Pelaksanaan Upacara Kajeng Kliwon
Ladang Informasi - Agama
Hindu memiliki banyak sekali ritual-ritual yang harus dilaksanakan dengan
tujuan untuk ketentraman dan kelestarian hubungan antara Tuhan, sesama Manusia
dan alam
semesta. Dalam ajaran Agama Hindu, khususnya di Bali, ada yang dikenal dengan upacara Kajeng Kliwon. Kajeng Kliwon adalah peringatan hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma.
semesta. Dalam ajaran Agama Hindu, khususnya di Bali, ada yang dikenal dengan upacara Kajeng Kliwon. Kajeng Kliwon adalah peringatan hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma.
Upacara
Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yaitu pada saat pertemuan
Triwara Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon termasuk dalam upacara
Dewa Yadnya, Dewa Yadnya sendiri mempunyai arti upacara korban suci/persembahan
yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi- Nya.
Umat
Hindu di Bali mempercayai Kajeng Kliwon merupakan hari suci dan keramat yang
harus diupacarai. Setiap 210 hari ada hari Kajeng Kliwon khusus yang disebut
Pemelastali atau Watugunung runtuh.
Kajeng
Kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa yang diyakini pada
hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Pada hari Kajeng Kliwon umat Hindu di
Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi,
sedangkan di tanah, sesajen dan persembahan dihaturkan kepada Sang Bhuta
Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Durgha Bucari.
Sesajen
yang dipersembahkan hampir sama dengan upacara kliwon yang dilakukan pada hari
Kliwon biasa, hanya saja sesajen pada Kajeng Kliwon ini ditambah dengan nasi
kepel lima warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning dan coklat, beberapa bawang
putih dan tuak/arak berem. pada bagian atas, di ambang pintu gerbang harus
dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. Dengan sesajen yang
dipersembahkan ini diharapkan rumah tangga dan anggota keluarga
mendapatkan keselamatan selain itu juga sebagai ungkapan rasa terima kasih atas
apa yang telah diberikan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dalam mitologi
tersebut juga dijelaskan maksud dan tujuan menghaturkan segehan manca warna ini
yang merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita
kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang
telah mengembalikan (Somya) Sang
Tiga Bhucari.
Berarti dengan segehan tersebut, kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari
alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan Skalanya
kita selalu berbuat Tri Kaya Parisudha,
dan Niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia ini
menjadi seimbang. Sebagaimana dijelaskan pula bahwa, saat malam
kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep leak yang pada
umumnya sebagaimana disebutkan, pada malam kajeng kliwon ini para shakta aji
pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga dan
Bhairawi. Hal ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau
di Kuburan.
Sehingga pada saat kajeng
kliwon, dalam babad bali disebutkan agar dapat melaksanakan
upacara yadnya yang
hampir sama dengan upacara Keliwon
biasanya, hanya saja segehan-segehannya
bertambah dengan nasi-nasi kepel lima warna, yaitu:
merah, putih, hitam, kuning, brumbun. Tetabuhannya adalah tuak / arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan, canang
burat wangi dan canang
yasa.
Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi.
Di bawah / di tanah dihaturkan segehan, dipersembahkan kepada Sang Tiga Bhucari
: Sang Butha Bucari, Sang Kala
Bucari, dan Sang Durgha Bucari.
Umat
Hindu Bali tetap taat menjalankan adat dan Tradisi agar keseimbanagn alam terus
lestari. Ini merupakan aplikasi dari ajaran Tri Hita Karana dalam Hindu, yaitu
tiga cara untuk menyeimbangkan alam semesta agar selalu damai.
No comments:
Post a Comment