Jika kita perhatikan
tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan
dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai
tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini
dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna
untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa
menjadi sumber kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang
melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata “tawur”
berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu
mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil
akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu
dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus
ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam
jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi
ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam
merayakan pergantian Tahun Saka .
Pelaksanaan Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum
Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti
ini: “….manusa
kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata. ”
Di Bali umat Hindu
melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida
Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat
menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan
dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara
Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai
Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama
itu umat melakukan persembahyangan.
Upacara Melasti ini
jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara
Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling
desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa.
Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa,
mengidungkan nama-nama Tuhan (Nama smaranam) untuk menyucikan desa yang
dilaluinya.
Dalam rangkaian
Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai
berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten
dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca
Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar
dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di
masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di
situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100
tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk
(terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman,
peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta
perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6
buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan
segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun
dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.
Setelah usai
menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi
atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut
pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajña
di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari
sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan
rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat
rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan
ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan
nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi
wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.
Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh
yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran
ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu
unsur-unsur kekuatan jahat.
Ogoh-ogoh sebetulnya
tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang
dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan
kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk
memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya
Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut.
Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan
bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta
Kala.
Karena bukan sarana
upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak
mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai
dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni
itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau
mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga
banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan
dijiwai agama Hindu.
Nah, lalu bagaimana
pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali
dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan
utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di
Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali,
tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus),
namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana telah
dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi
Catur Barata Penyepian yaitu:
Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan
upawasa (puasa).
Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
Amati lelungan (tidak bepergian).
Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Pada prinsipnya,
saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi.
Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga
kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang
khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting,
Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan
daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk
mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai
hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan
Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana
dan arcana.
Upawasa artinya
dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar
menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona
artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu
melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana,
yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat
pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus
dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh
ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa.
Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu
dilakukan dengan penuh keikhlasan. Sumber
: www.parisada.org
No comments:
Post a Comment