mata rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasilnya. Apūrva
adalah Adṛṣṭa, yang merupakan
kekuatan-kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif.
Pokok-Pokok Ajaran
Mengenai Jīva, Mīmāmsā menyatakan bahwa jiwa itu banyak
dan tak terhingga, bersifat kekal, ada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
Karena adanya hubungan antara jiwa dengan benda, maka jiwa mengalami avidyā dan kena Karmavesana. Jaimini tidak mempercayai adanya Mokṣa dan hanya mempercayai keberadaan Svarga (surga), yang dapat dicapai
melalui karma atau kurban. Para
penulis yang belakangan hadir seperti Prabhakāra
dan Kumārila, tak dapat
menyangkal tentang masalah pembebasan akhir, karena ia menarik perhatian para
pemikir filsafat lainnya. Prabhakāra menyatakan
bahwa penghentian mutlak dari badan yang disebabkan hilangnya Dharma dan A-Dharma secara total, yang kerjanya disebabkan oleh kelahiran
kembali, merupakan kelepasan atau pembebasan mutlak, karena hanya dengan Karma saja tak akan dapat mencapai
pembebasan akhir. Pandangan Kumārila mendekati
pandangan dari Advaita Vedānta yang
menetapkan bahwa Veda disusun oleh
Tuhan dan merupakan Brahman dalam
wujud suara. Mokṣa adalah keadaan
yang positif baginya, yang merupakan realisasi dari Ātman.
Menurut Jaimini, pelaksanaan
kegiatan yang dilarang oleh kitab suci Veda
merupakan sādhanā atau cara
pencapaian surga. Karma Kāṇḍa merupakan
pokok dari Veda yang penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari
kegiatan yang dilarang (nisiddha karma).
Sang Diri adalah jaḍa cetana, gabungan
dari kecerdasan tanpa perasaan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa isi
pokok ajaran Jaimini adalah
“Laksanakanlah upacara kurban dan nikmati hasilnya di Surga”.
Dalam sistem Mīmāmsā mengenal dua jenis pengetahuan yaitu, immediate dan mediate. Immediate adalah pengetahuan yang
terjadi secara tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan. Sedangkan mediate ialah pengetahuan yang diperoleh
melalui perantara.
Obyek dari
pengetahuan immediate haruslah
sesuatu yang ada atau zaat. Pengetahuan yang datangnya tiba-tiba dan tidak
dapat ditentukan terlebih dahulu disebut nirvikalpa
pratyakṣa atau alocāna-jñana. Dari pengetahuan immediate
obyeknya dapat dilihat tetapi tidak dapat dimengerti. Obyek dari pengetahuan mediate juga sesuatu yang ada dan dapat
diinterprestasikan dengan baik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dalam
pengetahuan mediate obyeknya dapat
dimengerti dengan benar, pengetahuan semacam ini dinamakan savikalpa Pratyakṣa.
Mīmāmsā Sūtra, yang terdiri dari 12 buku atau bab Mahāṛṣi Jaimini
merupakan
dasar filsafat Mīmāmsā, sedangkan ulasan-ulasan lain
selain Prabhakāra dan Kumārila, juga dari penulis lain seperti dari
Bhava-nātha Miśra, Śabarasvāmīn, Nilakaṇṭha, Raghavānanda dan lain-lainnya.
Prabhakāra menyatkan bahwa sumber
pengetahuan kebenaran (pramāṇa)
menurut Mīmāmsā adalah sebagai berikut:
- Pratyakṣa : pengamatan langsung
- Anumāna : dengan penyimpilan
- Upamāṇa : mengadakan perbandingan
- Śabda : kesaksian kitab suci atau orang bijak
- Arthāpatti : penyimpulan dari keadaan
- An-upalabdhi : pengamatan ketidak adaan ( ditambahkan oleh Kumārila)
Empat
cara pengamatan di atas hampir sama dengan cara pengamatan dari Nyāya, hanya pada pengamatan upamāṇa ada sedikit tambahan, di mana
perbandingan yang dipergunakan di sini tidak sepenuhnya sama dengan contoh yang
telah diketahui. Pengamatan Arthāpatti
adalah
pengamatan dengan penyimpulan dari keadaan. Pengamatan An-upalabdhi, yaitu pengamatan
ketidak adaan obyek, jadi suatu cara pembuktian bahwa obyek yang dimaksudkan
itu benar-benar tidak ada.
Demikian penjelasan tentang Mīmāmsā. Semoga dapat membantu dalam memahami filsapat yang terdapat dalam ajaran agama Hindu.
No comments:
Post a Comment