Mensosialisasikan Bhisama Pasek Bagi Generasi Muda
Ladang Informasi - Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan
sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali.
Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun
Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar
ritual keagamaan di Bali.
Logo MGPSSR |
Leluhur itu dikenal dengan
sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah
putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu
Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak
ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha.
Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu
Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra
Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat
yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang
Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur
Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan
dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan
yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak
sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari
Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali
saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau
adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku
Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi,
disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi.
Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur
Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923
atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. Parhyangan beliau kini dikenal dengan
Pura Dasar Bhuwana Gelgel.
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama
(1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan
Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu
Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis
dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya,
kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita
memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang
penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan
dikenang seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua
parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh
semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang
lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan
kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan
ini:
"Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Gelgel Dalem Dasar, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan."
Jadi, kalau kita lupa
kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak
tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan,
bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak
bagus. Bagaimana kita menghayati atau
membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita
tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau
“dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi
bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan
bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah.
Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas
pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu
dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur,
selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam
sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun
leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa
kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan
kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun
bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke
pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan,
“mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya:
sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik
gunung segala?
Tetapi jika kita sebutkan,
mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi.
Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana
kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di
Lempuyang Madya. Jangan melupakan
kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh
tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga—
sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib
melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak
orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang
dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti
dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun,
bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana
bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah
sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman
bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak
punya teman? Inilah cara-cara kita
membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak
semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang
paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang
maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek
mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati,
treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang
Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita
parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang
Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring
kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan,
“Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab
kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang
masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi
disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal
leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur
saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek
ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang
Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan
dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern,
Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga
Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang
angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken
asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi
linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo
pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut
ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita
aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita
sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang
yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati,
cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya.
Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah
Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma
mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak
tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu
sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah
memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh
curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk
pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang
sudah diwariskan seribu tahun ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.
(Disadur dari Seminar
1000 Tahun Mpu Gni Jaya ke Bali, 1 Oktober 2009 di Amlapura)
No comments:
Post a Comment