Ramalan Kelima
“Pitik
tarung sak kandang”
Pada 30 September 1965 di lapisan
stratosfir langit malam, pada radius tiga kilometer dari kraton Sri Aji
Jayabaya, para penduduk menyaksikan “lintang kemukus” bergerak pelahan ke arah
utara. Benda langit cerah bersinar persis pesawat angkasa luar yang
diidentifikasi selama berabad “lintang kemukus” yang bergerak lambat di langit
itu menjadi pertanda datangnya peristiwa besar di jagad manusia.
Malam-malam perburuan 20 juta anggota
komunis di Nusantara mulai dicanangkan. Partai komunis ketiga terbesar di dunia
berada dalam kepungan negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sepuluh
tahun yang silam kaum komunis berhasil menempati anak tangga keempat dalam
pemilu paling demokratis di negeri Pancasila, suatu sintesis ideologi-ideologi
yang ada di gelanggang politik dunia dicetuskan Bung Karno, penyambung hati
rakyat Indonesia.
Sri Aji Jayabaya seorang putra dari
cinta sejati Dewi Sekartaji dan Inu Kertapati, kedua remaja pilihan ini adalah
putra mahkota dari dua kerajaan di tepi sungai Brantas. Dewi Sekartaji seorang
putri raja Amisena dari kerajaan Daha/Kediri. Sedangkan Inu Kertapati atau
lebih termasyhur disebut Panji berasal dari kerajaan Jenggala, putra mahkota
dari raja Lembu Amilanur. Silsilah kedua putra mahkota ini adalah cucu Prabu
Erlangga dari hasil perkawinan dengan para selir. Sedangkan paramesywari
Erlangga melahirkan seorang gadis bernama Dewi Sanggramawijaya atau lebih
dikenal Dewi Kilisuci. Dewi Kilisuci tidak dapat menggantikan Erlangga
menduduki takhta, maka kerajaan dibelah menjadi dua, Daha/Kediri dan Jenggala. Perkawinan
kerajaan yang mereka jalani sebelumnya penuh dengan drama percintaan paling
dikenang selama berabad oleh penduduk Jawa bagian Timur.
Dewi Sekartaji dan Inu Kertapati yang
belum bertemu satu sama lain sempat menolak perjodohan dua kerajaan atas diri
mereka. Dewi Sekartaji mengembara bertahun-tahun, demikian pula Inu Kertapati,
keduanya remaja paling cantik dan paling tampan di kerajaan Daha dan Jenggala.
Singkatnya mereka akhirnya bertemu di pulau Dewata dan saling jatuh cinta satu
sama lain. Perkawinan pun berlangsung meriah, dua kerajaan digabungkan, dan
dari hasil cinta sejati mereka lahirlah seorang manusia unggul Sri Aji Jayabaya
yang kelak marak menjadi raja kerajaan Kediri. Dalam masa pemerintahannya
sastra dan seni berkembang luar biasa pesatnya. Perkataan yang berwujud
ramalan-ramalan dari segenap cerdik-pandai di seluruh negeri dikumpulkan dan
dipilih yang terbaik untuk dipersembahkan kepada yang mulia Sri Aji Jayabaya.
Dengan bahan melimpah itulah sang raja besar itu mempublikasikan ramalan kelima
“pitik tarung sak kandang” untuk menggambarkan perang saudara masa depan di
tanah Jawa.
Gerakan september 1965 memicu
pertarungan dua ideologi yang bertentangan, di satu sisi kubu materialis, yang
diwakili oleh 20 juta komunis, di sisi lain terdapat kubu idealis, yang
diwakili 60 juta muslim. Kaum komunis menggunakan sistem filsafat materialisme
dialektis. Kaum muslim masuk kubu idealis. Jika kedua sistem itu berhadapan
dalam realitas kehidupan maka yang terjadi adalah pertentangan paham, tidak kurang-kurangnya
Bung Karno berusaha mendamaikan pertentangan komunis dan Islam dalam wadah
Nasakom, lebih lanjut lagi di forum legislatif dibentuk kabinet
“gotong-royong”. Usaha kecil Bung Karno yang memiliki visi luar biasa sejak
1926, berusaha menghindarkan terjadinya “pitik tarung sak kandang”. Bung Karno
sangat menguasai ramalan Sri Aji Jayabaya tersebut.
“Pitik tarung sak kandang” artinya
ayam peliharaan yang setiap pagi dan petang berada dalam ruangan yang sama.
Ayam dalam satu ruangan itu setiap hari hidup rukun di luar ruangan. Kandang di
sini bukan kandang yang rapat, ayam yang dipelihara penduduk di Jawa biasanya
dibuatkan pijakan-pijakan bambu atau kayu untuk tidur si ayam. Ayam tersebut
bebas keluar masuk ruangan kapan saja atas kemauan sendiri. Mereka berada dalam
rumah yang sama dan hidup rukun. Sangat jarang terjadi ayam dalam satu
“kandang” saling berkelahi di dalam kandangnya. Bahkan tidak pernah terjadi
perkelahian ayam dalam kandang bebasnya itu. Perkelahian kecil biasanya rebutan
tempat “mangkring” yang kuat, ayam dewasa, memilih berada di depan. Ayam muda
oleh pemiliknya dipisahkan, dikurung tersendiri.
Dalam kandangnya puluhan ayam itu
tidak pernah berkelahi karena mereka hanya berkumpul pada petang hari untuk
mulai tidur malamnya yang berlangsung hingga subuh. Saat mereka terbangun dan
keluar kandang itulah sang pemilik menjamu santapan pertama, selanjutnya
terserah anda mau cari makan di mana.
Dalam enam bulan saja komunis dibantai
lawan-lawannya, segenap peranan mereka telah disingkirkan dari pemerintahan,
pers, dunia pendidikan dengan memenjarakan tanpa proses pengadilan. Jutaan
pegawai aparat pemerintah Bung Karno tidak perlu dibayarkan pensiun mereka,
walau sudah bekerja sejak perang kemerdekaan. Sangat ekonomis!
Pembantaian kaum komunis yang tengah
terjadi itu adalah hasil provokasi oleh oknum yang dimaksud dalam ramalan
keenam sri Aji Jayabaya: “kodok ijo ongkang-ongkang”, yang berkuasa tepat
selama empat windu. “Kodok ijo ongkang-ongkang” dibantu oleh pihak asing yang
tengah menjalankan doktrin McCarthy, membasmi komunis dari muka bumi.
Komunis Indonesia musnah tak bersisa
yang tersisa onggokan arang yang mengepulkan asap tipis. Di musim penghujan
bakal tumbuh tunas baru di tumpukan berwarna hitam itu, karena negeri Nusantara
sangat subur untuk mengubah kegersangan menjadi hijau kembali dengan tumbuhnya
beraneka tanaman baru, termasuk yang sudah dianggap musnah.
Baca Juga Artikel "Ramalan Jayabaya Keenam"
No comments:
Post a Comment