viral

loading...

Sunday, November 4, 2018

Kisah Perjalanan Dhanghyang Dwijendra Ke Bali

Kisah Perjalanan Dhang Hyang Dwijendra

Ladang Informasi - Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.


GerombongSalah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu). Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya.

Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama Danghyang Nirartha menjadi Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang Panawasikan. Setelahnya Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang Asmaranata, yang merupakan tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya ke Bali, beliau pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.

Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Danghyang Dwijendra merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang Dwijendra, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana. Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra banyak mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana diceritakan bahwa saking aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan, perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya berkurang, alhasil sesuai dengan intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan rumah tanpa memberitahu. Danghyang Dwijendrapun mencari anggota keluarganya, alhasil sang rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali putrinya Dyah Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang aliran Tukad Aya ke arah hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung Merbuk di utara dan hingga akhirnya beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas yang menjorok ke laut. Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan, karena ada penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang itu dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan kemudian menjadi pelayan dan pengikut Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal mendasar pula yang perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana adalah untuk menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa di Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.

Disisi lain, diceritakan tentang bagaimana asal-usul Danghyang Dwijendra dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya sampai di sebuah desa yang bernama Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan penyakitan karena sedang dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang rsi mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap dari bibir penduduk. Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir bagaimana menyembuhkan penduduk desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dimantrai dan selanjutnya diberikan pada penduduk desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para penduduk desa sembuh dari penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang Rsi Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi melanjutnya yatranya menuju Tabanan hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan beliau bukan disana, melainkan menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah perjalanan dari Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat ingin berjumpa dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan menawarkan agar sudi singgah di purinya di Badung.  Dalam perjalanan, Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di desa Buagan, dan penduduk yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku dengan kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang telah dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut.

Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan perjalanan ke timur hingga sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas. Disinilah Danghyang Dwijendra menetap dan menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunannya, yaitu:
  1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca  perwujudan).
  2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang Dwijendra melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Dwijendra mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.

Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas, Dalem Watu Renggong yang merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk menjemput sang wiku, sesampainya di Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan berbicara panjang lebar. Saking keasyikan bercerita dan menerima pencerahan dua hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan perintah sang raja. Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya keesokan harinya barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung (dikenal juga dengan Gusti Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai di ibukota Kerajaan, namun sayang Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena lama menunggu dan memutuskan pergi berburu ikan di Teluk Padang (Padang Bai) tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan. Sang Rsi dimohon langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada petang hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran diberikan oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka kembali ke Gelgel. Hari demi hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem yang keras berhasil diubah menjadi lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh sang Rsi.

Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita, masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel masih terus menunggu dan mengganggu. Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah dengan rivalnya di timur, yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa  agak kuat membiarkan pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang Dwijendra memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan penguasa Lombok yang mulai berulah itu.

Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai Kusamba dengan pengawalan perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang wiku bertemu dengan raja Krahengan dan segera melakukan perbincangan politik, namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera balik ke Bali, dalam perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan keduniawian untuk menjadi seorang Sanyasin dan mengulang kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi perjalanan spiritual. Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya ke Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak untuk mengulangi perjalanannya dari barat ke timur.

Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang wiku, dan beliau diantar ke Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari tempat yang dekat dengan Purancak yang mana disana sudah ada Pura, dan beliau disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau selalu menyembah perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar, lalu beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi beryoga bangunan yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu menyembah maharsi Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki sehingga ada tempat sembahyang, sang wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan dan dijunjung di atas bangunan itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi.

Selepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu tonjolan batu karang yang ditumbuhi pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok ke laut dan bagian tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak menuju ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari sang wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan siraman rohani dan dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar para nelayan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya.  Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu selalu menjadi tempat berkumpul para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini menjadi Pura Tanah Lot di Tabanan.

Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan perjalanannya menyisir pantai ke timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah ujung tonjolan dengan tangga berbatu berbentuk cascade yang dapat dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas batu itu. Penduduk menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai leluhurnya dari negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga nuansa spiritual tampat itu semakin meningkat, dan di tempat itu kini berdiri pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke timur menyisir pantai selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini sang wiku melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat yang bernama Samprangan dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas dari sana sang Rsi bergerak ke utara hingga penapakan beliau sampai pada Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku menemukan beberapa nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut-pelaut Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah.

Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan semangat para pelaut itu. Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun dengan senang hati menerima permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi pertama kali menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana yang masih hanya berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat petapakan beliau lalu masyarakat disana membangun pura yang dinamai Pura Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”, yaitu suara air laut yang dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur sampai di Batu Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi.

Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang sasak yang beragama Islam, para umat islam yang menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra adalah para kelompok Islam Wetu Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan untuk di Suranadi berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas dari Suranadi, sang wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan mengikuti busur yang bersebelahan dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri Selaparang dan mengajak sang wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak dengan halus dan untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di tepi pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan kemudian pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa.

Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Dwijendra terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.

Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Dwijendra melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini. Di samping itu,  adanya hasrat yang besar  untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya  yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa. Setelah armada Majapahit  di bawah pimpinan  Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.

Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang Dwijendra mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.

Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang. Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.

Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu. Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.

Dijelaskan juga disalahsatu desa di Karangasem, juga terdapat petilasan Dhanghyang Dwijendra, yang dikenal dengan Pura Gerombong di Desa Pakraman Baturinggi. Dikisahkan bahwa pada saat perjalanan Danghyang Dwijendra berkeliling menjelajahi tepi pantai Bali. Ketika perjalannya sampai di Bali utara, beliau sempat turun sejenak di Desa Baturinggit, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Agung dekat pantai. Di desa itulah  Danghyang Dwijendra meletakkan batu sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi sebagai cikal bakal Pura Gerombong. (Sumber : http://diskominfo.karangasemkab.go.id/index.php/baca-artikel/54/Ritual-Unik-Seni-Budaya-Karangasem--Nyepeg-Sampi-dan-Jaran-Gading-Menginjak-Bara-Api)

Tuesday, May 29, 2018

Memaknai Hari Raya Galungan


Hari Raya Galungan

Ladang Informasi – Hari raya Galungan dirayakan 210 hari sekali atau selama 6 bulan sekali, karena hari raya ini menggunakan perhitungan Pawukon (Wuku), yaitu jatuh pada Hari Rabu (Buda) Wage Kliwon Wuku Dungulan.

Banyak dari kita menganggap bahwa hari raya Galungan adalah hari lebarannya umat Hindu, namun tidak semata-mata demikian. Kenapa, karena setiap hari raya dalam konsep agama hindu memiiki makna dan filosofis sendiri. Yang nantinya membuat umat semakin meningkat sradha dan bhaktinya kepada Ida ang Hyang Widhi Wasa.

Bagaimana sebetulnya makna dari hari raya Galungan tersebut?? Apa sesungguhnya tujuan dari pelaksaananya??? Tentu ini sering sekali menjadi pertanyaan dalam hati.
Untuk itu, disini akan dibahas dari rentetan pelaksanaan Hari Raya Galungan.
Galungan dan Kuningan
Hubungan Harmonis dengan alam, akan menjaga keseimbangan manusia dengan alam.

Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh

Tumpek wariga diperingati 25 hari sebelum hari raya Galungan, yang memiliki makna ebagai wujud syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kesuburan alam dan perlindungan bagi tanaman yang dimiliki umat Hindu dalam rangka untuk mensejahterakan hidup. Maka pada hari ini umat menghaturkan bhakti di perladangan atau sawah yang biasanya pada tumpek wariga ini, sudah mulai siap dipanen untuk kepentingan hari raya Galungan.

Sugihan Jawa

Sugihan Jawa merupakan peringatan yang dilaksanakan 7 hari sebelum hari raya galungan. Makna dari sugihan Jawa adalah menghaturkan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas terjalinnya hubungan yang harmonis dengan alam semesta (Palemahan), sehingga kita masih dapat hidup dengan normal dan terpenuhi segala unsur hidup dari alam.

Sugihan Bali

Selanjutnya sehari setelah Sugihan Jawa adalah Sugihan Bali, yaitu menyampaikan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kesehatan dan kesejahteraan untuk insan individual. Disini kita diharapkan mampu mulai mengekang dan melakukan pengendalian diri guna persiapan menghadapai hari raya Galungan. Dikatakan bahwa pada esok harinya sang Tiga Kala Wisesa mulai muncul disekitar kita untuk menggoda manusia. Untuk itu kita harus mengendalikan diri agar tidak dipengaruhi oleh ketiga bhuta kala tersebut.

Penyekeban

Dari arti kata nyekeb, yang artinya menyimpan agar matang, pada hari ini kita diharapkan benar-benar mengendalikan segala hal yang bersifat negatif agar menjadi matang dan siap menghadapi hari raya Galungan.

Penyajaan

Penyajaan berasal dari bahasa Bali, jaja yang artinya kue. Disini sudah mulai berproses, dari adonan, pencetakan dan pemasakan sehingga menjadi kue. Ini adalah simbol bahwa kita harus bisa menyatukan berbagai elemen dari diri kita untuk tujuan yang satu, yaitu hal yang baik. Proses ini tidak mudah, harus digiling, ditumbuk, diayak diadon dan seterusnya sehingga menjadi pulen dan siap untuk dibentuk dan menjadi sesuatu yang berguna.

Penampahan

Demikian juga halnya penampahan, berasal dari kata Tampah yang artinya memotong/menggorok/membunuh. Ini merupakan simbol pembunuhan terhadap segala bentuk sifat-sifat buruk yang terdapat dalam diri kita. Sad ripu, sad atatayi, sapta timiria dan sebagainya. Semua itu dibunuh agar tidak menguasai diri kita dan menjerumuskan kita dalam jurang neraka kita. Orang Bali sendiri, menyimbolkan dengan memotong hewan seperti Babi yang merupakan penggambaran sifat malas dan kotor, kemudian ayam yang merupakan lambang sifat rajas, agresif dan suka bersifat kasar.

Galungan

Ini adalah puncak dari perayaan Galungan, setelah kita mampu melewati rentetan di awal, maka kita mulai menghadap atau menyatukan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa kita telah suci lahir dan bhatin.

Pemaridan atau Umanis Galungan

Dilanjutkan dengan Umanis Galungan, kita disimbolkan telah memperoleh anugerah dan kita sebarkan anugerah itu untuk khalayak ramai yang hidup berdampingan dengan kita, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Dan ini biasanya digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan anjangsana ke sanak family dan tetangga.

Kuningan

Sepuluh hari setelah hari raya Galungan adalah hari raya kuningan, yang dapat dimaknai untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita telah suci lahir dan bhatin agar jangan kembali terlena dan terjun ke dalam hal yang tidak baik.

Pegatwakan

Ini adalah penggambaran ita telah menyelesaikan segala bentuk prosesi untuk menjadikan kita insan yang suci dan siap untuk menhadapi kehidupan di dunia maya ini yang penuh dengan tantangan dan godaan.

Demikian sedikit uraina mengenai makna dari pelaksanaan Hari Raya Galungan yang dipersepsikan dari berbagai sumber.

Wednesday, May 23, 2018

Penampahan Galungan


Makna dan Fiosofis Hari Penampahan Galungan

Ladang Informasi - Penampahan adalah salah satu rentetan pelaksanaan hari raya Galungan yang memiliki makna yang sangat penting bagi kita. Hari Penampahan Galungan jatuh pada hari Selasa (Anggara), Wage Wuku Dungulan. Menurut Lontar “Sastra Sunarigama” pada hari penampahan ini, umat Hindu melaksanakan Penyomyaan atau menetralisir kekuatan Sang Kala Tiga supaya kembali ke sumbernya menjadi Kala Hita, dari Bhuta Hita ke Dewa Hita yaitu unsur-unsur negatif ke unsur-unsur positif melalui pelaksanaan upacara tebasan penampahan.
 
makna dan filosofis Penampahan Galungan
Krame sedang melaksanakan pemotongan babi
Kata penampahan berasal dari kata “nampah atau nampeh” kemudian menjadi “nampa” yang berarti mempersembahan. Dari kata nampa menjadi namya yang artinya sembah. Dengan demikian penampahan ini dimaksudkan adalah mengembalikan ke sumbernya atau di somya (kamus Kawi-Bali). Tetapi ada pula yang mengartikan kata “nampah” itu sembelih karena pada hari ini umat Hindu Bali banyak menyembelih babi atau symbol dari kemalasan untuk dipakai sesaji lawar dan sate untuk dipersembahkan kepada sang kala tiga amangkurat.

Pada hari penampahan inilah merupakan hari turunnya dari Sang Kala Tiga yang paling sangat keras dan sangat ganas yang berupa Sang Kala Tiga Amangkurat, yang dapat menggoda manusia apabila kita kurang mauawaspada, sehingga dapat menimbulkan pertengkaran, kesedihan dan kekacauan yang bertentangan dengan dharma.

Oleh karena itulah upacara tebasan penampahan merupakan hal yang sangat penting sehubungan rangkaian Galungan, karena memiliki tujuan untuk menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat Asuri sampad, baik untuk Bhuwana Agung maupun itu Bhuwana Alit, agar menjadi kekuatan Daiwi Sampad (sifat kedewataan), sehingga dapat menjaga keseimbangan keselarasan dan keserasian antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, sekala niskala dan secara fisik dan mental, sehingga Dharma dapat ditegakkan.

Disamping itu, filosofis Nampah dalam kata Penampahan adalah “membunuh”, apa yang kita bunuh? Yang kita bunuh itu adalah sifat-sifat negatif yang ada dalam diri kita, seperti sifat malas, suka berkelahi, iri dan dengki dan sebagainya. Hal ini yang kemudian disimbolkan dengan membunuh hewan, seperti babi dan ayam.

Waktu Pelaksanaan Hari Raya Penampahan Galungan:
Pelaksanaan upacara dilakukan biasanya pada Dauh Tiga atau sekitar Pk.12.00 siang hari, atau disebut juga dengan Dauh Sandi Kala, dan juga pada Dauh empat yaitu sekitar Pk.17.30 sore, disebut dengan Dauh Sandi Kawon.

Tempat Pelaksanaan Upacara

Pelaksanaan upacara ini dilakukandi halaman rumah (ditengah-tengah natah), yang merupakan simbul dari madyaning mandala sebagai titik episentrum dari kekuatan Sang Kala Bhucari.

Upakara-upakaranya

  1. Untuk upakara untuk di pekarangan rumah, halaman rumah dan pintu masuk/lebuh, berupa segehan agung dan nasi sasah berwarna putih 5 tanding, hitam 4 tanding dan merah 9 tanding dengan berisi lengkap dengan olahan daging babi berupa urab-uraban putih-merah, dilengkapi dengan canang genten, canang biasa, tirta/toya anyar, dupa dan tetabuhan, dan tebasan penampahan.
  2. Untuk pebersihannya dari anggota keluarga berupa : Byakala, Prayascita dan Sesayut Pemiyak kala.
  3. Penjor yang lengkap memakai sanggah, sampyan, lamak, serta gantung-gantungan, tetandingan dengan pala bungkah, pala gantung, jajan dan hiasan.

Pelaksanaan Upacara

Bhuta Yadnya, berupa segehan agung di pekarangan rumah, halaman rumah dan di lebuh, dihaturkan pada siang hari ( setelah selesai memasak olahan babi atau apapun itu), ditujukan pada Sang Bhuta Kala Amangkurat/ Sang Kala tiga, bertujuan untuk nyomya/ mengembalikan beliau ketempat asalnya semula, dengan permohonan supaya menghentikan bermacam godaannya dan memberikan keselamatan pada manusia dalam melanjutkan perjuangan hidupnya untuk menegakkan Dharma.
Bhuta Yadnya yang dilaksanakan berupa: Byakala, Prayascita, Sesayut Pemiyak Kala, dilaksanakan pada sore hari (pada sandi kawon), yang ditujukan pada Sang Kala Tiga, kemudian dilanjutkan natab pembersihan dengan lis senjata-senjata banten pareresikan itu yang dipakai bekerja mensucikan dalam rangka Galungan, dan selanjutnya kepada semua anggota keluarga, kecuali yang masih kecil (belum tanggal gigi). upacara ini bertujuan untuk memohon pembersihan dan penyucian dari unsur-unsur para bhutaNya Sang Kala Tiga. Upacara ini diakhiri dengan ngayab dan natab, yaitu menghaturkan dan memohon bersama-sama agar dilimpahkan karunia berupa keselamatan untuk semua anggota keluarga.

Dudonan

  • Magegelaran
  • Ngajum Tirta Pareresikan :Byakala, Durmanggala, Prayascitta, Pangulapan, Tepung Tawar, Lis, disesuaikan.
  • Ngelukat Banten.
  • Mlaspas dan Ngurip Banten
  • Ngadegan Banten.
  • Puja Upesaksi Yadnya : Surya, Akasa, Pertiwi, Ista Dewata /Tiga Guru, Saraswati dan Durga stawa.
  • Ngadegin Bhtara puja sonteng lan pranamya.
  • Ngaturang Pasucian Krik Keramas : Pasucian/ Hyastu, Tigasan, Puspa, Tirta dan Panyeneng.
  • Nganteb Banten Sorohan : a. Sang Kala Tiga, b. Sesayut/ Ayaban, c. Tri Bhuwana stawa, d. Pamuktian Dewa dan Bhuta. e. Peras, f. Pertiwi, g. segehan.
  • Pamuspan, Kramaning sembah.

Untuk Tata Pelaksanaan dan Dudonan, disesuaikan dengan upakara yang digunakan sama dengan Dudonan Sugihan atau yang lainnya, kemudian untuk pangastawa Ista Dewatanya dipakai Pangastawa “Tiga Guru, Samodaya dan Durga Astawa”, dan untuk Sesonteng dan Sesayutnya seperti yang dicontohkan berikut ini :

Puja Sesonteng

Om Nastuti pukulun paduka Bethara Sang Hyang Tiga Wisesa, angadeg sira ring madyapada, saksinan pangubaktin pinakengulun, angaturaken tadah saji pawitra saprekara ning tinebasan, anebas ana sarwa lara wigna, geleh pateleteh ri sariran…(nama kel)
Asung kertha wara nugraha paduka Bethara anurun ana tirtha saking akasa, menadya tirtha panglukatan pengeleburan dasa malaning manusa, matemahan sudha nirmala ya namah swaha, Om sriyam bhawantu, purnam bhawantu, sukham bhawantu ya namah.

Pengastawa Sang Kala Tiga

SA, BA, TA , A, I, NAMAH SWAHA. Om indah ta kita Sang Kala Tiga , mijil sira saking Tri Bhuwana sekala niskala, Bhuana Agung kelawan Bhuana Alit, mari sira mona, mapupul sira kinabehan, ajakan kala wadwan sira saksinan manusanira, apaweha sira tadah saji sanggraha, maka sega brumbun, maiwak olahan bawi rateng, iki tadah sajinira, sama suka sama lolia sira, wus ta kita anadah saji, ingsun aminta kawisesan ta, aja sira kari angadakaken drewala-drewali, lara roga, wighna, agawe sira walik, sehananing JOTI, matemahan jati, ngeraris ta sira amuktisari, aja lupa aja lali ring tutur Sang Hyang Dharma, sumurupa sira menadi Dewata, pasang sarga ta sira ring Bhatara Siwa, ONG, ING, NAMAH

Memercikkan tirtha bayakawonan dan prayascita ke upakara, mantra :

Ong Jala Sidhi Maha Sakti, Sarwa Sidhi Maha Tirtha
Siwa Tirtha Manggala Ya, Sarwa Papa Winasanam
Ong, Sidhir astu Ya namah Swaha.

Ngaturang ayaban, Mantra :

Om, Sang Hyang Sapta Petala, Sang Hyang Panca Korsika Gana, Sang Hyang Panca Rupa, mekadi Sang Hyang Tri Pramana amageh aken ring sthanan nira sowing-sowang ri sang Tinamben-amben, Om Dirgayusa Ya namah swaha Om, Bhuta piyak, Kala piyak, Pisaca piyak, teka piyak pada piyak 3x. Ongkara Muktyayet sarwa peras presida sudha nirmala ya namah swaha
Mantra penyomya Bhuta :
A,Ta, Sa, Ba, I Sarwa Bhuta Kala Musswah Wesat, Ah…Ang

Mantra pangramped :

Om, Jala Sidhi Maha Sakti, Sarwa Sidhi Maha Tirtha,
Siwa Tirtha Manggala ya, Sarwa karya presidantu,
Om, Sidhi rastu tad astu astu ya namah swaha.
Atau menggunakan Tri Buwana Astawa

Mengucapkan mantra Penyomya Dewa (sebagai penutup)

Ung, Ang, Mang, Sarwa Dewa Mur Acintya. Suksma ya namah swaha, Ah,…Ang

Demikian bebrapa rentetan kegiatan di saat Hari Penampahan Galungan yang mestinya umat Hindu laksanakan. Namun seiring dengan perkembangan jaman, banyak yang salah menafsirkan mengenai pelaksanaan hari Penampahan Galungan ini. Pergeseran makna tentang Nampah yang menyebabkan semakin menyimpangnya dari makna sesungguhnya.

Demikian juga dalam pemasangan simbol kemenangan atas ketiga bhuta yang muncul semasa wuku dungulan, hendaknya penjor ditancapkan pada dauh sandya kala setelah pelaksanaan upacara tersebut di atas telah usai. Sehingga dikatakan kemenangan kita sempurna dengan lambang penjor sudah berdiri tegak.

Friday, May 18, 2018

Penerapan Catur Purusa Artha

Penerapan Catur Purusartha untuk Kebahagiaan Rohani


Ladang Informasi - Catur Asrama adalah empat jenjang kehidupan manusia berdasarkan petunjuk kerohanian yang dipolakan untuk mencapai empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha. Masing-masing fase kerohanian di dalam Catur Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa Artha. Prioritas penerapan Catur Purusa Artha pada tahapan-tahapan Catur Asrama dapat dipaparkan sebagai berikut :

1. Brahmacari

Brahmacari adalah suatu tingkatan masa hidup berguru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jenjang ini merupakan tingkatan pertama yang ditempuh oleh manusia. Pada tahap ‘Brahmacari’ tujuan hidup yang diutamakan mendapatkan Dharma. Pada masa Brahmacari tujuan utama manusia adalah tercapainya dharma dan artha. Seseorang belajar untuk memahami dharma dan dapat mencari nafkah di masa depan. Dharma merupakan dasar dan bekal mengarungi kehidupan berikutnya.

2.  Ghrahasta

Pada tahap hidup ‘Ghrahasta’ yaitu berumah tangga tujuan hidup lebih diutamakan untuk mendapatkan artha dan kama. Grhastha adalah tingkat hidup kedua yaitu masa berumah tangga. Pada masa membangun rumah tangga, manusia harus sudah bekerja dan dapat hidup mandiri. Tingkatan hidup Grhastha diawali dengan upacara perkawinan. Di dalam Nitisastra disebutkan seseorang boleh memasuki Grhasta (masa berumah tangga) setelah berumur 20 tahun. Pada masa Grhastha, tujuan hidup/utama manusia adalah mendapatkan artha dan kama yang dilandasi oleh dharma. Mencari harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup (kama) yang berdasarkan kebenaran (dharma). Seorang Grhastha memiliki kewajiban-kewajiban : bekerja mencari harta berdasarkan dharma, menjadi pemimpin rumah tangga, menjadi anggota masyarakat yang baik dan melaksanakan yadnya, yang semuanya itu memerlukan dana.

3.  Wanaprasta

Pada tahap ‘Wanaprasta’, hidup lebih diutamakan mencari moksa. Hidup pada tahap ini sudah lepas dari kewajiban hidup bermasyarakat dan urusan keduniawian. Wanaprastha adalah tingkatan hidup manusia mulai menyiapkan untuk melepaskan diri dari ikatan keduniawiaan. Masa ini dimasuki setelah orang menyelesaikan kewajiban dalam keluarga dan masyarakat. Pada masa ini orang akan mulai sedikit demi sedikit melepaskan ikatan keduniawian dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai moksa. Artha dan kama hendaknya kita mulai mengurangi, berkonsentrasi dalam spiritual, mencari ketenangan batin dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hidup pada masa ini adalah persiapan mental dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi), sehingga tujuan hidup ini diprioritaskan kepada kama dan moksa.

4.  Sanyasa

Pada tahap ‘Sanyasa’, hidup lebih diutamakan mencari moksa. Hidup pada tahap ini sudah lepas dari kewajiban dan urusan keduniawian. Bhiksuka atau Sanyasin adalah tingkatan hidup kerohanian yang telah lepas sama sekali dari ikatan keduniawian (Moksa) dan hanya mengabdikan diri kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Pada masa Bhiksuka/sanyasin, tujuan hidup manusia yang utama adalah pada situasi di mana benar-benar mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan sepenuhnya mengabdikan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran agama.

moksa

Pada masa ini orang tidak merasa memiliki apa-apa dan tidak terikat sama sekali oleh materi serta selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hidup manusia yang utama pada masa Bhiksuka/sanyasin adalah tercapainya moksa (kebahagiaan yang tertinggi).

Tujuan hidup berlandaskan ajaran Catur Purusartha selain wajib dicapai secara bertahap  berdasarkan  Catur Asrama,  juga  wajib  dicapai  dengan  keahlian  yang dimiliki atau profesionalisme. Yajna Valkya mengajarkan juga ‘Guna Dharma’ yaitu kewajiban untuk melaksanakan dharma sesuai dengan sifat dan bakat yang dimiliki atau dibawa lahir. Dan ‘Warna Dharma’ yaitu kewajiban untuk mengamalkan dharma berdasarkan Warna (Varna Dharma) artinya lapangan pekerjaan masing-masing umat berlandaskan keahliannya. Warna Dharma akan melahirkan Catur Warna, yang membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok berdasakan profesi secara pararel horizontal. Warna  dalam Kitab Bhagvad Gita dijelaskan sebagai berikut.

“Cātur-varnayam mayā sṛṣþaṁ guṇa-karma-vibhāgasaá, tasya kartāram api mām viddhy akartāram avyayam”.

Terjemahannya:

“Catur varna (empat tatanan masyarakat) adalah ciptaan-Ku menurut pembagian kualitas dan kerja; tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku” .
(Bhagavad Gita. IV.13)

Berdasarkan kutipan tersebut, tidak dimuat tentang Wangsa di Bali dan Kasta di India. Sistem warna memberikan kesempatan setiap orang mengembangkan hakikat dirinya mencapai puncak kesempurnaan menuju profesionalisme yang berlandaskan moral religius. Orang akan bahagia apabila dapat bekerja sesuai dengan sifat dan bakatnya yang dibawa sejak lahir.

Sistem warna di Bali, sepertinya tidak ada karena yang ditemukan dan berkembang adalah sistem “Tri Wangsa”. Nampaknya sistem varna dalam agama Hindu di Bali dijadikan Tri Wangsa. Dari perkembangan itulah (Brahmana, Ksatria dan Waisya) menjadi tri wangsa sebagai sebuah sistem tatanan masyarakat Hindu Bali.

Sekarang umat Hindu yang ada di Indonesia, bukan saja bermukim di Bali, tetapi telah tersebar di beberapa kepulauan Nusantara. Lingkungan umat Hindu di lingkungan tertentu, lain dengan situasi lingkungan di Bali. Masyarakat Hindu sekarang sudah semakin kritis, baik karena dasar pendidikan, perkembangan zaman maupun situasi lingkungan. Kita perlu memikirkan suatu sistem lebih berdasarkan pada pengertian logis, terutama untuk menanggulangi masalah keagamaan di Bali dan di daerah-daerah lain di luar Bali.

Permasalahan  tersebut  di  atas  perlu  dicarikan  jalan  pemecahannya,  lebih- lebih mengingat masalah keagamaan yang dirasakan semakin mendesak untuk daerah-daerah di luar Bali. Melalui tulisan ini diharapkan kita bersama mampu mengatasi sedikit demi sedikit permasalahan yang ada. Sebagai realisasi dalam mengkomunikasikan pelaksanaan kegiatan keagamaan apabila kurang memungkinkan sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali tetap dipakai demi untuk menjaga kemantapan rasa, sepanjang istilah-istilah tersebut masih sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Diharapkan kepercayaan dan kesetiaan beragama yang hanya berlandaskan “gugon tuwon” akan semakin menipis, akhirnya lenyap diganti oleh rasa kesetiaan, kepercayaan dan keyakinan yang berlandaskan pengertian yang kritis. Catur Warna berarti empat sifat dan bakat kelahirannya dalam mengabdi pada masyarakat berdasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja. Catur Warna adalah empat golongan karya dalam masyarakat Hindu yang terdiri dari; Brahmana Warna, Ksatria Warna, Wesya Warna, dan Sudra Warna.

Prioritas  penerapan  Catur  Purusa Artha  pada  Catur Warna  dapat  dipaparkan sebagai berikut.
1. Brahmana Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan (karyawidhi-yoga dan karya-arcana) berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
2. Ksatria Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan alami dan mempunyai bakat kelahiran yang cinta tanah air untuk pemimpin guna mewujudkan dan mempertahankan   tujuan/kekayaan (artha), keinginan/ kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan kepemimpinannya berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
3. Wesya Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun, terampil, hemat, cermat dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahtraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan keahliannya sebagai pedagang dan petani berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.
4.  Sudra Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmani, ketaatan, dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/ kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia atas petunjuk golongan karya lainnya dengan jalan mengamalkan ketaatan dan kekuatan jasmaninya yang berlandaskan kebenaran (dharma)-nya.

Hendaknya keempat warna ini bekerjasama bantu-membantu sesuai dengan swadharmanya (watak, sifat/bakatnya masing-masing) untuk membina kesejahteraan masyarakat, negara, umat manusia. Pengabdian setiap anggota masyarakat yang berdasarkan swadharma itu sudah semestinya didasari oleh Catur Purusartha

Thursday, May 17, 2018

Kaivalya Pãda

Menggapai Kebebasan Sejati.


Ladang Informasi - Di antara ke-empat Pãda, Kaivalya Pãda inilah yang tersingkat. Disini paparan terasa padat, yang utamanya difokuskan pada pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang Yogi yang telah mencapai status itu. Disini Patanjali tak lupa menyelipkan lagi tatanan etika-moral luhur dari seorang Yogi Sempurna yang dalam ajaran Vedanta kita kenal sebagai Jivanmukta, ia yang telah terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di alam manapun di antara 34 sutra pembentuknya.
Kaiwalya Pada
Kata Kaivalya berarti emansipasi atau pembebasan. Disebut sebaliknya sebagai Moksa dalam bahasa Sanskerta. Patanjali dalam bukunya Yoga Sutra mendiskusikan konsep Kaivalya dengan cara yang sangat rumit di bab terakhir yang disebut Kaivalya Pada. Bab ini memiliki total 34 kata mutiara atau sutra yang menggambarkan fenomena Kaivalya atau emansipasi. Patanjali mengatakan bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai Kaivalya dari siklus modifikasi dari satu spesies atau genus ke spesies lain. Dia menerima konsep Jatyantara Parinama yang mengatakan bahwa manusia terus dilahirkan lagi dan lagi tergantung pada keadaan yang berubah. Kadang-kadang dia juga diubah menjadi spesies atau genus lain. Kata ‘spesies’ dimaksudkan dengan kata ‘Jati’.

Zat-zat material dipenuhi tubuh manusia pada saat kelahiran. Oleh karena itu modifikasi ke spesies lain adalah dengan mengisi bahan material. Patanjali mengatakan bahwa tujuan utama manusia adalah untuk mencapai pembebasan atau Kaivalya melalui Samadhi. Untuk mencapai Kaivalya dia harus menjalani proses penyelidikan keberadaan diri. Bagaimana proses penyelidikan eksistensi diri berakhir? Patanjali mengatakan bahwa sekali Yogi mengetahui bahwa Purusha atau Entitas Tertinggi berbeda dengan intelek maka penyelidikan terhadap keberadaan diri akan berakhir. Agar ini terjadi, dia harus menyadari Purusha. Yogi mencapai ambang Kaivalya saat penyelidikan berakhir.

Kaivalya Pada membahas sifat pikiran para pencari Realitas ketika Yogi menyadari kebenaran yang berbeda tentang Purusha. Kata pepatah 26 mengatakan 'Tada vivekanimnam kaivalyapragbharam chittam ’. Itu berarti 'Maka pikiran yang condong ke arah diskriminasi atau pembedaan memiliki beban emansipasi di depan'. Itu hanya berarti bahwa Yogi pasti akan membebani sukacita emansipasi di masa depan. Proses pencapaian pembebasan ditangani secara terperinci oleh Patanjali. Dia mengatakan bahwa sebelum terjadinya wahyu terakhir, Yogi dihadapkan dengan invasi oleh pasukan yang terdiri dari potensi kebiasaan yang ada dalam dirinya sebelumnya. Potensi kebiasaan ini sedang sekarat dan lenyap sejauh Yogi khawatir. Mereka terus hidup tanpa halangan pada manusia biasa. Di sisi lain mereka menemui akhir yang alamiah pada orang-orang wahyu intelektual.

The Yogi mahir dalam menghindari potensi kebiasaan. Karena itu dia tidak dihadapkan oleh tantangan penderitaan atau kesakitan. Jalannya ke Kaivalya kehilangan halangan. Dia mencapai dan mencapai pembebasan dengan mudah. Keutamaan dan dosa tidak menyentuh seorang Yogi dan dia mencapai situasi di mana semua tindakan dan rasa sakitnya tidak ada lagi. Patanjali mengatakan dalam aforisme 30 'Tatah Klesakarmanivritthih'. Itu berarti 'Kemudian berhentinya semua kesengsaraan dan tindakan'. Apa yang terjadi pada Yogi saat berhentinya penderitaan dan tindakan? Patanjali mengatakan bahwa pengetahuannya menjadi tak terbatas dan tak terbatas. Dia mencapai situasi di mana yang bisa diketahui menjadi sedikit. Singkatnya dapat dikatakan bahwa ia mencapai suatu situasi di mana ia datang untuk mengetahui segalanya berdasarkan kualitas kemurnian pikiran. Pengetahuannya juga terungkap oleh kotoran. Dia menggunakan kata 'Avarana' yang berarti 'amplop'. Pengetahuan yang dia dapatkan akhirnya kehilangan perlindungan. Dia dianugerahi dengan kualitas ketidakterikatan dan karenanya tiga gunas, yaitu, sattva, rajas dan tamas mulai menunjukkan tidak ada efek padanya. Itu hanya berarti bahwa penggantian berbagai energi di dalam dirinya yang terlahir dari ketiga gunas akan dihentikan. Ketika suksesi perubahan energi dihentikan, Yogi akan bergabung ke dalam keadaan Bliss.

Akhirnya Yogi mencapai Siddhis dari berbagai macam. Patanjali berbicara tentang Siddhis atau prestasi seorang Yogi ketika ia mencapai keadaan penyerapan spiritual yang memberinya status emansipasi. Dia mendapatkan pencapaian yang lahir dari kelahiran, ramuan, doa, penebusan dosa dan penyerapan spiritual. Yogi mendapatkan pencapaian yang lahir dari lahirnya burung terbang di langit. Dia mendapatkan Siddhi melalui pengabdiannya pada ramuan khusus. The Siddhi of Anima atau atomy dapat dicapai melalui mantra atau doa untuk dewa-dewa seperti Durga. Dengan beralih ke penebusan dosa atau Tapas, Yogi mendapatkan Siddhi sebagai Sage Vishvamitra melakukan mukjizat. Patanjali mengatakan bahwa seorang Yogi dapat dianugerahkan dengan delapan jenis Siddhi yang berbeda ketika ia berada di ambang Kaivalya.

Delapan jenis Siddhi adalah Anima atau menjadi sekecil atom, Laghima atau mengasumsikan Penerang, Praptih atau mencapai apa pun yang dia inginkan, Prakamyam atau berpikir tentang yang tak terpikirkan, Mahima atau mengasumsikan berat terbesar, Ishitvam atau kekuatan tertinggi, Vasitvam atau kekuatan untuk menarik siapa pun dan Kamavasayita atau menundukkan segala macam keinginan. Seorang Yogi dapat dengan mudah menekan segala macam keinginan, seperti yang timbul dari kekayaan, wanita dan properti. Sistem Yoga tidak berbicara tentang Brahman Agung yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Advaitins atau pengikut Sankara. Di sisi lain sistem Yoga berbicara tentang Purusha yang dapat disamakan dengan Brahman dari Advaitins yang kemudian. Menurut sistem filsafat Yoga, Purusha adalah entitas tertinggi dan tertinggi. Purusha harus diwujudkan untuk Yogi untuk mencapai kondisi pembebasan atau Kaivalya.

Sistem Yoga tidak menggunakan kata ‘Moksa’ melainkan menggunakan kata Kaivalya. Secara umum dikatakan bahwa sistem filosofis Sankhya menginspirasi sistem Yoga dan Advaita untuk sebagian besar. Swami Vivekananda, biksu India yang hebat, pernah berkata bahwa India benar-benar berhutang banyak pada Sage Kapila, pendiri sistem filsafat Sankhya. Tetapi baginya bahkan sistem Advaita tidak akan ada di sana. Sistem Sankhya benar-benar membuka jalan bagi sistem Yoga dan Vedanta filsafat. Patanjali tentu saja asli untuk sebagian besar.