Sejarah Pura Purancak Di Desa Perancak
Asal Mula Perancak
Ladang Informasi - Pura Perancak terletak di pinggir laut, wilayah Desa Perancak, Kecamatan
Negara, Kabupaten Jembrana. Jaraknya dari Kota Negara kira-kira 19 kilometer.
Jalan menuju pura tersebut cukup baik dan sudah diaspal. Bisa dijangkau dengan kendaraan
bermotor Panorama sekitar pura adalah lautan dan kebun kelapa.
Pura Gede Perancak
merupakan salah satu lokasi sacral di Bali. Pura ini dikenal sebagai salah satu
pura Dang Kahyangan, yaitu pura yang terkait erat dengan legenda Dang Hyang
Nirartha. Dang Hyang Nirartha juga dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh
yang dipuja masyarakat Bali sebagai penyebaran agama Hindu di Bali.
Pura Gede Perancak
yang diselenggarakan pada Buda Umanis wuku Medangsia setiap enam bulan atau 210
hari berdasarkan penanggalan Bali. Nama Pura Gede Perancak terkait erat dengan
kisah kedatangan Dang Hyang Nirartha dari kerajaan Blam-bangan di Jawa pada
abad ke-15. Menurut kebanyakan orang, kesucian dan kharisma Beliau sangat besar
yang menyebabkan adik Raja Blambangan jatuh hatin padanya dan menimbulkan pada
orang-orang istana, dan menuduh menggunakan guna-guna. Untuk menghindari
konflik, Dang Hyang Nirartha melarikan diri dari jawa dengan bantuan para
nelayan desa Muncar di kerajaan blambangan (Jawa Timur).
Tanjung Ketapang
merupakan muara sungai tempat Dang Hyang Nirartha tiba, saat in dikenal sebagai
Desa Perancak . ketika itu disanalah sang pendeta berjumpa dengan I Gusti
Ngurah Rangsasa, mahapatih Kerajaan Negare. Aturan yang berlaku saat itu
adalah siapapun yang melewati tersebut harus tunduk dan menyembah pada batu
bebaturan (pelinggih kecil yang terbuat dari tumpukan batu bata dan paras yang
disebut Pura Usang). Sebagai seorang pendeta suci, Dang Hyang Nirartha tidak
dapat melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan. Walaupun sang pendeta
menolak untuk melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan, karena
dibawah tekanan, pendeta suci tersebut mencakupkan kedua tangannya seperti
sikap berdoa. Pada saat ia melakukan itu, pelinggih bebaturan tersebut pecah
dan hancur berantakan. Kemudian tempat tersebut dikenal dengan Pura Encak
melihat hal tersebut , menteri Kerajaan, I Gusti Rangsasa menjadi takut dan
melarikan diri. Kejadiaan saat itu dapat dilihat saat ini disatu tempat yang
disebut Sawe Rangsasa, julukan untuk Patih Rangsasa yang melarikan diri dan
tewas disana. Peristiwa tersebut terjadi disisi utara, di seberang sungai.
Hingga saat ini lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat sacral (tenget). Lama
setelah penduduk local berdoa ditempat tersebut dan juga karena ada beberapa
masalah disana, para ‘umat’ pura melakukan nunas raos, memohon petunjuk
spiritual, untuk menayakan kemungkinan memindahkan Pura Encak ke sisi selatan
sungai. Mereka mencari balian sebagai pengantar, untuk bias berkomunikasi
dengan para dewa. Ketika dimasukan roh, dikatakan bahwa masyarakat Perancak boleh
memindahakn pura keseberang sungai dengan syarat mereka harus melemparkan
sebatang bambu khusus, dan dimana bambu tersebut jatuh di situlah tempat lokasi
pun didirikan. Suatu hari , ditempat yang didalam di atas tanah timbul hasil
gundukan pasir, terlihat sebatang bambu. Lambat laun, setiap hari gundukan
pasir secara perlahan semakin luas dan pura bisa dibangun ditempat tersebut.
Kisah tersebut dituturkan oleh Nengah Kirtha, seorang penutur asli Perancak dan
mantan bendesa adat Perancak periode 1969-1999.
Buaya Dwe, Buaya Penjaga Pura
Dulu, ada sangat
banyak buaya diperancak-berjumlah ribuan. Tetapi sekitar tahun 1958, seorang
pemburu dari Bugis dating dan mengambil buaya-buaya tersebut. Semua buaya
ditangkap dan sekarang benar-benar sudah punah. Saat ini,hanya ada buaya
niskala yang kadang-kadang bisa terlihat. Buaya yang dipercaya masyarakat
Perancak. Pintu masuk bagian dalam Pura Perancak dijaga oleh dua patung
buaya-satu berwarna hitam adalah buaya jantan dan satunya lagi berwarna kuning
adalah betina yang menjaga ruang sacral di dalam pura. Disamping dua buaya
penjaga pura,ada juga harimau yang menjaga tempat tersebut. Ada masyarakat yang
bisa mendengar auman harimau ketika bersembahyang. Suatu ketika, Pak Kirtha
menceritakan, ketika ia bersembahnyang di pura bersama ayahnya, ia mendengar
suara auman harimau. Suara tersebut membuat Pak Kirtha ketakutan. Pak khirta
belum pernah melihat buaya niskala. Tetapi beberapa orang pernah melihatnya.
Buaya-buaya penjaga tersebut kadang-kadang terlihat ketika piodalan pura.
Mangku Sandra, salah seorang pemangku di Pura Perancak malah pernah meihat
langsung buaya dan harimau tersebut melintas didepannya saat beliau
bermeditasi. Selain sepasang buaya hitam dan kuning, kadan ada satu buaya
berwarna putih yang juga terlihat. Buaya putih kerap muncul dalam bentuk sampan
ketika para perempuan pergi ke sungai untuk membersihkan diri.
Makam Keramat
Sebuah makam keramat
berdiri di bagian utara Desa Perancak. Satu pembunuhan terjadi ditempat
tersebut ketika jembrana masih berbentuk kerajaan. Pada saat itu, seorang
delegasi dikirim oleh Raja Jawa dan Madura untuk membawa selembar kain
Geringsing Wayang yang sacral sebagai hadiah ke salah satu dari dua Raja
Jembrana. Hadiah dari Solo tersebut ditunjukan untuk Raja di Utara. Tetapi para
utusan dari Solo ditipu,sehingga pergi ke kerajaan Raja Selatan dan ditangkap
oleh seorang patih yang sangat berambisi memiliki Geringsing Wayang untuk
dirinya sendiri. Para utusan dibunuh ditempat makam keramat yang berada saat
ini, agar si pencuri tidak bisa ditemukan. Tetapi lama ke lamaan setelah
penyakit secara beruntun menyerang keluarga Kerajaan Jembrana Selatan, mereka
meminta petunjuk pada balian. Peristiwa tragis yang terjadi memberikan
pelajaran pada mereka tentang utang jiwa (mautang urip), sebagai tanggung jawab
sampai saat ini. Sebuah pemakaman megah kemudian dibangun pada lokasi
terjadinya pembunuhan terhadap para utusan di Perancak tahun 1800-an, dan untuk
saat ini upacara dilakukan dilokasi tersebut sebagai penebusan dosa.
No comments:
Post a Comment