viral

loading...

Monday, December 8, 2014

Kisah Kelahiran Bhatara Kala

Kelahiran Bhatara Kala

Kala
Ladang Informasi - Dalam ajaran agama Hindu, Kālá (Devanagari: कल) adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan melanglang buwana dengan Dewi Uma mengendarai wahana lembu Andini sautau ketika tibalah di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika panorama alam ciptaan-Nya membangkitkan hasrat Dewa Siwa, terlebih ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan / sanggamam, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu dan benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Benih yang melambangkan asmara kosmis Dewa Siwa kepada Dewi Uma itu kini menjelma menjadi sosok bayi raksasa yang kian hari kian bertambah besar pertumbuhannya. Jelas sudah bahwa bayi raksasa itu tidak berasal dari persemayaman rahim dewi Uma, tetapi samudralah yang menjadi persemayaman rahimnya. Ia hidup dan dibesarkan dari perburuan yang ditangkapnya dari kehidupan satwa laut. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.

Syahdan di kahyangan Mutiara kekuatan yang terletak di dasar Samudra, Sanghyang Baruna yang telah mendapat laporan dari para rakyatnya yang berasal dari bangsa satwa laut, bahwa di perairan samudra telah terjadi perusakan yang dilakukan oleh sesosok bayi raksasa yang setiap hari selalu memangsa satwa-satwa laut hingga tubuhnya menjadi bertambah besar. Mendengar pengaduan rakyatnya, Sanghyang Baruna merasa khawatir kalau-kalau nanti lama kelamaan rakyatnya akan habis dijadikan santapan si raksasa, maka ia pun segera menghadang si raksasa yang sedang memburu ikan-ikan di dasar lautan. Perang tanding terjadi antara Hyang Baruna dengan raksasa muda yang bertubuh tinggi besar. Hyang Baruna mengeluarkan segala macam kesaktian dan pusaka-pusakanya untuk dapat menaklukan si raksasa, namun kesaktian dan pusaka Hyang Baruna tidak mampu membinasakan si raksasa. Tubuhnya sangat kekar dan kuat, kebal walau dihujani senjata-senjata pusaka. Merasa tidak sanggup membinasakannya, Hyang Baruna pun segera melesat ke permukaan laut dan terus terbang menuju kahyangan Suralaya menghadap Sanghyang Jagatnata (Dewa Siwa) untuk mengamankan kehidupan rakyatnya di dasar laut. Dihadapan Sanghyang Jagatnata, Hyang Baruna menceritakan kejadian yang dialami rakyatnya di dasar laut. Ia meminta bantuan Hyang Jagatnata untuk menangkap dan membinasakan raksasa tersebut.

Sanghyang Jagatnata (Dewa Siwa) memerintahkan Batara Narada untuk mengerahkan pasukan kadewatan (pasukan langit) Suralaya dalam membantu Hyang Baruna dengan tujuan membinasakan raksasa yang telah dianggap membuat kekacauan di dasar samudra. Batara Narada segera memanggil Batara Brahma, Indra dan Bayu untuk memimpin pasukan kadewatan. Mereka lalu melesat menuju samudra, namun sebelum mereka terjun ke dasar samudra, mereka dikejutkan oleh sosok tinggi besar yang sedang memburu manusia di daratan, yang setelah tertangkap lalu dimakannya hidup-hidup. Ternyata sosok tinggi besar yang tidak lain adalah raksasa ganas yang baru saja bertempur dengan Hyang Baruna, sebenarnya telah melakukan pengejaran terhadap raja satwa laut itu, sehingga ia kini berada di daratan dan mulai memangsa mahluk-mahluk hidup yang ada di daratan. Melihat kejadian tersebut, Batara Narada yang setelah diberi tahu oleh Hyang Baruna, bahwa sosok tinggi besar itulah yang telah membuat kerusakan di alam bawah laut, maka Hyang Narada memerintahkan pasukan para dewa untuk segera mengepung, menangkap dan membunuhnya.

Dari atas angkasa pasukan dewata secara serentak menggempur si raksasa. Hujan pukulan, tusukan dan sabetan senjata-senjata para dewa menghunjam secara bertubi-tubi. Akan tetapi sungguh dahsyat raksasa itu, jangankan hancur lumat, sedikit pun tubuhnya tidak cidera oleh pusaka dan berbagai macam pukulan sakti para dewa. Sebaliknya, si raksasa balas menyerang dan mengamuk membuat pasukan bala tentara kadewatan porak poranda. Banyak pasukan dewa yang jatuh terpelanting dan terpental jauh oleh terjangan serangan si raksasa. Pertempuran itu ibarat seperti manusia dengan capung-capung yang mengelilinginya.

Diantara awan yang berarak, Batara Indra segera membidikan pusaka Chandrasa ke arah si raksasa. Panah melesat disertai suara bagaikan halilintar menggelegar menghantam tepat pada sasarannya. Reksa Denawa itu jatuh terpelanting oleh pusaka Indra, namun dengan tertatih-tatih ia kembali mencoba berdiri, dan sebelum ia bisa berdiri dengan tegak, Batara Bayu sudah menerjangnya dari angkasa. Si raksasa pun kembali jatuh terbanting diantara bebatuan cadas menimbulkan suara bergemuruh seperti longsornya sebuah bukit. Batara Bayu dengan cepat menerjang dan memukulkan Pancanakanya yang berkilat. Kuku sakti Bayu yang menurut cerita dapat merobohkan gunung sekalipun itu menghunjam tubuh si raksasa secara bertubi-tubi, namun memang sangat luar biasa tubuh raksasa itu sangat kebal sehingga Pancanaka Batara Bayu seperti tidak memiliki tuah. Raksasa itu sangat marah, ia pun bangkit dan melakukan perlawanan kepada Batara Bayu. Mereka saling tangkap, saling dorong dan saling banting. Tubuh keduanya tidak seimbang, si raksasa tubuhnya jauh lebih besar dari Batara Bayu. Walau Batara Bayu memiliki kekuatan Bayubajra, tapi si raksasa dengan kuat dapat menandinginya. Ia pun dapat melemparkan Batara Bayu hingga jatuh terpental. Batara Bayu segera mengeluarkan daya kesaktiannya, seketika angin topan prahara keluar dari tubuh Batara Bayu dan menghantam musuhnya. Si raksasa tidak kalah hebat, pukulan angin topan Batara Bayu ditabraknya hingga angin itu kembali berbalik menghantam tuannya sendiri. Batara Bayu terpental jauh terhantam pukulannya sendiri. Batara Brahma tidak tinggal diam, ia bertiwikrama hingga tubuhnya mengeluarkan api dahsyat yang kian bertambah besar kobarannya. Api itu lalu dipukulkannya ke arah si raksasa. Tidak kalah hebat si raksasa pun mengeluarkan api dari mulutnya sehingga dua pukulan sakti yang berupa api beradu di udara. Dua kekuatan dahsyat yang saling bertabrakan itu menggelegar, panasnya menghampar di permukaan bumi. Batara Brahma sendiri sempat tersurut mundur menghindari panasnya.

Dalam keadaan masih diliputi amarah, Batara Brahma hendak mengeluarkan lagi kesaktiannya, namun ketika itu Batara Narada segera mencegahnya. Narada meminta Brahma, Indra, Bayu dan seluruh pasukan kadewatan agar ditarik mundur kembali ke Suralaya. Sebab menurut Batara Narada percuma menghadapi raksasa itu, ia sangat tangguh, tidak cidera oleh pusaka dan kesaktian para dewa. Maka, seluruh pasukan kadewatan segera melesat terbang kembali menuju Suralaya / kahyangan. Si raksasa yang sudah terlanjur murka tidak membiarkan musuhnya melarikan diri, ia terus mengejar pasukan para dewa yang menuju kahyangan Suralaya.

Sesampainya di Suralaya, Batara Narada menceritakan semua kejadian yang dialaminya beserta dengan para dewa saat menghadapi kesaktian raksasa yang telah dianggap menjadi perusak marcapada itu kepada Sanghyang Jagatnata (Dewa Siwa / Bhatara Guru). Tiba-tiba kahyangan Suralaya digegerkan oleh kedatangan sesosok raksasa yang tinggi besar. Raksasa yang tidak lain adalah raksasa ganas yang baru saja dihadapi oleh pasukan para dewa itu kini telah menapakan kaki di kahyangan Suralaya. Raksasa tersebut selain mengejar pasukan para dewa, sekaligus ia juga ingin mencari dan menemui Dewa Siwa yang diketahuinya adalah ayahnya. Sanghyang Jagatnata (Dewa Siwa) yang sudah memahami siapa sebenarnya mahluk raksasa tersebut segera keluar dari istana Jonggring Salaka untuk menghadapinya. Dihadapan Sanghyang Jagatnata, raksasa itu hendak mengamuk dan melancarkan serangan dahsyat, tapi Sanghyang Jagatnata telah lebih dulu melambarinya dengan aji Kemayan. Raksasa itu tidak kuat menahan kesaktian Sanghyang Jagatnata, tubuhnya limbung dan jatuh. Ia menggeram dan meraung memohon ampun. Tubuhnya si raksasa lemah lunglai tidak berdaya. Dihadapan para dewa, Sanghyang Jagatnata segera menghunus pusaka Kalaminta. Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya (layak di kalangan Dewa), terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Dewa Siwa lalu memotong dua taring si raksasa yang menjadi keganasannya. Taring dalam genggaman Sanghyang Jagatnata berubah menjadi pusaka yang diberi nama Kalanadah. Lalu Hyang Jagatnata memulihkan kembali kekuatan si raksasa dan diakuinya sebagai putranya dan di beri nama batara Kala. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. Saat itu juga Batara Kala diberi pakaian kadewatan dan diperkenankan tinggal di kahyangan Suralaya bersama dewa-dewa lainnya. Dan Sanghyang Jagatnata menyuruh Batara Kala untuk dapat membiasakan diri memakan makanan yang layak seperti makanan para dewa lainnya. Untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.

Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.

Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".

Ajaran Moral di Balik Kisah Sang Hyang Kala

Kisah Sang Hyang Kala menyelinap pada pertunjukan wayang sembari menyantap banten di situ, tampaknya menjadi bagian yang menarik disimak. Sang dalang -- Mpu Leger, sempat menggugat Sang Hyang Kala yang tanpa pemberitahuan langsung menyantap upakara atau banten di satu. "Saya belum selesai mementaskan wayang, di mana harus saya mencari bebanten sekarang?" gugat Mpu Leger. Sang Hyang Kala menjawab, "Sebab kamu telah menyembunyikan Panca Kumara, makanya saya makan seluruh banten-mu!"
Di situ, Mpu leger menjelaskan tentang moral. "Musuhmu Sang Hyang Panca Kumara memang minta pertolongan kepadaku agar dilindungi dirinya. Namun, kamu memakan banten tersebut tanpa meminta terlebih dahulu, berarti kamu yang salah," ujar Mpu Leger.

Kisah lahirnya Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Panca Kumara adalah simbolis moral yang baik dan buruk yang masih ada dalam pikiran. Dari situ dapat dipetik manfaatnya sebagai panutan dalam usaha manusia agar terhindar dari malapetaka. Hal ini untuk mencapai tujuan beragama dengan syarat sebagai berikut :

  1. Swargaloka Stana Dewa Siwa, tempat kelahiran Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Panca Kumara adalah simbolis perilaku manusia masih berada dalam pikiran.
  2. Turunnya Sanghyang Panca Kumara ke dunia dan dikejar oleh Sang Hyang Kala sebagai tadahan atau mangsa adalah simbolis kehidupan manusia telah mulai menggunakan wariga, yaitu peristiwa alam yang baik dan buruk, yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
  3. Prabhu Mayasura di Kerajaan Kerta Negara memberi perlindungan kepada Sang Hyang Panca Kumara adalah simbolis seorang pemimpin yang melindungi rakyatnya yang memiliki pikiran dan perilaku yang positif untuk keamanan diri, yang memiliki ide atau pikiran yang baik.
  4. Wrespati Kliwon wuku Wayang disebut kalapaksa lahirnya Sang Hyang Kala dan Sanicara Kliwon wuku Wayang sebagai lahir dan terselmatkannya Sang Hyang Panca Kumara -- sehingga pada malam hari itu juga dapat masuk sorga -- adalah simbolis kumpulan energi alam yang berpengaruh buruk terhadap pikiran manusia. Maka, manusia diharapkan berhati-hati pada setiap langkah yang akan dilaksanakan agar terhindar dari pengaruh energi negatif, dan mampu menyerap energi positif.
  5. Sang Hyang Panca Kumara menangis di perempatan jalan, memuja Dewa Siwa, tepat pada sandhyawela (antara pagi dan siang), lantas Dewa Siwa hadir bersama istrinya mengendarai Lembu Nandini, serta Sang Hyang Kala pun turut juga hadir hendak memangsanya. Dewa Siwa memberi Sang Hyang Kala pertanyaan, tetapi pertanyaan itu tak bisa terjawab. Ini adalah simbolis bahwa manusia harus bisa mengendalikan diri terhadap pengaruh alam yang positif dan yang negatif dengan sembahyang empat kali selama 24 jam. Sembahyang di pagi hari untuk membuka pikiran yang positif bagaikan terbitnya matahari, sembahyang di siang hari mempertahankan nilai-nilai positif yang telah diperoleh sepanjang pagi karena didalam terang terdapat juga kegelapan, sembahyang di sore hari manusia tak bisa lagi menuntut ilmu, tugas selanjutnya adalah mengamalkannya dan memberi tauladan yang positif kepada masyarakat. Sembahyang di malam hari bermakna menghindari pengaruh energi negatif black magic atau ilmu hitam.
  6. Alang-alang yang diikat mengandung dua pengertian. Pertama, alang-alang yang diikat sebagai simbolis kalpika sebagai singgasana Tuhan dalam wujud aksara suci ongkara. Ambengan dalam cerita Adhi Parwa pernah diperciki tirta Kamandalu sehingga dipergunakan sebagai pengingat kalpika, yang dipergunakan sebagai upasaksi bagi umat yang melakukan upaya peningkatan diri. Kedua, alang-alang diikat di tengah-tengah pada jalan setapak dapat mencelakakan orang yang lewat.
  7. Menaruh kayu bakar yang masih terikat di bawah lumbung padi, sebagai simbolis bahwa kalau kayu bakar diikat maka akan lama kering dan bisa menusuk yang sangat keras bila dalam posisi masih terikat. Simbol berada di bawah lumbung padi hendaknya berhati-hati, agar lumbung padi tidak mengakibatkan kebakaran yang potensial untuk menciptakan kemiskinanan kekurangan pangan.
  8. Tempat masak atau tungku berlubang tiga, simbolis dari pemanfaatan dapur secara tradisional sebagai pemahaman terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh agni atau api. Di situ ada pemahaman tentang api, "kecil jadi kawan besar jadi lawan". Maka, jika masak, harus diperhatikan tempat memasak. Kalau menggunakan dapur tradisional, ketiga lubangnya harus diiisi atau ditutup, jika tidak, apinya bisa menjilat ke atas dan dapat menimbulkan kebakaran.
  9. Mpu Leger (Dalang Wayang) membantu Panca Kumara dan menetralisir Sang Hyang Kala. Simbolisnya, dalang adalah pengemban misi ajaran moral bagi umat manusia di muka bumi ini, masyarakat yang memiliki pikiran negatif dapat berubah menjadi positif, dan sebagai penghormatan tetap diperingati enam bulan sekali pada Tumpek Wayang -- Saniscara Kliwon wuku Wayang


Kisah inilah yang mendasari tradisi ruwatan sapu leger untuk mendoakan keselamatan pada anak yang lahir bertepatan dengan hari tumpek wayang dalam masyarakat Hindu di Bali. 

Pada kehidupan sehari-harinya Batara Kala yang kini tinggal di kahyangan Suralaya merasa bosan dengan kehidupan lingkungan kahyangan. Ia selalu merasa lapar, sebab selain aturan-aturan jatah makan yang ia peroleh juga makanan yang dimakan tidak sesuai dengan seleranya. Akhirnya Batara Kala menghadap ayahandanya, Sanghyang Jagatnata untuk mengijinkan dirinya kembali ke marcapada. Ia merasa tidak betah tinggal dilingkungan kahyangan, apalagi para dewa dan dewi tidak ada yang ingin berteman dengannya. Karena merasa kasihan Sanghyang Jagatnata mengijinkan Batara Kala untuk kembali ke marcapada. Namun sebelumnya Sanghyang Jagatnata meruwat Batara Kala dengan gambar Kalacakra (rajah Kalacakra) di dadanya. Ia berpesan kepada Batara Kala, bahwa siapa saja yang mampu membaca lambang yang ditorehkan di dada Batara Kala, maka mereka tidak boleh dibunuh, sebab mereka adalah kerabat para dewa di Suralaya dan merupakan utusan Sanghyang Jagatnata. (Di dalam Buddhisme dikenal “Kalachakra Vajra” yang konon sudah ada sejak zaman Arya Sakyamuni Buddha saat membabarkan Dharma / Ajaran Kebenaran. Kalachakra secara filosofis bermakna roda raksasa simbol waktu. Rajah Kalacakra menjadi sebuah kekuatan gaib yang merubah suatu keburukan menjadi kebaikan, sebuah doa kepada Yang Maha Kuasa supaya merubah suatu kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik selama manusia hidup dalam kekuasaan sang waktu (Sang Kala atau Sang Hyang Kala))

Kemudian Sanghyang Jagatnata kembali memberi pesan agar Batara Kala tidak asal memakan makanan yang ada di marcapada. Adapun kodratnya yang sudah gemar memakan makanan yang bernyawa, hendaknya dibunuh terlebih dahulu sebelum dimakan. Sanghyang Jagatnata memberikan pusaka Kalanadah kepada Batara Kala untuk membunuh setiap korbannya yang hendak dimakan. Dan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh Sanghyang Jagatnata untuk Batara Kala, hal ini dimaksudkan agar kelak Batara Kala tidak memusnahkan kehidupan di marcapada. Maka, Sanghyang Jagatnata memberi ijin kepada Batara Kala untuk memakan mangsanya dengan syarat adalah mereka yang sudah ditentukan untuk dijadikan mangsa, yaitu :
  1. Julung Caplok,yaitu anak yang lahir tepat pada saat matahari terbenam. Selain menjadi jatah Batara Kala, anak “Julung Caplok” juga merupakan cadangan makanan harimau.
  2. Julung kembang, yaitu anak yang lahir tepat pada saat matahari terbit.
  3. Ontang Anting, yaitu anak tunggal puteri atau putera.
  4. Kendana-Kendidi, yaitu dua bersaudara putera dan puteri seayah-seibu.
  5. Uger-uger Lawang, yaitu dua bersaudara putera semua seayah-seibu.
  6. Kembang Sepasang, yaitu dua bersaudara puteri semua seayah-seibu.
  7. Pandawa, yaitu lima bersaudara putera semua seibu-seayah.
  8. Pandawi atau Kembang Setaman, yaitu lima bersaudara puteri semua seibu-seayah.
  9. Pancuran Kapit Sendang, yaitu tiga bersaudara terdiri puteri-putera dan puteri seayah-seibu.
  10. Sedang Kapit Pancuran, yaitu tiga bersaudara terdiri putera-puteri-putera seayah-seibu.
  11. Runta, yaitu anak yang hari dan tanggal kelahirannya sama dengan ayahnya.
  12. Empat orang bersaudara putera semua seayah-seibu.
  13. Empat orang bersaudara puteri semua seayah-seibu.
  14. Lima bersaudara terdiri seorang putera, empat puteri seayah-seibu.
  15. Lima bersaudara terdiri seorang puteri, empat putera seayah-seibu.

Begitulah akhirnya Batara Kala dibatasi jatah makannya dan diharuskan membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum ia makan. Dikisahkan Batara Kala selalu ingin memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.


Kisah diatas sesungguhnya mengajarkan filosofi yang mendalam mengenai Sang Waktu sebagai pengejawantahan Tuhan sendiri yang tiada hentinya “memakan” segala yang ada pada waktunya, sekaligus juga menggambarkan proses kedewasaan dalam perjalanan waktu. Dewasa berasal dari kata sanskerta : Dewasya, Kosa kata ini berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya seseorang yang memiliki sifat kedewataan, peribadinya mencerminkan sifat-sifat dewa atau Daivisampat.

Kedewasaan dalam diri seseorang menurut hindu dilihat dari dua aspek, yaitu aspek jasmaniah dan bathiniah (jiwa/kesadaran). Seseorang dapat dikatakan dewasa secara jasmaniah ketika dia telah mengalami akil balik (mimpi basah/pubertas), Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Sedangkan dewasa secara bathiniah (jiwa/kesadaran mental) adalah ketika seseorang telah dapat menanggalkan sifat-sifat raksasa/asuri sampad (sadripu; mabuk,marah, dengki,iri hati,bingung, nafsu) dalam dirinya dan mewujudkan sifat-sifat kedewataan/ dewa sampad (kebajikan) dalam dirinya sebagaimana dalam kisah Bhatara Siwa memotong taring Bhatara kala utk menghilangkan sifat raksasanya dan merubahnya menjadi salah satu dewata. Hal ini dilakukan secara simbolik dalam tradisi potong gigi (mepandes) dalam masyarakat hindu di bali yang biasa disebut dengan Upacara menek deha (Rajaswala) Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak. Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/ putri sudah menginjak dewasa.

No comments:

Post a Comment