ASTA KOSALA dan ASTA BUMI
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang
bentuk-bentuk niyasa (simbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi,
pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan
tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta:
Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus
untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana,
Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan
adalah sebagai berikut:
Tujuan Asta Bumi
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang
Widhi Mendapat vibrasi kesucian Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
Luas Halaman
Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah:Panjang
dalam satuan depa (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/
klian/ Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15,
19.Lebar dalam ukuran depa: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15.Alternatif
total luas dalam depa: 2×1, 3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14,
19×15.b. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah:Panjang dalam
ukuran depa: 4, 5, 6, 13, 18.Lebar dalam ukuran depa: 5, 6, 13.Alternatif total
luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13Jika halaman sangat luas, misalnya untuk
membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll.
boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3
kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.Misalnya untuk halaman yang memanjang
dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3 x
(19×15), 5 x (19×15), 7 x (19×15), 9x(19×15), 11x(19×15).Untuk yang memanjang
dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah:
3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11 x (18×13).
Hulu Teben
Filsafat hulu – teben timbul karena manusia sulit membayangkan
Hyang Widhi, kemudian “menganggap” Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang
mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan gambar simbol
Acintya.Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai
teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan kehidupan
“skala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan
membangun Pura.Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai “utama
mandala”, bagian yang kurang sakral disebut sebagai “madya mandala” dan bagian
yang tidak sakral disebut sebagai “nista mandala”.Hulu – Teben memakai dua
acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai
hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari
terbit.Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi
semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat
awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang
merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.“Hulu”
artinya arah yang utama, sedangkan “teben” artinya hilir atau arah
berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan
mengenai hulu, yaitu:Arah Timur, dan Arah “Kaja”Mengenai arah Timur bisa
diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung
atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah
hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang
tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai
hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas.Misalnya jika
gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas,
jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian
seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan
memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan
arah pemujaan.
Bentuk Halaman Padmasana
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran
Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu.Jangan membuat halaman pura tidak
persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan – kiri berbeda,
sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal
ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya
pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
Pemedal Padmasana
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung
kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut :
- Ukur lebar halaman dengan tali.
- Panjang tali itu dibagi tiga.
- Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal
- Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori.
Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah
yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal.Misalnya hulu halaman
Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara,
kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya.
Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan
letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
Jarak Antara Pelinggih
Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan
yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung
tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang.Pengertian “depa” sudah
dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan
kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung tampak nyirang”
adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan
satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang.Baik depa
maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok
“penyungsung” (pemuja) Pura.Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan
kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan
luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari
tembok batas ke pelinggih-pelinggih.Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak
selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan
jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga
berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
Pelinggih yang Dibangun
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada
di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga :
- Pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki pengetahuan.
- PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah :
- PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
- BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.
Di Madya Mandala dibangun :
- BALE GONG, tempat gambelan
- BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala.BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan
niyasa yang ada dapat “turut” 3, 5, 7, 9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”.
Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong Tiga dan TaksuKemulan Rong tiga adalah
Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa. Jenis turut ini digunakan oleh
tiap keluarga di rumahnya masing-masing
Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah dan Baturan
PengayenganBaturan Pengayengan yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang
lain.
Turut 7 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan
Pengayengan, Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung
Lebah)Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah
simbolisme Hyang Widhi dalam manifestasi yang menciptakan “Rua Bineda” atau dua
hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma
dan adharma, dll.
Turut 9 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan
Pengayengan, Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah),
Pelinggih Sapta Petala dan Manjangan SaluwangPelinggih Sapta Petala adalah
pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan
mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai
Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali.
Turut 11 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan
Pengayengan, Pelinggih Limas Cari (Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah),
Pelinggih Sapta Petala, Manjangan Saluwang, Gedong Kawitan dan Gedong IbuGedong
Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan
yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak
wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep
Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/ Padmasana,
sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan
turut seperti diuraikan di atas.Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya
perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok
hulu ke teben kiri dan keteben kanan.
Upacara Ngenteg Linggih
Setelah bangunan selesai dalam bentuk Padmasana atau berbentuk
Sanggah Pamerajan dan Pura, maka dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih. Dalam
Bahasa Bali “Ngenteg” artinya mengukuhkan, dan “Linggih” artinya kedudukan. Jadi
Ngenteg Linggih dalam arti luas adalah upacara mensucikan dan mensakralkan
Niyasa tempat memuja Hyang Widhi.Yang akan diuraikan di bawah ini adalah
upacara Ngenteg Linggih menurut versi tradisi beragama Hindu di Bali
berdasarkan Lontar-lontar:
- Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya,
- Tutur
Kuturan,
- Gong
Besi, dan
- Sanghyang
Aji Swamandala.
Mungkin saja ada rangkaian upacara dalam bentuk lain menurut
versi atau tradisi setempat untuk Niyasa-Niyasa tertentu, seperti di Jawa,
Kalimantan, Sumatra, dll. boleh saja namun tujuannya tetap sama yaitu
mensucikan dan mensakralkan Niyasa.
Memangguh
Tahap awal adalah upacara Memangguh. Asal katanya: “kepangguh”
atau “kepanggih” artinya menemukan. Keyakinan tentang kekuasaan Hyang Widhi
sebagai sang pencipta bahwa seluruh jagat raya adalah milik-Nya. Sebidang tanah
yang dijadikan Pura ditemukan oleh manusia secara “Skala” (nyata) dan “Niskala”
(tidak nyata, artinya berkat penugrahan Hyang Widhi). Memangguh lebih cenderung
diartikan sebagai menemukan bidang tanah secara niskala.
Memirak
Berasal dari kata “pirak” artinya membeli. Kaitannya juga secara niskala, yang bermakna mohon ijin kepada Hyang Widhi untuk menggunakan bidang tanah dimaksud.Nyengker
Berasal dari kata “sengker” artinya batas. Jadi upacara nyengker adalah memberi batas-batas luas tanah, baik secara skala dengan cara membangun pagar keliling, maupun secara niskala dengan menaburkan tepung beras putih kesekeliling batas tanah.Mecaru
Berasal dari kata “caru” artinya korban suci untuk menuju keseimbangan dan keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan dalam arti luas adalah TRI HITA KARANA (Tri = tiga, hita = kebaikan, karana = sebab; Jadi Trihitakarana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan). Keseimbangan dan keharmonisan yang bersentral pada manusia, yaitu:- Bhakti manusia kepada Hyang Widhi dan sebaliknya kasih sayang Widhi kepada manusia, ini biasa disebut sebagai PARHYANGAN.
- Hubungan
antar manusia yang baik dengan inti kasih sayang, biasa disebut sebagai
PAWONGAN.Kecintaan manusia pada alam dengan memelihara kelestarian, biasa
disebut sebagai PALEMAHAN.
Mecaru dalam rangkaian upacara Ngenteg Linggih tujuannya adalah
mohon kepada Hyang Widhi agar di area Pura dapat terwujud Trihitakarana
Tata Cara Membangun Padmasana
- Upacara/
upakara yang sederhana (untuk Padmasari)
- Nasarin
(peletakan batu pertama.
- Ngeruwak
sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung Tahun 1987.Penggalian”. lubang
untuk dasar.
- Penyucian
lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha.
- Persembahyangan
dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi stawa. Bunga atau
kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang sebagian dasar.
- Peletakan
dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung tahun 1988.
- Melaspas.
- Upakara-
upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar Dewa
Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.
Atau bisa dengan urutan sebagai berikut:
- Memangguh
dengan guling bebek, banten pejati. Maknanya: mohon ijin menggunakan tanah
pekarangan
- Memirak:
guling bebek itu direcah-recah dibuatkan 5 tanding, lalu di haturkan di
atas tanah pekarangan pada 5 penjuru: timur, selatan, barat, utara,
tengah.
- Mecaru:
ayam brunbun, dengan urip 33
- Ngeruak,
mulang batu dasar, mlaspas (bila sudah selesai bangunannya)
- Mendak
Ida Bhatara, distanakan di sebuah daksina lingga
- Ngaturang
ayaban/ banten
- Muspa
Upacara dan upakara yang lebih lengkap (untuk Padmasana)
Saat mulai membangun
Caru pengeruak, yaitu caru ayam berumbun lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya asanca-desa, yaitu:- Di timur: 5 tanding
- Di selatan: 9 tanding
- Di barat: 7 tanding
- Di utara: 4 tanding
- Di tengah: 8 tanding.
Beralaskan sengkwi bersayap; segehan agung, kawisan, kulitnya
dan lain-lain di tempatkan di tengah. Byakala , Durmangala, dan Prayascita
masing-masing satu. Segehan agung lengkap dengan penyambleh.
Banten Pemakuhan: yang terdiri dari peras penyeneng, ajuman putih kuning
dagingnya ayam betutu, me-ukem-ukem (di sembeleh dari punggung), daksina yang
berisi uang 225, canang lengewangi-buratwangi, canang raka, nyahnyah gula
kelapa dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah sanggar di hulu
bangunan.
Banten untuk dasar bangbang:
adalah tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan,
buah-buhan, lauk-pauk dengan dagingnya ayam biying yang dipanggang, sampian
tangga. Banten ini dialasi kulit peras.
Canang Pendeman:
adalah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan, dan
pesucian, masing-masing satu tanding.
Alat penyugjug
terdiri dari sebuah tangkai dapdap yang bercabang tiga, sebuah
mangkuk kecil, cicin bermata mirah dan sebuah keris.
Sebuah bata merah bergambar bedawangnala di
mana punggungnya bertulis aksara “Ang” . Sebuah bata merah lain bergambar padma
bertulis dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya. Sebuah batu bulitan
bertulis tri aksara: ang, ung, mang.
Sebuah klungah nyuh gading bertulis ong-kara.
Kelungah dikasturi airnya dibuang lalu ke dalamnya dimasukkan sebuah kwangen
berkulit keraras, berisi uang kepeng 33 buah, bertulis ongkara-amertha.
Semua banten di atas setelah diupacarai dan disembahyangi,
dimasukkan ke dalam lobang dasar bangunan; selanjutnya batu-batu dan adonan
semen dapat dicor di atas banten-banten itu.
Setelah bangunan selesai
Upacara Pemakuhan:
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa
seni-bangunan) diwujudkan dengan mohon tirta pemakuh. Peralatan tukang
disertakan dalam upacara ini.Banten Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina,
canang lenga wangi, canang burat wangi dan ketipat kelanan. Caru ayam putih
asoroh eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap, paso anyar
berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih, susur
pekeramas, toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat, uang,
andel-andel berisi benang. Toya pemakuhan dari undagi yang membuat sikut.
Urutan upacara:
- Ngetok
sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni
mastu astu Ang Ah.
- Ngetok
lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung
aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang
umur, jeng, jeng, jeng.
- Pangurip
getih ayam putih, mantra: Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk
bebataran pinaka bungkah nda. Sendi pinaka pancer nda. Adegan
pinaka punyan nda. Abah-abah pinaka pangpang nda. Raab pinaka
ron nda. Kelasa pinaka kembang nda. Daging nda, pinaka woh nda,
urip kita jati. Paripurna urip-urip
- Penyapsap
gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha, menyapuha
ganda keringetning wewangunan sidhi rastu.
- Semeti,
mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada
urip.
- Baas
Daksina, mantra: Om Siwa sampurna yang namah.
- Tatebus,
mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah
Upacara Melaspas:
Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat
menstanakan Ista Dewata, menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala
adalah bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista
Dewata.Pelaksanaan:
- Menghaturkan
upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan.
- Nyapsap
dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna merah,
putih, hitam, memercikkan tirtha pelukatan, memercikkan tirta pasupati,
dan memukul bangunan tanda menguatkan pasak.
Sulinggih memuja banten pemelaspas.
Upacara Ngenteg Linggih.
Urutan upacara:
1. Memangguh
Kata memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau
kepanggih, yang artinya menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah
secara niskala yang kemudian digunakan untuk bangunan Padmasana.Secara skala,
bidang tanah diperoleh atau ditemukan dengan membeli, hibah, warisan, dll.
Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada Sanghyang Widhi, sebagai
pemilik dan penguasa semesta.Banten upacara memangguh pada umumnya berdasar
banten bebangkit dengan runtutannya.
2. Nyengker
Nyengker artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat
penjuru mata angin, yaitu: utara, selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai
lanjutan upacara memangguh, dengan pengertian skala dan niskala pula.Secara
skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala, sengker
adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang Widhi.
Pelaksanaan upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung beras (putih)
sekeliling pagar bidang tanah.Bantennya: prayascita, pengulapan, pengambean.
3. Memirak
Memirak dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya
membeli. Memirak juga ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih
dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas ijin dan karunia-Nya karena telah
memberikan sebidang tanah.Selain itu dengan upacara memirak, kepada Sanghyang
Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan status tanah, yang
sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan kini sudah menjadi sebuah
halaman Pura.Banten upacara memirak, dasarnya suci ageng dengan runtutannya,
dan seekor babi guling sebagai kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari
Pertiwi, dibuat sebuah daksina lingga yang setelah upacara selesai akan
dihaturkan ke Pura Subak.Setelah banten pemirak selesai dipuja oleh Sulinggih,
maka bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong, keempat kaki, dan
ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi nasi jakan.
Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi masing-masing di batas
bidang: utara, selatan, barat, dan timur.
4. Mecaru
Caru dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam
bahasa Sanskrit artinya keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka
caru artinya binatang yang dijadikan korban untuk memohon keseimbangan dan
keharmonisan.Yang dimaksud dengan keseimbangan dan keharmonisan adalah
Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik:
parhyangan, pawongan, dan palemahan.Parhyangan adalah hubungan yang seimbang
dan harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan adalah hubungan
yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan manusia. Palemahan adalah
hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan alam.Menurut ajaran
agama Hindu-Bali, tanpa ketiga keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak
akan menemukan mokshartam jagaditha. Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana
Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan saja, tetapi juga untuk memohon
keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha.Banten caru yang umumnya
digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal Rsigana berdasar Manca
sanak.
5. Mendem akah-pedagingan
Mendem artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu,
yaitu: emas, perak, tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu)
adalah simbol isi bumi, yakni logam dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang
Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-pedagingan ditanam pada dasar, dan
tengah Padmasana.
6. Memasang orti dan ulap-ulap
Orti adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti
adalah pemberitahuan bahwa bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah
rerajahan pada secarik kain putih yang bermakna mensakralkan bangunan
pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap dipasang di bawah
orti.
7. Mendem bagia-palakerti
Bagia artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma
(perbuatan). Isi bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan
umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah
belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada Sanghyang
Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara ngenteg linggih.
8. Memendak Ida Bhatara
Kata Ida Bhatara artinya “Maha Kuasa yang menyayangi dan
melindungi”. Menstanakan Ida Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan
terdahulu, berarti menstanakan Sanghyang Widhi di bangunan niyasa untuk dipuja.
Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat berbagai bentuk,
misalnya pretima, gopelan, dan ampilan.Yang umum digunakan adalah ampilan,
terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah ampilan disucikan
dan dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di ampilan itu. Prosesnya dengan
muspa ngider bhuwana mulai menghadap ke timur untuk memuja Ishwara, ke selatan
untuk memuja Brahma, ke barat untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja
Wisnu, dan ke timur sekali lagi untuk memuja Tripurusha.
9. Mekalahyas
Dengan berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa
wateking bhuta-kala atau roh-roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha
dalam usahanya untuk meningkatkan kesucian.Oleh karena itu roh-roh liar ini
selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan harapan bila ada upacara maka
mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan tirtha amertha dari puja-mantra
Pandita.Demikian pula dengan kotak ampilan yang dimohonkan sebagai stana
Sanghyang Widhi, tidak luput dari gangguan para roh liar ini. Agar hal itu
tidak terjadi maka para roh liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu
jalannya upacara dan tidak bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida
Bhatara.Lelabaan itu disebut banten kalahyas. Kalahyas terdiri dari dua kata:
kala artinya roh liar; hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas artinya banten
untuk menyenangkan roh-roh liar.
10. Melasti
Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya
kekotoran atau noda; asti artinya dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti,
artinya menghanyutkan kekotoran.Upacara melasti dilakukan di laut, karena
kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran, dan
memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa
kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang.Yang dimaksud
dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India,
di mana Weda diwahyukan oleh Sanghyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada,
Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu
adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu. Oleh
karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan
pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di dunia
menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci
yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja.Oleh
karena itu jika melasti ke laut dianggap sama dengan mendapatkan air dari
ketujuh sungai suci itu.Karena tujuan melasti seperti yang diuraikan di atas
adalah untuk menghanyutkan kekotoran dan mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan
melasti sering disebut:
"ANGANYUTAKEN LARA-ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAMUDRA"
artinya : menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah lautan.
Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan dan faedahnya tentu berbeda.
"ANGANYUTAKEN LARA-ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAMUDRA"
artinya : menghanyutkan kekotoran dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah lautan.
Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian. Tujuan dan faedahnya tentu berbeda.
11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan
Ngenteg linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara
secara niskala di Padmasana; Karya Pemungkah artinya: Memohon kesediaan Ida
Bhatara berstana di Padmasana; Pedudusan, yang berasal dari kata:
pedius-diusan, artinya pensucian.Prosesi upacara:Setelah niyasa Ida Bhatara
datang dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini
Ida Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita.Setelah itu
niyasa Ida Bhatara diturunkan dari sanggar tawang, melalui titi-mahmah lalu
diletakkan di Bale Peselang.Kemudian Ida Bhatara dihaturi sesajen kemudian di
puja-mantra oleh Pandita.Para peserta upacara, bersembahyang memuja Sanghyang
Widhi sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat dunia.Selanjutnya barulah
niyasa Ida Bhatara di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen dan
dipuja-mantra oleh Pandita.Makna upacara:Meletakkan niyasa Ida Bhatara di
sanggar tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat
wara-nugraha dari Sanghyang Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan
Wisnu.Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale peselang, bermakna kehadiran
Sanghyang Widhi di alam bwah-loka untuk menganugrahkan kebaikan, kesejahteraan
dan kebahagiaan kepada manusia.Meletakkan niyasa Ida Bhatara di Pahiasan,
bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima haturan, persembahan, dan pujaan
dari manusia yang telah mendapatkan sinar suci-Nya.
12. Pemuspaan
Pemuspaan adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja
trisandya dan dilanjutkan dengan kramaning sembah. Setelah itu tirtha
wangsuh-pada dan bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida Pandita mengisi waktu
luang itu dengan dharma-wacana.
13. Mesida-karya
Upacara mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban
Ida Bhatara. Didahului dengan menghaturkan banten banten sida-karya, lalu
sembahyang bersama, maka niyasa Ida Bhatara berupa kotak ampilan disimpan di
tempat yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari piodalan Ida
Bhatara.Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan Sanghyang
Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai, serta memohon
ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada kekeliruan-kekeliruan.Sampai di
sini selesailah semua prosesi sejak membangun Padmasana sampai mengupacarainya,
sehingga dengan demikian Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa
pemujaan Sanghyang Widhi di setiap saat.
berikut Gambar Padmasana dan Ulap-Ulapnya :
Padmasari
Padmasana
Padma Agung
Padma Angelayang
Bangunan Padma Anglayang |
No comments:
Post a Comment