Tari Pendet
Seperti dikutip dari ISI Denpasar, lahirnya tari Pendet adalah sebuah ritual
sakral odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet
berlangsung setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan seusai
pementasan topeng sidakarya—teater sakral yang secara filosofis
melegitimasi upacara keagamaan. Hampir setiap pura besar hingga kecil di Bali
disertai dengan aktivitas mamendet. Pada beberapa pura besar seperti Pura
Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung itu biasanya secara khusus
menampilkan ritus mamendet dengan tari Baris Pendet. Tari ini dibawakan secara
berpasangan atau secara masal oleh kaum pria dengan membawakan perlengkapan
sesajen dan bunga.
Tari Pendet bercerita tentang turunnya dewi-dewi kahyangan ke bumi.
Biasanya menurut gentra.lk.ipb.ac.id, Tari Pendet dibawakan secara
berkelompok atau berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang.
Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah
suci (pelinggih).
Para penari Pendet berdandan layaknya para penari
upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara,
masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku
(wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.
Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda
hanya mengikuti gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang
mengerti tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan
pelatihan intensif.
Sejarah Perkembangan.
Tari Pendet termasuk
dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang dipentaskan khusus
untuk keperluan upacara keagamaan. Tarian ini diciptakan oleh seniman tari Bali,
I Nyoman Kaler,pada tahun 1970-an
yang bercerita tentang
turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi. Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis
tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain yang biasanya memerlukan
para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet, baik yang
sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita
dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti
gerakan penari perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti
tanggung jawab dalam memberikan contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan
intensif.
Pada awalnya tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak
diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke
alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian upacara.
Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari
Pendet menjadi tari “Ucapan Selamat Datang”, dilakukan sambil menaburkan bunga
di hadapan para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian
bukan berarti tari Pendet jadi hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap
mengandung anasir sakral-religius dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan
yang kental.Dan tari pendet disepakati lahir pada tahun 1950.
Tari Pendet Sakral
Biasanya Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau
berpasangan oleh para putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan
setelah tari Rejang di halaman Pura dan biasanya menghadap ke arah suci
(pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para penari
upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara,
masing-masing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku
(wadah air suci), kendi, cawan, dan yang lainnya.
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia,
menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.
Tarian ini merupakan tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja
putri, masing-masing membawa mangkuk perak (bokor) yang penuh berisi bunga. Pada akhir tarian para penari menaburkan
bunga ke arah penonton sebagai ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk
menyambut tamu-tamu atau memulai suatu pertunjukkan (1999: 47).
Pencipta atau koreografer bentuk modern
tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal
luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan
seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya
ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan
keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.
Menurut anak bungsunya, I Ketut Sutapa, I
Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet penyambutan
yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan
Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah
berpikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.
Tari Pendet Penyambutan
Di samping belum ada lembaga hak cipta,
tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan karena mengandung nilai spiritual
yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu.
Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI)
Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya
nasional dari tangan jahil negara lain.
Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan
sejarah seharusnya lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI
(Hak Atas Kekayaan Intelektual), karena HAKI adalah produk budaya barat yang
baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak mengamankan produk-produk budaya
sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih berorientasi
kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat.
HAKI tidak akan sepenuhnya dapat memenuhi
rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI diarahkan untuk
kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih
berorientasi kepentingan sosial.
Kesalahan Pemerintah
Menurut dari sejarah, tari pendet telah
lama mengakar dalam budaya Bali.Wayan Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia
(ISI) Denpasar, mengatakan, tari pendet merupakan salah satu tarian yang paling
tua di antara tari-tarian sejenis yang ada di Pulau Dewata.
Penggagas tarian tersebut, lanjut Dibia,
adalah dua seniman kelahiran Desa Sumertha Denpasar, yakni I Wayan Rindi dan Ni
Ketut Reneng. ”Kedua seniman ini menciptakan tari pendet penyambutan dengan
empat orang penari, untuk disajikan sebagai bagian dari pertunjukan turistik di
sejumlah hotel yang ada di Denpasar, Bali,” tambahnya.
Ia mengatakan, sejak diciptakan tarian itu
selalu dijadikan acara pembuka bagi sajian tari Bali lainnya.
Pada
1961, I Wayan Beratha mengolah kembali tari pendet tersebut dengan pola seperti
sekarang, termasuk menambahkan jumlah penarinya menjadi lima orang. Berselang
setahun kemudian, I Wayan Beratha dan kawan-kawan menciptakan tari pendet
massal dengan jumlah penari tidak kurang dari 800 orang, untuk ditampilkan
dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta.
Kasus klaim Malaysia atas budaya Nusantara
ini memang bukan yang pertama. Dan, boleh jadi pula tidak akan menjadi yang
terakhir. Bagi budayawan, Radhar Panca Dahana, klaim budaya Indonesia oleh
Malaysia untuk kesekian kalinya merupakan kesalahan Pemerintah Indonesia
sendiri. ”Ya tidak apa-apalah, kita juga suka mengambil budaya lain untuk
promosi,” katanya kepada Republika.
Bagi Radhar, kecolongan budaya tersebut
sebenarnya sebuah cermin bahwa kita terluka dan malu karena sadar sebagai
pemiliknya, tidak memerhatikan. ”Selama ini kebudayaan dipinggirkan, pemerintah
dan masyarakat tak lagi peduli,” ujarnya.
Agar kejadian serupa tak
terulang lagi, Radhar meminta pemerintah agar lebih memerhatikan kebudayaan.
”Kita majukan budaya kita, supaya kita ada di depan. Munculkan budaya kita
dalam upacara-upacara, acara-acara. Jangan lagu-lagu masa kini yang dinyanyikan
oleh Presiden kita,” katanya menandaskan.
No comments:
Post a Comment