PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU
Om Swastiastu,
Om Avighnam Astu Namo Siddham
Yang terhormat Dewan Juri lomba
Dharma Wacana
Yang Saya hormati umat sedharma yang
hadir pada acara ini.
Pertama-tama tidak lupa Saya
mengucapkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung
Kerta Wara Nugraha-Nya kita semua dapat berkumpul disini dalam keadaan sehat
dan tidak
kurang satu apapun. Sebelum Saya membawakan Dharma Wacana ini
ijinkan Saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Ni Made Atma
Gebi Suryani dan biasa dipanggil Gebi, Saya disini mewakili SMA Negeri 1
Seputih Mataram. Pada kesempatan kali ini, Saya akan membawakan Dharma Wacana
dengan tema “PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU”. Saya sangat tertarik
untuk mengangkat tema ini, karena pada saat ini banyak sekali terjadi
perkawinan usia dini di lingkungan tempat tinggal Saya khususnya dan Negara
Indonesia pada umumnya. Sebenarnya tema ini merupakan tema yang bersifat
kontroversial, karena masing-masing individu bisa mempersepsikan berbeda-beda.
Namun pada intinya Saya hanya ingin membagi cerita yang mungkin bisa menjadi
pencerahan untuk direnungkan secara bersama-sama dalam menyikapi pernikahan usia
dini dari perspektif agama Hindu.
Umat sedharma, kalau kita kaji
perkawinan merupakan salah satu jenjang kehidupan yang semestinya akan kita
lewati, dimana pada jenjang ini kewajiban yang harus kita laksanakan adalah
pemenuhan artha dan kama berdasarkan dharma. Untuk pemenuhan kewajiban ini, maka
seorang suami dan pasanganya harus memiliki bekal yang cukup, baik secara
material maupun spiritual. Disamping itu, mental dan ilmu pengetahuan juga
menjadi factor yang sangat penting demi tercapainya tujuan dari perkawinan. Namun
seiring dengan derasnya arus modernisasi dan kemerosotan nilai moral yang
tertanam dalam diri manusia, banyak sekali muncul penyimpangan-penyimpangan
dari pelaksanaan dan pandangan terhadap system dan peraturan mengenai
perkawinan. Tidak jarang kita temukan kasus perceraian dalam masyarakat, tindak
kekerasan dalam rumah tangga serta kasus memiliki istri lebih dari satu. Saat
ini, hal itu sangat mudah untuk dilaksanakan dan masyarakatpun menganggap hal
semacam itu dengan sikap wajar.
Umat sedharma, sebagai umat Hindu,
hendaknya permasalahan tersebut tidak terjadi, karena kita meyakini bahwa
perkawinan itu merupakan suatu ikatan lahir bhatin yang suci dan sangat sakral
sifatnya yang harus selalu dijaga keabadianya. Seperti dalam kitab Manawa
Dharmasastra IX. 101, diuraikan;
“Anyonyasyawayabhicaro
Bhaweamarnantikah
Esa
dharmah samasena
Jneyah stripumsayoh parah”
Artinya:
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai
mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
Berdasarkan
sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya
perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri, kita diwajibkan untuk melakukan
perkawinan sekali saja dalam kehidupan kita. Untuk itu, maka perlu bekal ilmu
pengetahuan yang mapan dan kedewasaan
diri untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Umat sedharma, berdasarkan konsep
catur asrama, perkawinan yang baik semestinya dilaksanakan setelah masa
brahmacari, dimana kita telah memiliki suatu bekal ilmu pengetahuan yang dapat
menghantarkan kita untuk menjadi orang yang bijaksana, sehingga bentuk dan pola
pikir kita siap dalam menghadapi segala permasalahn yang kemungkinan muncul
dalam kehidupan kita. Pernikahan di usia dini merupakan hal
yang telah ada sejak lama karena sejak dulu banyak orang tua yang menikahkan
anaknya di usia dini berharap kehidupan anaknya akan lebih terjamin dengan
orang yang mereka kenal. Namun, pada kenyataannya anak yang menikah diusia dini
banyak menemukan permasalahan yang akhirnya berujung pada perceraian. Penyebab
terjadinya perkawinan dini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengaruh ekstern, misalkan
akibat lingkungan keluarga yang kurang memperhatikan anaknya, pergaulan bebas,
hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dan hamil
diluar nikah juga merupakan alasan yang banyak dijumpai dikalangan masyarakat,
sebab dilihat dari perkembangan jaman pada era globalisasi ini telah banyak
budaya-budaya asing yang masuk dan memberi contoh yang buruk bagi perkembangan
psikologis anak yang lama-kelamaan mengkikis nilai moral dan jati diri dalam
diri anak. Dan pengaruh intern, yaitu pengetahuan agama atau sradha dalam diri
seseorang yang kurang membuat sudut pandang terhadap sesuatu hal menjadi sempit.
Umat
sedharma, agama Hindu memandang perkawinan usia dini ini bukan merupakan suatu
perkawinan yang ideal. Karena usia muda atau remaja merupakan masa yang
diharuskan untuk menuntut ilmu pengetahuan dan dharma (Brahmacari). Setelah
masa itu tercapai, maka dapat dikatakan telah siap untuk melanjutkan ke jenjang
berikutnya, yaitu grhasta (berumah tangga). Lebih jauh lagi, hal ini diuraikan
dalam kitab Niti Sastra V. sargah 1, yang berbunyi;
“Taki-taki ning sewaka
guna widya, smarawi, Saya rwang puluh ring anayusya, tengahi tuwuh san wacana
gogonta. Patilaring atmeng tanu panguroken”
Artinya
:
Seseorang
wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun
orang boleh kawin. Jika setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya
tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.
Umat
sedharma, disini sangat jelas sekali diuraikan bahwa kita semestinya memiliki
kemapanan terlebih dahulu dibidang ilmu pengetahuan sebagai dasar kearifan dan
kebijaksanaan, setelah itu kita dapat melanjutkan ke jenjang perkawinan dengan
standar minimal umur kita 20 tahun. Dalam keadaan ini, ilmu pengetahuan agama
dan sradha adalah kunci utama untuk terhindar dari permasalahan yang
mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga. Agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak kita inginkan, seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga, perceraian
dan perkawinan berulang-ulang, memiliki istri banyak, dan sebagainya.
Demikian darma wacana ini semoga
bisa menjadi pencerahan untuk bisa menjadi renungan agar kita semua
mengerti mengenai perkawinan dalam agama Hindu yang bersifat sakral dan suci
yang seharusnya kita jaga kekekalanya sampai akhir hayat kita. Jika ada
kesalahan dalam penyampaian dan kata-kata, Saya mohon maaf sebesar-besarnya dan
untuk menutup dharma wacana ini Saya haturkan Pramasantih,
Om Santih, Santih, Santih
No comments:
Post a Comment