SEJARAH PADMASANA
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana
dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu
Nirartha atau Danghyang Nirartha.
Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana)
ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa
Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih
Padmasana.
Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang
dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya
secara horizontal.Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali
sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra,
Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan
Mpu Bharadah.
Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya:
meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong, yang merupakan lambang sebagai Stana Dewa.
Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan
penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan
simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari
konsep horizontal maupun vertikal.
Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di
Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni.
Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa.
Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna
Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran
Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang
dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di
Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja
diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari.
Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong
hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada
sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.
Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang
Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat
Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan
niyasa dengan sistem Murti-Puja. Selain itu, padmasana memiliki beberapa tujuan dan stana bagi para dewa.
No comments:
Post a Comment