viral

loading...

Wednesday, December 3, 2014

Makna Dan Filosofis Penjor Galungan

Penjor Galungan


Ladang Informasi - Penjor merupakan sarana upacara yang biasanya ditancapkan di depan rumah penganut Hindu di Bali terutama pada Hari raya Galungan – Kuningan. Penjor juga menjadi kelengkapan pada upacara-upacara besar di Pura.

Galungan dan KuninganSebagai sarana upacara, penjor dilengkapi dengan lamak, yaitu semacam taplak panjang dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Penjor juga dilengkapi dengan Sanggah yaitu rajutan bambu berbentuk bujur sangkar dengan atap melengkung (oval).

Secara filosofis penjor merupakan simbol dari gunung yang diyakini oleh umat Hindu di Bali sebagai tempat berkumpulnya vibrasi kesucian dari Hyang Widhi (Tuhan). Penjor juga menggambarkan sosok sepasang naga pemberi keselamatan (Naga Basuki) dan pemberi kehidupan (Naga Ananta Bhoga) yang merupakan simbol personifikasi dari Pertiwi atau tanah. Jadi, pemasangan penjor dimaksudkan sebagai wujudkan rasa bakti dan ucapan berterima kasih kepada Tuhan atas kemakmuran yang dilimpahkan-Nya.

Maka dari itu bahan-bahan untuk penjor banyak berasal dari hasil pertanian, seperti plawa (daun-daunan), palawija (biji-bijian seperti padai atau jagung), pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, pisang, mentimun).
adapun beberapa sarana yang dibutuhkan untuk membuat penjor Galungan adalah sebagai berikut :
  • Bambu
  • Plawa (dedaunan)
  • Palawija (biji-bijian seperti padi dan jagung)
  • Palabungkah (umbi-umbian)
  • Palagantung (kelapa, pisang, timun)
  • Senganan (Jajanan)
  •  Uang kepeng/logam 11 biji
  • Sanggar Ardha Candra simbol dari Ong Kara.
  • Sampian penjor yang berisi porosan (tembakau, daun sirih, kapur, buah pinang, buah gambir) dan bunga.
  • Bambu (dan kue) sebagai vibrasi kekuatan Dewa Brahma
  • Kelapa sebagai simbol vibrasi Dewa Rudra
  • Kain Kuning dan Janur sebagai simbol vibrasi Dewa Mahadewa
  • Daun-daunan (plawa) sebagai simbol vibrasi Dewa Sangkara.
  • Pala bungkah dan pala gantung sebagai simbol vibrasi Dewa Wisnu.
  • Tebu sebagai simbol vibrasi Dewa Sambu.
  • Padi sebagai simbol vibrasi Dewi Sri
  • Kain putih sebagai simbol vibrasi Dewa Iswara..
  • Sanggah sebagai simbol vibrasi Dewa Siwa.
  • Upakara sebagai simbol vibrasi Dewa Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Penjor adalah sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu, digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada lengkungan penjor juga digantungkan dua lembar kecil kain berwarna putih dan kuning serta sebelas uang kepeng.

Disamping itu, Penjor merupakan salah satu sarana upakara dalam hari Raya Galungan. Penjor adalah simbol dari naga basuki, dimana Basuki berarti kesejahteraan dan kemakmuran.


Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha”

Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
“Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala (buah-buahan), Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan (bambu & jajanan), Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading ( janur kuning), Hyang Sangkara Meraga Phalem (buah pala), Hyang Sri Dewi Meraga Pari (padi), Hyang Sambu Meraga Isepan (tebu), Hyang Mahesora Meraga Biting (semat).”

Dari petikan bait lontar di atas dapat disimpulkan bahan-bahan pembuat penjor antara lain :

Tafsir lain berdasarkan lontar “Tutur Dewi Tapini”, yaitu lontar yang menjadi acuan dalam membuat sesajen untuk upacara keagamaan di Bali, menyebutkan simbol-simbol dalam lontar adalah sebagai berikut :
Semua Dewa tersebut merupakan personifikasi (manifestasi) dari kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman).

No comments:

Post a Comment