viral

loading...

Saturday, May 5, 2018

Mimamsa Darsana


Pemahaman Mengenai Mīmāmsā Darśana

Pendiri dan Sumber Ajaran

Filsapat DarsanaLadang Informasi - Pūrva Mīmāmsā atau Karma Mīmāmsā atau yang lebih dikenal dengan Mīmāmsā, adalah penyelidikian ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian kedalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang berurusan dengan masalah Mantra dan Brāhmana saja.disebut Pūrva Mīmāmsā karena ia lebih awal dari pada Uttara Mīmāmsā (Vedānta), dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.

Mīmāmsā sebenarnya bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau disebutkan sebagai suatu sistem penafsiran Veda dimana diskusi filosofisnya sama dengan semacam ulasan kritis pada Brāhmana atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab Veda dalam pengertian berdasarkan arti yang sebenarnya. Sebagai filsafat Mīmāmsā mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan keagamaan Veda terdiri dari bermacam-macam unsur, yaitu :
  1. Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan mengamati hasil dari ritual di sorga.
  2. Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan.
  3. Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah suatu bentuk illusi.

Tokoh pendiri dari sistem filsafat Mīmāmsā adalah Mahāṛṣi Jaimini yang merupakan murid dari Mahāṛṣi Vyāsa telah mensistematir aturan-aturan dari Mīmāmsā dan menetapkan keabsahannya dalam karyanya itudimana aturan-aturannya sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum Hindu. Beliau menulis kitab Mīmāmsā Sūtra yang menjadi sumber ajaran pokok Mīmāmsā. Sūtra pertama dari Mīmāmsā Sūtra berbunyi: Athato Dharmajijñasa, yang menyatakan keseluruhan dari sistemnya yaitu, suatu keinginan utnuk mengetahui Dharma atau kewajiban, yang tekandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab Veda. Dharma yang diperintahkan Kitab Veda, dikenal dengan Śruti yang pelaksanaannya member kebahagiaan. Seorang Hindu harus melaksanakan nitya karma seperti saṅdhyā-vandana. Serta naimitika karma selama ada kesempatan, untuk mendapatkan pembebasan, yang dapat dikatakan sebagai kewajiban tanpa syarat.

Sifat Ajaran

Ajaran Mīmāmsā bersifat pluralistis dan realistis yang mengakui jiwa yang jamak dan alam semesta yang nyata serta berbeda dengan jiwa. Karena sangat mengagungkan Veda, maka Mīmāmsā menganggap Veda itu bersifat kekal dan tanpa penyusun, baik oleh manusia maupun oleh Tuhan. Apa yang diajarkan oleh Veda dipandang sebagai suatu kebenaran yang mutlak. Menurut filsafat Mīmāmsā, pelaksanaan upacara keagamaan adalah semata-mata perintah dari Veda dan merupakan suatu kewajiban yang mendatangkan pahala. Kekuatan yang mengatur antara pelaksanaan upacara tersebut dengan pahalanya disebut apūrva. Pelaksanaan apūrva memberikan ganjaran kepada si pelaksana kurban, karena apūrva merupakan mata rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasilnya. Apūrva adalah Adṛṣṭa, yang merupakan kekuatan-kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif.


Pokok-Pokok Ajaran

Mengenai va, Mīmāmsā menyatakan bahwa jiwa itu banyak dan tak terhingga, bersifat kekal, ada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu. Karena adanya hubungan antara jiwa dengan benda, maka jiwa mengalami avidyā dan kena Karmavesana. Jaimini tidak mempercayai adanya Mokṣa dan hanya mempercayai keberadaan Svarga (surga), yang dapat dicapai melalui karma atau kurban. Para penulis yang belakangan hadir seperti Prabhakāra dan Kumārila, tak dapat menyangkal tentang masalah pembebasan akhir, karena ia menarik perhatian para pemikir filsafat lainnya. Prabhakāra menyatakan bahwa penghentian mutlak dari badan yang disebabkan hilangnya Dharma dan A-Dharma secara total, yang kerjanya disebabkan oleh kelahiran kembali, merupakan kelepasan atau pembebasan mutlak, karena hanya dengan Karma saja tak akan dapat mencapai pembebasan akhir. Pandangan Kumārila mendekati pandangan dari Advaita Vedānta yang menetapkan bahwa Veda disusun oleh Tuhan dan merupakan Brahman dalam wujud suara. Mokṣa adalah keadaan yang positif baginya, yang merupakan realisasi dari Ātman.

Menurut Jaimini, pelaksanaan kegiatan yang dilarang oleh kitab suci Veda merupakan sādhanā atau cara pencapaian surga. Karma Kāṇḍa merupakan pokok dari Veda  yang penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari kegiatan yang dilarang (nisiddha karma). Sang Diri adalah jaḍa cetana, gabungan dari kecerdasan tanpa perasaan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa isi pokok ajaran Jaimini adalah “Laksanakanlah upacara kurban dan nikmati hasilnya di Surga”.

Dalam sistem Mīmāmsā mengenal dua jenis pengetahuan yaitu, immediate dan mediate. Immediate adalah pengetahuan yang terjadi secara tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan. Sedangkan mediate ialah pengetahuan yang diperoleh melalui perantara. Obyek dari pengetahuan immediate haruslah sesuatu yang ada atau zaat. Pengetahuan yang datangnya tiba-tiba dan tidak dapat ditentukan terlebih dahulu disebut nirvikalpa pratyakṣa atau alocāna-jñana. Dari pengetahuan immediate obyeknya dapat dilihat tetapi tidak dapat dimengerti. Obyek dari pengetahuan mediate juga sesuatu yang ada dan dapat diinterprestasikan dengan baik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dalam pengetahuan mediate obyeknya dapat dimengerti dengan benar, pengetahuan semacam ini dinamakan savikalpa Pratyakṣa.

Mīmāmsā Sūtra, yang terdiri dari 12 buku atau bab Mahāṛṣi Jaimini merupakan dasar filsafat Mīmāmsā, sedangkan ulasan-ulasan lain selain Prabhakāra dan Kumārila, juga dari penulis lain seperti dari Bhava-nātha Miśra, Śabarasvāmīn, Nilakaṇṭha, Raghavānanda dan lain-lainnya. Prabhakāra menyatkan bahwa sumber pengetahuan kebenaran (pramāṇa) menurut Mīmāmsā adalah sebagai berikut:
  1. Pratyakṣa        : pengamatan langsung
  2. Anumāna         : dengan penyimpilan
  3. Upamāṇa        : mengadakan perbandingan
  4. Śabda              : kesaksian kitab suci atau orang bijak
  5. Arthāpatti       : penyimpulan dari keadaan
  6. An-upalabdhi  : pengamatan ketidak adaan ( ditambahkan oleh Kumārila)

Empat cara pengamatan di atas hampir sama dengan cara pengamatan dari Nyāya, hanya pada pengamatan upamāṇa ada sedikit tambahan, di mana perbandingan yang dipergunakan di sini tidak sepenuhnya sama dengan contoh yang telah diketahui. Pengamatan Arthāpatti adalah pengamatan dengan penyimpulan dari keadaan. Pengamatan An-upalabdhi, yaitu pengamatan ketidak adaan obyek, jadi suatu cara pembuktian bahwa obyek yang dimaksudkan itu benar-benar tidak ada.

Demikian penjelasan tentang Mīmāmsā. Semoga dapat membantu dalam memahami filsapat yang terdapat dalam ajaran agama Hindu.

No comments:

Post a Comment