viral

loading...

Monday, May 7, 2018

Sejarah Pura Purancak


Sejarah Pura Purancak Di Desa Perancak

Asal Mula Perancak

Ladang InformasiPura Perancak terletak di pinggir laut, wilayah Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jaraknya dari Kota Negara kira-kira 19 kilometer. Jalan menuju pura tersebut cukup baik dan sudah diaspal. Bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor Panorama sekitar pura adalah lautan dan kebun kelapa.

Pura Gede Perancak merupakan salah satu lokasi sacral di Bali. Pura ini dikenal sebagai salah satu pura Dang Kahyangan, yaitu pura yang terkait erat dengan legenda Dang Hyang Nirartha. Dang Hyang Nirartha juga dikenal sebagai Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang dipuja masyarakat Bali sebagai penyebaran agama Hindu di Bali.
Asal Mula Pura Purancak di Desa Perancak
Pura Purancak
Pura Gede Perancak yang diselenggarakan pada Buda Umanis wuku Medangsia setiap enam bulan atau 210 hari berdasarkan penanggalan Bali. Nama Pura Gede Perancak terkait erat dengan kisah kedatangan Dang Hyang Nirartha dari kerajaan Blam-bangan di Jawa pada abad ke-15. Menurut kebanyakan orang, kesucian dan kharisma Beliau sangat besar yang menyebabkan adik Raja Blambangan jatuh hatin padanya dan menimbulkan pada orang-orang istana, dan menuduh menggunakan guna-guna. Untuk menghindari konflik, Dang Hyang Nirartha melarikan diri dari jawa dengan bantuan para nelayan desa Muncar di kerajaan blambangan (Jawa Timur).

Tanjung Ketapang merupakan muara sungai tempat Dang Hyang Nirartha tiba, saat in dikenal sebagai Desa Perancak . ketika itu disanalah sang pendeta berjumpa dengan I Gusti Ngurah Rangsasa, mahapatih Kerajaan Negare. Aturan yang berlaku saat itu adalah siapapun yang melewati tersebut harus tunduk dan menyembah pada batu bebaturan (pelinggih kecil yang terbuat dari tumpukan batu bata dan paras yang disebut Pura Usang). Sebagai seorang pendeta suci, Dang Hyang Nirartha tidak dapat melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan. Walaupun sang pendeta menolak untuk melakukan penyembahan terhadap pelinggih bebaturan, karena dibawah tekanan, pendeta suci tersebut mencakupkan kedua tangannya seperti sikap berdoa. Pada saat ia melakukan itu, pelinggih bebaturan tersebut pecah dan hancur berantakan. Kemudian tempat tersebut dikenal dengan Pura Encak melihat hal tersebut , menteri Kerajaan, I Gusti Rangsasa menjadi takut dan melarikan diri. Kejadiaan saat itu dapat dilihat saat ini disatu tempat yang disebut Sawe Rangsasa, julukan untuk Patih Rangsasa yang melarikan diri dan tewas disana. Peristiwa tersebut terjadi disisi utara, di seberang sungai. Hingga saat ini lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat sacral (tenget). Lama setelah penduduk local berdoa ditempat tersebut dan juga karena ada beberapa masalah disana, para ‘umat’ pura melakukan nunas raos, memohon petunjuk spiritual, untuk menayakan kemungkinan memindahkan Pura Encak ke sisi selatan sungai. Mereka mencari balian sebagai pengantar, untuk bias berkomunikasi dengan para dewa. Ketika dimasukan roh, dikatakan bahwa masyarakat Perancak boleh memindahakn pura keseberang sungai dengan syarat mereka harus melemparkan sebatang bambu khusus, dan dimana bambu tersebut jatuh di situlah tempat lokasi pun didirikan. Suatu hari , ditempat yang didalam di atas tanah timbul hasil gundukan pasir, terlihat sebatang bambu. Lambat laun, setiap hari gundukan pasir secara perlahan semakin luas dan pura bisa dibangun ditempat tersebut. Kisah tersebut dituturkan oleh Nengah Kirtha, seorang penutur asli Perancak dan mantan bendesa adat Perancak periode 1969-1999.

Buaya Dwe, Buaya Penjaga Pura

Dulu, ada sangat banyak buaya diperancak-berjumlah ribuan. Tetapi sekitar tahun 1958, seorang pemburu dari Bugis dating dan mengambil buaya-buaya tersebut. Semua buaya ditangkap dan sekarang benar-benar sudah punah. Saat ini,hanya ada buaya niskala yang kadang-kadang bisa terlihat. Buaya yang dipercaya masyarakat Perancak. Pintu masuk bagian dalam Pura Perancak dijaga oleh dua patung buaya-satu berwarna hitam adalah buaya jantan dan satunya lagi berwarna kuning adalah betina yang menjaga ruang sacral di dalam pura. Disamping dua buaya penjaga pura,ada juga harimau yang menjaga tempat tersebut. Ada masyarakat yang bisa mendengar auman harimau ketika bersembahyang. Suatu ketika, Pak Kirtha menceritakan, ketika ia bersembahnyang di pura bersama ayahnya, ia mendengar suara auman harimau. Suara tersebut membuat Pak Kirtha ketakutan. Pak khirta belum pernah melihat buaya niskala. Tetapi beberapa orang pernah melihatnya. Buaya-buaya  penjaga tersebut kadang-kadang terlihat ketika piodalan pura. Mangku Sandra, salah seorang pemangku di Pura Perancak malah pernah meihat langsung buaya dan harimau tersebut melintas didepannya saat beliau bermeditasi. Selain sepasang buaya hitam dan kuning, kadan ada satu buaya berwarna putih yang juga terlihat. Buaya putih kerap muncul dalam bentuk sampan ketika para perempuan pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

Makam Keramat

Sebuah makam keramat berdiri di bagian utara Desa Perancak. Satu pembunuhan terjadi ditempat tersebut ketika jembrana masih berbentuk kerajaan. Pada saat itu, seorang delegasi dikirim oleh Raja Jawa dan Madura untuk membawa selembar kain Geringsing Wayang yang sacral sebagai hadiah ke salah satu dari dua Raja Jembrana. Hadiah dari Solo tersebut ditunjukan untuk Raja di Utara. Tetapi para utusan dari Solo ditipu,sehingga pergi ke kerajaan Raja Selatan dan ditangkap oleh seorang patih yang sangat berambisi memiliki Geringsing Wayang untuk dirinya sendiri. Para utusan dibunuh ditempat makam keramat yang berada saat ini, agar si pencuri tidak bisa ditemukan. Tetapi lama ke lamaan setelah penyakit secara beruntun menyerang keluarga Kerajaan Jembrana Selatan, mereka meminta petunjuk pada balian. Peristiwa tragis yang terjadi memberikan pelajaran pada mereka tentang utang jiwa (mautang urip), sebagai tanggung jawab sampai saat ini. Sebuah pemakaman megah kemudian dibangun pada lokasi terjadinya pembunuhan terhadap para utusan di Perancak tahun 1800-an, dan untuk saat ini upacara dilakukan dilokasi tersebut sebagai penebusan dosa.

No comments:

Post a Comment