Pengertian Purāna
Kata Purāna
berarti tua atau kuno. Kata ini
dimaksudkan sebagai nama jenis buku yang berisikan cerita dan keterangan mengenai
tradisi-tradisi yang berlaku pada zaman dahulu kala. Berdasarkan bentuk dan
sifat isinya, Purāna
adalah sebuah Itihāsa karena di dalamnya memuat
catatan-catatan tentang berbagai kejadian yang bersifat sejarah. Tetapi melihat
kedudukanya, Purāna
adalah merupakan jenis kitab Upaveda yang berdiri sendiri, sejajar pula
dengan Itihāsa. Ini tampak ketika membaca keterangan
yang menjelaskan bahwa untuk mengetahui isi Veda dengan baik, kita harus pula
mengenal Itihāsa, Purāna, dan
Ākhyāna. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Purāna adalah kitab yang memuat berbagai macam
tradisi atau kebiasaan dan keterangan-keterangan lainnya, baik itu tradisi,
tradisi lokal, tradisi keluarga, dan lainnya. Oleh karena di dalamnya banyak
memuat penjelasan mengenai kebiasaan para Rsi atau Nabi, alam pikiran atau
ajaran serta kebiasaan yang dijalankan, maka Purāna adalah
semacam kitab sunnahnya dalam agama Hindu atau sebagai dasar untuk memahami Śila dan Ācāra.
Sebagai kitab yang memiliki sifat Itihāsa, Purāna memuat
banyak cerita mengenai silsilah raja-raja, sejarah perkembangan kerajaan Hindu
dan berbagai dinastis pada masa itu. Hanya diharapkan untuk lebih selektif dalam
penggunaanya dalam penelitian sejarah karena kurang akuratnya data yang
diberikan. Data hanya bersifat deskriptif dan bukan didasarkan pada tahun
kejadian dengan menyebutkan peristiwa kejadian, secara pasti. Karena itu untuk
penelitian sejarah sebagai data positif kurang dapat diterima. Ini tidak
berarti harus kita abaikan sama sekali. Tidak. Di dalamnya banyak data-data yang
kadang kala sangat membantu kita dalam mempelajari dan merekonstruksi latar belakang
serta proses pertumbuhan sejarah Hindu secara tepat pula.
Pokok-pokok isi Purāna
Pada garis besarnya, hampir semua Purāna memuat ceritera-ceritera yang secara tradisional
dapat kita kelompokan ke dalam lima hal, yaitu:
- Tentang Kosmogoni atau mengenai penciptaan alam semesta.
- Tentang hari kiamat atau Pralaya.
- Tentang Silsilah raja-raja atau dinasti raja-raja Hindu yang terkenal.
- Tentang masa Manu atau Manwantara.
- Tentang sejerah perkembangan dinasti Surya atau Suryawangsa dan Chandrawangsa.
Kelima hal itu dirumuskan dalam kitab Wisnu Purāna III.6.24,
mengantarkan sebagai berikut:
”Sargaśca
pratisargaśca wamśo manwantarāni ca, sarwesweteṣu kathyante
waṃśān
ucaritam ca yat”.
Dari ungkapan itu, jelas Viṣṇu Purāna mencoba memberi batasan tentang isi Purāna pada umumnya dan dapat disimpulkan sebagaimana
dikemukakan di atas. Sarga dan pratisarga yaitu masa penciptaan dan pralaya atau
masa kiamatnya dunia. Tentang wamsa yaitu tentang suku bangsa atau silsilah
raja-raja yang penting dalam pengamatan sejarah. Tentang mawantara, yaitu
jangka masa Manu, dari satu masa Manu ke masa Manu berikutnya, merupakan masa yang dikenal
dengan Manwantara atau dari satu siklis Manu
ke Siklus Manu berikutnya. Adapun bait kedua, yaitu mencakup
segala cerita yang relevan pada dinasti itu dan yang terakhir mulai dari riwayat
timbulnya Surya wangsa dan Chandra wangsa.
Di samping kitab Viṣṇu Purāna, banyak lagi kitab-kitab Purāna lainya yang isinya tidak hanya terbatas
kepada kelima hal itu saja, melainkan memberi keterangan berbagai hal termasuk
berbagai macam upacara Yajña dengan penggunaan mantranya, ilmu penyakit, pahala
melakukan Tirthayatra, berbagai macam jenis upacara keagamaan, peraturan
tentang cara memilih dan membangun tempat ibadah, peraturan tentang cara
melakukan peresmian Candi, sejarah para dewa-dewa, berbagai macam jenis batu-batuan
mulia, dan banyak lagi hal-hal yang sifatnya memberi keterangan kepada kita tentang
sifat hidup di dunia ini.
Dari berbagai keterangan ini akhirnya dapat kita simpulkan
bahwa kitab Purāna banyak sekali memberikan keterangan
yang bersifat mendidik, baik mengenai ajaran Ketuhanan (Theologi) maupun
cara-cara pengamalannya. Hanya sayangnya, sifat paedadogi yang diberikan sangat
disederhanakan dan pada umumnya satu kitab akan bersifat fanatik pada cara
penerangan dan pendiriannya, sering tanpa disadari telah menimbulkan dampak
yang memberi citra yang kurang menguntungkan seperti teori Theisme melahirkan
konsep Pantheisme hanya karena sekedar untuk memberi contoh-contoh yang kurang
mendalam.
Dengan adanya keterangan yang bersifat heterogen, secara
tidak langsung telah menimbulkan kesan adanya sifat Politheisme dan bermadzab-madzab.
Secara ilmiah, pada dasarnya kitab Purāna
bertujuan untuk memberi keterangan
secara metodelogi yang amat penting dalam memberi keterangan tentang ajaran
Ketuhanaan itu sendiri. Apabila kita tidak membaca seluruh Purāna dan tidak membatasi diri kita maka kita
akan secara tidak sadar terbawa pada satu pandangan yang keliru. Bukan demikian
maksud adanya kitab Purāna
itu. Menurut catatan yang dapat
dikumpulkan, pada mulanya kita memiliki kurang lebih 18 kitab Purāna, yaitu masing-masing namanya adalah:
1. Brahmānda Purāna.
2. Brahmawaiwarta Purāna.
3. Mārkandeya Purāna.
4. Bhawisya Purāna.
5. Wāmana Purāna.
6. Brahama Purāna atau adhi Purāna.
7. Wisnu Purāna.
8. Nārada Purāna.
9. Bhāgawata Purāna.
10. Garuda Purāna.
11. Padma Purāna.
12. Warāha Purāna.
13. Matsya Purāna.
14. Karma Purāna.
15. Lingga Purāna.
16. Siwa Purāna.
17. Skanda Purāna.
18. Agni Purāna.
Selanjutnya yang perlu kita ketahui bahwa di Bali kita
menemukan pula sejenis Purāna
yang dinamakan dengan nama kitab Purāna pula, yaitu Rāja Purāna. Kitab Purāna ini dapat kita tambahkan ke dalam
delapan belas Purāna
yang ada. Kitab Rāja Purāna berisikan banyak catatan mengenai
silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Bali dan hubunganya dengan Jawa.
Pembagian jenis Purāna
Kitab Purāna
secara menyeluruh dapat kita kelompokan
ke dalam tiga kelompok. Pengelompokan kitab Purāna ini
didasarkan pada isinya. Sebagai mana kita ketahui kitab Purāna menonjolkan sifat ke sekteanya. Untuk
tujuan penonjolan madzabmadzab itu, tiap madzab pada umumnya memperlihatkan
kekhususannya dibidang theologi dan sangat fanatik dalam mempertahankan
pendiriannya. Sebagai akibat sifat kefanatikan itu maka apabila kita perhatikan
keseluruh Purāna sebagai sumber ajaran theologi, tampak
kepada kita seakan-akan adanya polytheisme karena setidak-tidaknya akan
terlihat adanya tiga wujud sifat kekuasaan, yang umum kita kenal dengan Tri
Murti atau tiga Wujud. Ketiga wujud itu, yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Berdasarkan ketiga sifat hakikat itu yang kemudian merupakan perwujudan dari
masing-masing madzab dalam agama Hindu, akhirnya Purāna seluruhnya dikelompokan ke dalam tiga
macam kelompok, yaitu:
1. Kelompok Satvika
Kelompok Purāna
ini mengutamakañ Wisnu sebagai
Dewatanya. Kelompok kitab ini diwakili oleh enam buah buku Puranā, yaitu, Viṣṇu Purāna, Nārada Purāna, Bhāgawata Purāna,
Garuda Purāna, Padma Purāna, dan
Warāha Purāna. Sebagaimana telah dikemukakan, Dewa
Wisnu adalah salah satu bentuk sifat Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Wisnu di
dalam keenam kitab Purāna
Wisnu menempati kedudukan yang
tertinggi dan kadang kala ia juga diceritakan dalam berbagai wujud inkarnasinya
(Awataranya). Kitab Wisnu Purāna
adalah merupakan kitab Purāna yang dijadikan dasar untuk Purāna- Purāna
lainya dalam kelompok Satwika. Yang kedua adalah kitab Bhāgawatam. Kitab Purāna ini dijadikan dasar terutama bagi
kelompok gerakan Harekresna karena di dalam kitab ini diceritakan dengan
panjang lebar riwayat Sri Kresna secara lengkap.
2. Kelompok Rajasika
(Rajasa) Purāna
Dalam kelompok Rājasika ini, Dewa Brahma merupakan Dewatanya
yang paling utama. Termasuk dalam kelompok ini terdiri atas enam buah kitab Purāna juga, yaitu: Brahmānda Purāna, Brahmawaiwasta
Purāna, Mārkandeya Purāna, Bhawisya Purāna, Wamana
Purāna, dan Brahma Purāna. Dari nama-nama itulah kita dapat
menyimpulkan bahwa tokoh Dewatanya adalah Brahma. Brahma adalah salah satu dari
Tri Murti dan merupakan salah satu dari bentuk sifat Ketuhanan Y.M.E, apabila
kita kembalikan kepada Veda sebagai dasar Purāna.
Adanya nama-nama seperti Mārkandeya di dalam tradisi yang dikenal di Bali, dan
adanya kitab Brahmanda Purāna
yang sering disebut-sebut terdapat di
Bali, kesemuanya itu hanya dapat membuktikan bahwa di Bali pada zaman dahulu
pernah berkembang madzab Brahmanisme di samping madzab Waisnawa atau Bhāgawata.
Dalam berbagai jenis Purāna, terdapat keterangan bahwa kitab Brahmawaiswata
Purāna keseluruhanya terbagi atas empat buah
buku. Masing-masing dengan namanya sendiri-sendiri, seperti misalnya Brahma dan
Markandeya Purāna dan Kresnakhanda. Kitab Markandeya
isinya bersifat umum dan mirip seperti Raja Purāna.
Adapun kitab Wamana
Purāna, walaupun isinya memuat
aspek Rajasa, tetapi kalau kita perhatikan isinya justru menceritakan riwayat
Wisnu awatara yang turun menjelma sebagai Wamana (orang cebol). Adapun Kitab Brahma Purāna, kitab ini lebih terkenal
dengan nama lain, yaitu, Adi Purāna dan
diduga kitab asal mulanya ditulis oleh Vyāsa.
3. Kelompok Tamasika
(Tamasa) Purāna
Kelompok yang ketiga ini terdiri atas enam buah kitab Purāna juga, yaitu Matsya Purāna, Kūrma Purāna, Lingga Purāna, Siwa Purāna, Skanda Purāna dan Agni Purāna. Menurut isinya, kitab Purāna ini banyak memuat penjelasan Dewa Siwa dengan
segala Awataranya, di samping di sana sini terdapat pula Dewa Wisnu, seperti dalam
Kurma Purāna. Matsya Purāna membahas tentang berbagai macam
upacara/ ritual keagamaan, tentang firasat, dan banyak pula cerita mengenai
sejarah dan sisilah para Resi dan Dewa-dewa.
Di dalam kitab ini terdapat pula keterangan berbagai jenis
bangunan suci, cara membuatnya dan sedikit tentang wastu sastra. Isinya cukup
luas. Kitab Kurma Purāna terdiri atas empat samhita. Salah satu
samhita yang penting, antara lain Brahmi samhita yang menceritakan inkarnasi
Dewa Śiwa. Adapun kitab lingga Purāna
menceritakan banyak mengenai inkarnasi
Dewa Śiwa yang terdiri atas 28 macam inkarnasi. Di samping itu terdapat pula
keterangan mengenai berbagai macam ritual yang perlu diperhatikan. Adapun yang
terbesar dari kelompok Tamasa ini adalah Siwa Purāna
yang memiliki kurang lebih 12.000 stanza tetapi masih lebih kecil jika
dibandingkan dengan Bhagawata Purāna, kitab ini tercatat memiliki kurang
lebih 18.000 stanza.
Agni Purāna yang
merupakan Purāna terbesar digolongan Tamasa Purāna,
dikenal pula dengan nama Mahā Purāna.
Nama ini menunjuk akan kebesaran dan keluasan isi Agni Purāna disamping Matsya Purāna. Berdasarkan catatan yang ada, Agni Purāna dibagi atas tiga pokok, yaitu:
- Yang pertama, sesuai dengan materinya disebut Sawarahasya-kanda.
- Yang kedua merupakan Waisnawa Purāna dan sebagai pelengkap pada Waisnawa Pancarata, membahas mengenai Vedanta dan Gita.
- Yang ketiga didalamnya membahas aspek Saigwasma dan memuat beberapa pokok ajaran mengenai ritual menurut tantrayana.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Agni Purāna merupakan hasil karya Bhagawan Wasiṣṭha. Berdasarkan penjelasan dari Agni Purāna, dikemukakkan bahwa banyak cabang ilmu
yang kemudian dikembangkan dinyatakan berasal dari Agni Purāna dan pernyataan ini mungkin sifatnya dibesar-besarkan
saja. Berdasarkan kitab Agni Purāna
inilah kita mendapatkan keterangan
bahwa ilmu pengetahuan itu dibedakan atas dua macam, yaitu:
- Para widya, yaitu pengetahuan yang menyangkut masalah ketuhanan Yang Maha Esa dan dinyatakan sebagai pengetahuan tertinggi.
- Apara widya, yaitu pengetahuan yang menyangkut masalah duniawi.
Dari perumusan isi itu, jelas Agni Purāna memuat keterangan yang amat luas dan bermanfaat untuk diketahui. Yang paling penting kemanfaatan Agni Purāna adalah karena justru kitab ini memuat
keterangan yang amat bermanfaat mengenai iconografi
arca. Dengan mempelajari kitab-kitab Purāna itu diharapkan tingkat kebaktian dan keimanan
seseorang akan dapat lebih mantap dan berkembang.
Kitab Upa
Purāna
Di samping ke delapan belas Purāna pokok itu, kita banyak mencatat adanya jenis-jenis
kitab Purāna yang lebih kecil dan suplemeter
sifatnya. Kelompok itu kita kenal dengan nama Upa Purāna. Umunya jenis kitab Upa Purāna ini banyak ditulis oleh Bhagawan Wyāsa
isinya sangat singkat dan pendek. Di samping itu materi isinya yang terbatas
menyebabkan bentuknya lebih kecil. Dengan adanya beberapa penemuan tentang
awig-awig yang berlaku di Besakih baik dalam bentuk Praśasti maupun dalam
bentuk catatan-catatan di dalam ortal, kesemua itupun dapat kita kategorikan
sebagai Upa Purāna. Untuk melihat pentingnya arti Purāna dalam pelaksanaan ajaran agama itulah kita
tidak dapat mengabaikan betapapun kecilnya catatan-catatan yang ada yang
terdapat diberbagai candi atau tempat peribadatan.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Purāna banyak memberi informasi yang
bermanfaat kepada kita terutama dalam bidang pelaksanaan ajaran keagamaan atau
Ācāra. Dengan tujuan untuk melengkapi keterangan yang diperlukan untuk memahami
Veda, kitab Purāna
itu sedikit banyaknya sangat
bermanfaat. Kecuali untuk membuktikan sejarah secara materiil baru dapat kita
gunakan apabila didukung oleh penemuan archaeologi lainya.
Adapun nama-nama yang tercatat sebagai Upa Purāna, Sanat kumara, Narasimhs,
Brhannaradiya, Siswarahasiya, Durwasa, Kapila Wamana,
Bhargawa, Waruna,
Kalika, Samba, Nandi, Surya, Parasasra, Waiṣṭha, Dewi-Bhagawata, Ganesa dan Hamsa.
Inilah beberapa jenis Upa
Purāna yang penting sebagai
tambahan kepada Purāna
sebelum melengkapi tempat-tempat ibadah
seperti candi dll. Dapat dilakukan terutama yang menyangkut pembuatan arca
untuk tujuan ilmu Tantra. Agni
Purāna menyebutkan berbagai
penulis hukum Hindu, seperti Manu, Viṣṇu, Yajñawalkya, Wasiṣṭha, Harita, Atri, Yama, Angira,
Daksa, Samwarta, Satatapa, Parasasra, Apastambha, Usanasa,
Wyāsa, Katyayana, Brhaspati Gautama, Sankha dan Likhita.
No comments:
Post a Comment