Cerita Ramayana
Kata
I berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan Ayaṇa yang
berarti “Perjalanan Rāmā”, adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah
oleh Valmiki (Valmiki) atau Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam
khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Rāmāyana.
Dalam
bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin
Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sanskeṛta,
Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu; Bālakānda,
Ayodhyākāṇḍa, Āraṇyakāṇḍa, Kiṣkindhakāṇḍa, Sundarakāṇḍa, Yuddhakāṇḍa, dan
Uttarakāṇḍa.
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana
menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja
ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā.
Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu
Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa. Pada suatu hari,
Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga
pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang
mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi
mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya.
Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka
bisa mengalahkannya.
Daśaratha
adalah tokoh dari wiracarita Rāmāyana, seorang raja, putra raja,
keturunan
Iksvaku
dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Śrī
Rāmā dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhyā.
Daśaratha sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti
berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran. Pada saat Daśaratha
masih muda dan belum menikah, ia suka berburu dan memiliki kemampuan untuk
memanah sesuatu dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di suatu
malam, Daśaratha berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai Sarayu, ia mendengar
suara gajah yang sedang minum. Tanpa melihat sasaran ia segera melepaskan anak
panahnya. Namun ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan suara
manusia. Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat seorang pertapa muda
tergeletak tak berdaya. Pemuda tersebut bernama Srāvaṇa. Ia mencaci maki
Daśaratha yang telah tega membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya
yang buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum meninggal, Srāvaṇa
menyuruh agar Daśaratha membawakan air kehadapan kedua orang tua si pemuda yang
buta dan tua renta. Daśaratha menjalankan permohonan terakhir tersebut dan
menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si pemuda. Daśaratha
juga meminta maaf di hadapan mereka. Setelah mendengar penjelasan Daśaratha, kedua
orang tua tersebut menyuruh Daśaratha agar ia mengantar mereka ke tepi sungai untuk
meraba jasad putranya yang tercinta untuk terakhir kalinya. Kemudian, mereka
mengadakan upacara pembakaran yang layak bagi putranya. Karena rasa cintanya,
mereka hendak meleburkan diri bersama-sama ke dalam api pembakaran.
Sebelum
melompat, ayah si pemuda menoleh kepada Daśaratha dan berkata bahwa kelak pada
suatu
saat, Daśaratha akan mati dalam kesedihan karena ditinggalkan oleh putranya yang
paling dicintai dan paling diharapkan. Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu
Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Lama setelah pernikahannya, Daśaratha belum
juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan Yajña (ritual suci) yang
dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam
berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum
seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis.
Beberapa
bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan
putra adalah Kauśalyā, dan putranya diberi nama Rāmā. Yang kedua adalah Kaikeyī,
melahirkan putra mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitrā,
melahirkan putra kembar dan diberi nama Lakṣmana dan Satrugṇa. Kauśalyā adalah
istri pertama Daśaratha dari Kerajaan Kosala yang melahirkan Śrī Rāmā. Sumitrā
adalah salah seorang istri Prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Lakṣamaṇa dan
Satrugṇa. Kaikeyī atau Kekayi adalah permaisuri Raja Daśaratha dalam wiracarita
Rāmāyana. Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Daśaratha
setelah
dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Daśaratha meminang
dirinya, ayah Kaikeyī membuat perjanjian dengan Daśaratha bahwa putra yang
dilahirkan oleh Kaikeyī harus menjadi raja. Daśaratha menyetujui perjanjian tersebut
karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra. Namun setelah
menikah dan hidup lama, Kaikeyī belum melahirkan putra. Setelah Daśaratha melakukan
upacara besar, akhirnya Kaikeyī dan premaisurinya yang lain mendapatkan keturunan.
Kaikeyī melahirkan seorang putra bernama Bharata. Pada suatu ketika di sebuah
pertempuran, roda kereta perang Daśaratha
pecah.
Dalam masa-masa genting tersebut, Kaikeyī yang berada di sana dating menyelamatkan
Daśaratha serta memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena
terharu oleh pertolongan Kaikeyī, Daśaratha mempersilakan Kaikeyī untuk mengajukan
tiga permohonan. Namun Kaikeyī menolak karena ia ingin menagih janji tersebut
pada saat yang tepat. Sebagai istri yang paling muda, Kaikeyī merasa cemas
apabila Daśaratha kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang lain.
Saat
Rāmā hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara
datang
dan menghasut Kaikeyī agar mengangkat Bharata menjadi Raja sekaligus menyingkirkan
Rāmā ke hutan selama 14 tahun. Dengan mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara
berharap bahwa Kaikeyī akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas
permaisuri yang lain. Kaikeyī menolak usul Mantara karena ia tahu bahwa Rāmā lebih
pantas menjadi raja, dan setelah itu Bharata akan menggantikannya. Mendengar
alasan Kaikeyī, Mantara berkata bahwa tidak ada alasan bagi Bharata untuk
menjadi raja menggantikan Rāmā karena jika Rāmā menjadi raja sampai akhir hayatnya,
maka tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya karena tahta
diserahkan kepada keturunan Rāmā. Setelah Mantara menghasut Kaikeyī dengan
berbagai
alasan, Kaikeyī mengambil tindakan. Ia menemui Raja Daśaratha dan meminta dua permohonan
sesuai dengan kesempatan yang telah diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon
Bharata untuk menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rāmā diasingkan ke
hutan. Dengan berat hati, Raja Daśaratha memenuhi permohonan tersebut, namun
tak lama kemudian ia wafat dalam keadaan sakit hati. Ayah Rāmā adalah Raja
Daśaratha dari Ayodhyā, sedangkan ibunya adalah Kauśalyā. Dalam Rāmāyana
diceritakan bahwa Raja Daśaratha yang merindukan putra mengadakan upacara
bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yajña. Upacaranya
diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci
agar
diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri
Raja Daśaratha melahirkan putra. Yang tertua bernama Rāmā, lahir dari Kauśalyā.
Yang
kedua adalah Bharata, lahir dari Kaikeyī, dan yang terakhir adalah Lakṣmaṇa dan
Satrugṇa,
lahir dari Sumitrā. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putra yang gagah-gagah
dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Rsi Wasista. Pada suatu hari,
Rsi Visvamitra datang menghadap Raja Daśaratha. Daśaratha tahu benar watak Ṛsī
tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya
Sang Ṛsī mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan Rāmā untuk mengusir
para raksasa yang mengganggu ketenangan para Ṛsī di hutan. Mendengar permohonan
tersebut, Raja Daśaratha sangat terkejut karena merasa tidak sanggup untuk
mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Ṛsī Visvamitra. Daśaratha
merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa, namun Ṛsī
Visvamitra menjamin keselamatan Rāmā. Setelah melalui perdebatan dan
pergolakan
dalam batin, Daśaratha mengabulkan permohonan Ṛsī Visvamitra dan mengizinkan
putranya untuk membantu para Ṛsī.
Di
tengah hutan, Rāmā dan Lakṣmana memperoleh mantra sakti dari Ṛsī Visvamitra,
yaitu
bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para Ṛsī
di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rāmā, Lakṣmana, dan Ṛsī Visvamitra melewati
hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rāmā mengalahkan rakshasi Tataka dan
membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rāmā sampai di Sidhasrama bersama
Lakṣmana dan Ṛsī Visvamitra. Di sana, Rāmā dan Lakṣmana melindungi para Ṛsī dan
berjanji akan mengalahkan raksasa yang ingin mengotori pelaksanaan Yajña yang
dilakukan oleh para Ṛsī. Saat raksasa Marica dan Subahu datang untuk megotori
sesajen dengan darah dan daging mentah, Rāmā dan Lakṣmana tidak tinggal diam.
Atas permohonan Rāmā, nyawa Marica diampuni oleh Lakṣmana, sedangkan
untuk
Subahu, Rāmā tidak memberi ampun. Dengan senjata Agni Astra atau Panah Api,
Rāmā membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rāmā membunuh Subahu,
pelaksanaan Yajña berlangsung dengan lancar dan aman. Dalam bahasa
Sansekerta, kata Sītā bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan istilah puitis
pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sītā dalam
Rāmāyana kemungkinan berasal dari Dewi Sītā, yang pernah disebutkan
dalam Ṛgveda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil
panen
yang bermutu. Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sītā juga dikenal
dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai putri
Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Rāmāa. Karena
berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi. Suatu
ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara
atau Yajña di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak
tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi
perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai
titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan. Sītā dibesarkan di istana Mithila, ibu
kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak
dewasa, Janaka pun mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang
tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka
maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Śrī Rāmā, seorang pangeran
dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sītā pun tinggal bersama suaminya di Ayodhyā,
ibu kota Kosala. Visvamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila demi
memperebutkan Dewi Sītā. Ia mengajak Rāmā dan Lakṣmana untuk mengikuti
sayembara tersebut. Mereka menyanggupinya. Setibanya di sana, Rāmā melihat
bahwa tidak ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sītā,
yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa. Namun saat Rāmā tampil ke
muka, ia tidak hanya mampu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun
juga mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan, suaranya besar dan
menggelegar seperti guruh. Melihat kemampuan istimewa tersebut, ayah Sītā yaitu
Raja Janaka, memutuskan agar Rāmā
menjadi
menantunya. Sītā pun senang mendapatkan suami seperti Rāmā. Kemudian utusan
dikirim ke Ayodhyā untuk memberitahu kabar baik tersebut. Raja Daśaratha
girang mendengar putranya sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia
segera berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan Rāmā dan Sītā,
Visvamitra mohon pamit untuk melanjutkan tapa di Gunung Himalaya, sementara
Daśaratha pulang ke Ayodhyā diikuti oleh Ṛsī Wasistha serta
pengiringpengiringnya.
Di
tengah jalan, mereka berjumpa dengan Ṛsī Parasu Rāmā, yaitu brahmana sakti yang
ditakuti para ksatria. Parasu Rāmā memegang sebuah busur di bahunya yang konon
merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa Rāmā telah mematahkan
busur Siwa. Dengan wajah yang sangar, ia menantang Rāmā untuk membengkokkan
busur Wisnu. Rāmā menerima tantangan tersebut dan membengkokkan busur Wisnu dengan
mudah. Melihat busur itu dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasu
Rāmā menjadi lemah lembut. Rāmā berkata, “Panah Waisnawa ini harus mendapatkan
mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa
Tuan?”. Parasu Rāmā menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena
ia hendak merintis hasil tapanya dari awal kembali. Setelah itu, Parasu Rāmā
mohon pamit dan pergi ke Gunung Mahendra.
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana
dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang
Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan
warisan kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa
pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka
pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya. Sementara Rāmā pergi,
Bharata baru saja pulang dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia
mendapati bahwa ayahnya telah wafat serta Rāmā tidak ada di istana. Kaikeyī
menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan
diri ke hutan. Bharata menjadi sedih mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā.
Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di
dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan memberi berita duka karena Prabu Daśaratha
telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja.
Rakyat juga mendesak demikian, namun Rāmā menolak karena ia terikat oleh
perintah
ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rāmā menguraikan ajaran-ajaran agama
kepada Bharata. Rāmā menyerahkan sandalnya (dalam bahasa Sanskeṛta: paduka).
Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan meletakkannya di singasana.
Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas nama Rāmā. Rāmā atau
Rāmācandra adalah seorang raja legendaries konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan
Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota
Ayodhyā. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh
yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang
terkenal dituturkan dalam
sebuah
sastra Hindu Kuno yang disebut Rāmāyana, tersebar dari Asia Selatan
sampai Asia Tenggara.
Terlahir
sebagai putra sulung dari pasangan Raja Daśaratha dengan Kauśalyā, ia dipandang
sebagai Maryada Purushottama, yang artinya “Manusia Sempurna”. Setelah dewasa,
Rāmā memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sītā, inkarnasi dari Dewi Lakṣmi.
Rāmā memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lava.
Dalam
wiracarita Rāmāyana diceritakan bahwa sebelum Rāmā lahir, seorang raja raksasa
bernama Rāvaṇa telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa
merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia
menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang
telah memberikan anugerah kepada Rāvaṇa sehingga raksasa tersebut menjadi takabur.
Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma
kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh.
Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke
dunia sebagai Rāmā, putra raja Daśaratha dari Ayodhyā. Dalam
penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran
sebagai Lakṣmana, serta Lakṣmi yang akan mengambil peran sebagai Sītā. Ibu Rāvaṇa
bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali. Sumali memperoleh
anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali
berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di
antara para Ṛsī, Kekasi memilih Visrava sebagai pasangannya. Visvara memperingati
Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi
jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian. Akhirnya, Rāvaṇa
lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah raksasa. Saat lahir, Rāvaṇa
diberi nama “Dasanana” atau “Dasagriwa”, dan konon ia memiliki sepuluh kepala.
Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari
permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan
bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rāvaṇa memiliki
kekuatan
sepuluh tokoh tertentu. Saat masih muda, Rāvaṇa mengadakan tapa memuja Dewa
Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, Brahma muncul
dan
mempersilakan
Rāvaṇa mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rāvaṇa memohon agar
ia hidup abadi, namun permohonan tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai
gantinya, Rāvaṇa memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu
unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, raksasa, detya, danawa, segala naga
dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul
terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan
menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir. Setelah
memperoleh anugerah Brahma, Rāvaṇa mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya
kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju
Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek
para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan.
Kubera
juga merupakan putra Visvara, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya
kepada anak-anak Kekasi. Namun Rāvaṇa menuntut agar seluruh Alengka menjadi
miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Visvara menasihati
Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rāvaṇa tak tertandingi. Ketika Rāvaṇa
merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin
yang sukses dan murah hati. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya. Konon
rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada
kelaparan di kerajaan tersebut. Setelah keberhasilannya di Alengka, Rāvaṇa
mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari, Rāvaṇa
mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya sambil main-main. Siwa yang
merasa kesal dengan kesombongan Rāvaṇa, menekan Kailasha dengan jari kakinya,
sehingga Rāvaṇa tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk
memberitahu Rāvaṇa, pada siapa ia harus bertobat. Lalu Rāvaṇa menciptakan dan
menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama
bertahuntahun,
sampai
Siwa membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya,
Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa
Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya. Selanjutnya Rāvaṇa
menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rāvaṇa terkenal dengan tarian pemujaannya
kepada Siwa yang bernama “Shiva Tandava Stotra”. Semenjak peristiwa tersebut ia
memperoleh nama ‘Rāvaṇa’, berarti “(Ia) Yang raungannya dahsyat”, diberikan
kepadanya oleh Siwa – konon bumi sempat berguncang saat
Rāvaṇa
menangis kesakitan karena ditindih gunung. Dengan kekuatan yang diperolehnya,
Rāvaṇa melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat
(asura – rakshasa – detya – danawa), dan makhluk surgawi. Setelah menaklukkan
Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rāvaṇa sendiri
menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa
Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka. Setelah
menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya
diangkat sebagai Maharaja. Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rāvaṇa
yang kejam dan tamak, Rāvaṇa mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para
dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya
secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi,
dan bangsa naga. Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rāvaṇa juga
terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rāvaṇa memiliki banyak
istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putra Mayasura dengan seorang
bidadari bernama Hema. Rāmāyana
mendeskripsikan
bahwa istana Rāvaṇa dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai
penjuru dunia. Dalam Rāmāyana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua
wanita merasa beruntung apabila Rāvaṇa menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan
kisah pertemuan Rāvaṇa dengan wanita istimewa. Wanita istimewa pertama adalah
Vedawati, seorang pertapa wanita. Vedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu
agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rāvaṇa melihat kecantikan Vedawati,
hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Vedawati untuk menghentikan
pemujaannya dan ia merayu Vedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena
Vedawati menolak, Rāvaṇa mencoba untuk melarikannya. Kemudian Vedawati
bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rāvaṇa. Setelah
berkata demikian, Vedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya.
Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sītā, yang diculik oleh Rāvaṇa
sehingga Rāmā turun tangan dan membunuh Rāvaṇa. Rāvaṇa memiliki banyak kerabat
dan saudara yang disebutkan dalam Rāmāyana. Karena sulit menemukan
data-data mengenai mereka selain Rāmāyana, tidak banyak yang diketahui
tentang mereka. Menurut Rāmāyana, ibu Rāvaṇa adalah puteri seorang Detya
bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Visvara. Rāvaṇa memiliki kakek
bernama Pulastya, putra Brahma. Dari pihak ibunya, Rāvaṇa memiliki kakek bernama
Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putra Tataka, saudara Malyawan.
Rāvaṇa memiliki tiga istri dan tujuh putra. Tujuh putra Rāvaṇa yaitu: Indrajit
alias Megananda, Prahasta, Atikaya, Aksa alias Aksayakumara, Dewantaka, Narantaka,
dan Trisirah
Selain
itu, Rāvaṇa memiliki enam saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Saudara-saudaranya
tersebut terdiri atas tiga saudara kandung dan lima saudara tiri.
Saudara-saudara
Rāvaṇa yaitu:
1.
Kubera, kakak tiri Rāvaṇa,
lain ibu namun satu ayah. Raja Alengka sebelum Rāvaṇa. Ia merupakan dewa
penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan.
2.
Kumbhakarṇa, adik kandung
Rāvaṇa. Rakshasa yang tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan
karena anugerah Brahma.
3.
Vibhīsaṇa, adik kandung
Rāvaṇa. Penasihat di Kerajaan Alengka.
4.
Kara, adik tiri Rāvaṇa.
Raja dan pelindung perbatasan Alengka yang bernama Janasthan atau Yanasthana di
Chitrakuta.
5.
Dusana, adik tiri Rāvaṇa.
Patih di Yanasthana.
6.
Ahirāvaṇa, adik tiri Rāvaṇa.
Raja di Patala.
7.
Kumbini, adik tiri Rāvaṇa.
Istri rakshasa Madhu, ibu dari Lawanasura.
8.
Surpanaka, adik kandung
Rāvaṇa. Rakshasi yang tinggal di Yanasthana, dilukai oleh Lakṣmana. Ia mengadu
kepada Kara dan Rāvaṇa, dan merupakan biang keladi yang menyebabkan permusuhan
antara Rāmā dan Rāvaṇa.
Kembali
lagi pada cerita Daśaratha yang sudah tua dan ingin mengangkat Rāmā sebagai
raja. Dengan segera ia melakukan persiapan untuk upacara penobatan Rāmā, sementara
Bharata menginap di rumah pamannya yang jauh dari Ayodhyā. Mendengar Rāmā
akan dinobatkan sebagai raja, Mantara menghasut Kaikeyī agar menobatkan Bharata
sebagai raja. Kaikeyī yang semula hanya diam, tiba-tiba menjadi ambisius untuk mengangkat
anaknya sebagai raja. Kemudian ia meminta agar Daśaratha menobatkan Bharata
sebagai raja. Ia juga meminta agar Rāmā dibuang ke tengah hutan selama 14 tahun.
Daśaratha pun terkejut dan menjadi sedih, namun ia tidak bisa menolak karena terikat
dengan janji Kaikeyī. Dengan berat hati, Daśaratha menobatkan Bharata sebagai raja
dan menyuruh Rāmā agar meninggalkan Ayodhyā. Sītā dan Lakṣmana yang
setia turut mendampingi Rāmā. Sebagai putra yang berbakti, Rāmā pun menjalani
keputusan itu dengan ikhlas. Sītā yang setia mengikuti perjalanan Rāmā, begitu
pula adik Rāmā yang lahir dari ibu lain, yaitu Lakṣmana. Ketiganya meninggalkan
istana Ayodhyā untuk memulai hidup di dalam hutan. Di tengah hutan
Dandaka, Rāmā mendirikan sebuah pondok kayu. Di dalam hutan belantara dan
pegunungan, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana banyak bergaul dengan para pendeta dan
brahmana sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka. Setiap hari
Rāmā berburu binatang untuk persediaan makanan, sementara Lakṣamaṇa mencari
buah-buahan. Sītā selain menyiapkan makanan, juga mencari kembang untuk keperluan
upacara pemujaan. Rāmā amat gemar berburu rusa. Pulang dari perburuan,
rusa
itu disembelih lalu dagingnya diiris-iris dan dijemur agar kering. Sītā selalu menjaga
daging rusa yang sedang dijemur itu. Tapi burung-burung gagak senantiasa mencium
baunya. Beramai-ramai mereka menyambar jemuran daging itu hingga habis. Pada
suatu hari Rāmā tidak pergi berburu karena dia ingin tahu binatang apakah yang
selalu mencuri dan menghabiskan jemuran dagingnya. Diapun mengintai. Ternyata
burung-burung gagaklah yang mencurinya. Sambil berlindung Rāmā membidik
burung-burung pencuri itu dengan panah. Satu persatu burung-burung pencuri itu
terkena anak panah dan tubuhnya jatuh berserakan. Sejak itu jemuran
daging
Sītā tak ada lagi yang mencuri. Tak berapa lama kemudian, Daśaratha wafat dalam
kesedihan. Setelah Daśaratha wafat, Kaikeyī mulai menyesali tindakannya dan
memarahi dirinya sendiri atas kematian Sang Raja. Rakyat Ayodhyā pun
marah dan menghujat Kaikeyī. Bharata juga marah dan berkata bahwa ia tidak akan
menyebut Kaikeyī sebagai ibunya lagi. Pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara
hendak dibunuh oleh Satrugṇa karena menghasut
Kaikeyī
dengan lidahnya yang tajam, namun ia diampuni oleh Rāmā. Āraṇyakāṇḍa adalah
kitab ke tiga epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakanlah bagaimana
sang Rāmā dan Lakṣamaṇa membantu para tapa di sebuah asrama mengusir sekalian
raksasa yang datang mengganggu.
Selama
masa pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga
melindungi mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu
di hutan. Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi
seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita
cantik dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan
alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana,
namun Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak
membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan pedangnya
kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung Surpanaka
terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang bernama
Kara. Kara marah terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya dan hendak membalas
dendam. Dengan angkatan perang yang luar biasa, Kara
dan
sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya Surpanaka
melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka mengadu
kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā yang katanya
sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica menyamar
menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik dan meminta
Rāmā untuk menangkapnya. Pada suatu hari, Sītā melihat seekor kijang yang sangat
lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan Lakṣmana merasa
bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan Sītā, Rāmā memburu
kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga Sītā. Dewi Sītā
ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi memburunya, tetapi si
Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus mengantarkannya ke tengah
hutan. Karena Rāmā merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia
memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang Rāvaṇa.
Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut, hewan itu berubah menjadi rakshasa
Marica, dan mengerang dengan suara keras. Sītā yang merasa cemas, menyuruh Lakṣmana
agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh dengan tugasnya untuk melindungi
Sītā, Lakṣmana menolak secara halus. Kemudian Sītā berprasangka bahwa Lakṣmana
memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā menjadi
janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā, Lakṣmana
menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia membuat
garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu meraih
Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh
melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis
tersebut. Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā sendirian, raksasa Rāvaṇa yang
menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan meminta sedikit air kepada Sītā.
Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang berada dalam Lakshmana Rekha, maka
ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya. Pada saat tangan Rāvaṇa memegang
tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar dari garis pelindung dan
menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā terkejut karena Sītā
ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā sudah tidak ada. Rāvaṇa
bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu kalah dan sekarat.
Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu yang menceritakan kisahnya
sebelum ia mati.
Menurut
kitab Purana, Lakṣmana merupakan penitisan Sesa. Shesha adalah ular yang mengabdi
kepada Dewa Wisnu dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu.
Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya. Dalam
Rāmāyana, ia menitis kepada Lakṣmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis
kepada Baladewa. Lakṣmana merupakan putra ketiga Raja Daśaratha yang bertahta
di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodhyā. Kakak sulungnya bernama Rāmā,
kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama
Satrugṇa. Di antara saudara-saudaranya, Lakṣmana memiliki hubungan yang sangat
dekat terhadap Rāmā. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rāmā menikah
dengan Sītā, Lakṣmana juga menikahi adik Dewi Sītā yang bernama Urmila. Meskipun
keempat putra Raja Daśaratha saling menyayangi satu sama lain, namun Satrugṇa
lebih cenderung dekat terhadap Bharata, sedangkan Lakṣmana cenderung dekat terhadap
Rāmā. Saat Ṛsī Visvamitra datang meminta bantuan Rāmā agar mengusir para raksasa
di hutan Dandaka, Lakṣmana turut serta dan menambah pengalaman bersama kakaknya.
Di hutan mereka membunuh banyak raksasa dan melindungi para Ṛsī. Bisa dikatakan
bahwa Lakṣmana selalu berada di sisi Rāmā dan selalu berbakti kepadanya dalam
setiap petualangan Rāmā dalam Rāmāyana.
Saat
Rāmā dibuang ke hutan karena tuntutan permaisuri Kaikeyī, Lakṣmana mengikutinya
bersama Sītā. Ketika Bharata datang menyusul Rāmā ke dalam hutan dengan
angkatan perang Ayodhyā, Lakṣmana mencurigai kedatangan Bharata dan bersiap-siap
untuk melakukan serangan. Rāmā yang mengetahui maksud kedatangan Bharata
menyuruh Lakṣmana agar menahan nafsunya dan menjelaskan bahwa Bharata tidak
mungkin menyerang mereka di hutan, malah sebaliknya Bharata ingin agar Rāmā kembali
ke Ayodhyā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Lakṣmana menjadi sadar
dan malu.
Sesampainya
di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota Trikuta, Sītā pun ditawan di
dalam sebuah taman yang sangat indah, bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya
ditempatkan para raksasi yang bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu.
Selama ditawan di istana Alengka, Sītā selalu berdoa dan berharap Rāmā dating menolongnya.
Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia mengaku bernama
Hanumān, utusan Śrī Rāmā. Sebagai bukti Hanumān menyerahkan cincin milik Sītā
yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia diculik Rāvaṇa. Cincin tersebut telah
ditemukan oleh Rāmā. Hanumān membujuk Sītā supaya bersedia meninggalkan Alengka
bersama dirinya. Sītā menolak karena ia ingin Rāmā yang datang sendiri
ke
Alengka untuk merebutnya dari tangan Rāvaṇa dengan gagah berani. Hanumān dimintanya
untuk kembali dan menyampaikan hal itu.
Kiṣkindhakāṇḍa adalah
kitab keempat epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Rāmā
amat berduka cita akan hilangnya Dewi Sītā. Lalu bersama Lakṣamaṇa ia menyusup
ke hutan belantara dan sampai di gunung Ṛsīmuka. Maka di sana berkelahilah sang
kera Subali melawan Sugrivā memperebutkan dewi Tara. Sang Sugrivā kalah lalu
mengutus abdinya sang Hanumān meminta tolong kepada Śrī Rāmā untuk membunuh
Bali, Rāmā setuju dan si Bali mati. Setelah mendapati bahwa Sītā sudah menghilang,
perasaan Rāmā terguncang. Lakṣmana mencoba menghibur Rāmā dan memberi harapan.
Mereka berdua menyusuri pelosok gunung, hutan, dan sungai-sungai. Akhirnya
mereka menemukan darah tercecer dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah
pertempuran telah terjadi. Rāmā berpikir bahwa itu adalah pertempuran raksasa
yang memperebutkan Sītā, namun tak lama kemudian mereka menemukan seekor burung
tua sedang sekarat. Burung tersebut bernama Jatayu, sahabat Raja Daśaratha.
Rāmā mengenal burung tersebut dengan baik dan dari penjelasan Jatayu, Rāmā tahu
bahwa Sītā diculik Rāvaṇa. Setelah memberitahu Rāmā, Jatayu menghembuskan napas
terakhirnya. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara pembakaran jenazah
yang layak bagi Jatayu. Dalam perjalanan menyelamatkan Sītā, Rāmā dan Lakṣmana
bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi Rāmā, mereka berdua
memotong lengan raksasa tersebut dan tubuhnya dibakar sesuai upacara. Setelah
dibakar, raksasa tersebut berubah wujud menjadi seorang dewa bernama Kabanda.
Atas petunjuk Sang Dewa, Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi ke tepi sungai Pampa dan
mencari Sugrivā di bukit Resyamuka karena Sugrivā-lah yang mampu menolong Rāmā.
Dalam perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari, seorang wanita tua yang
dengan setia menantikan kedatangan mereka berdua. Sabari menyuguhkan
buah-buahan kepada Rāmā dan Lakṣmana. Setelah menyaksikan wajah kedua pangeran
tersebut dan menjamu mereka, Sabari meninggal dengan tenang dan mencapai surga.
Dalam masa petualangan mencari Sītā, Rāmā dan Lakṣmana menyeberangi sungai Pampa
dan pergi ke gunung Resyamuka, sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara dengan
rajanya bernama Sugrivā. Sugrivā takut saat melihat Rāmā dan Lakṣmana sedang
mencari-cari sesuatu, karena ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang
dikirim untuk mencari dan membunuh Sugrivā. Kemudian Sugrivā mengutus keponakannya
yang bernama Hanumān untuk menyelidiki kedatangan Rāmā dan Lakṣmana. Sebelum
berjumpa dengan Sugrivā, Rāmā bertemu dengan Hanumān yang menyamar menjadi
brahmana. Setelah bercakap-cakap agak lama, Hanumān menampakkan wujud aslinya.
Setelah mengetahui bahwa Rāmā dan Lakṣmana adalah orang baik, Hanumān
mempersilakan mereka untuk menemui Sugrivā. Di hadapan Rāmā, Sugrivā menyambut
kedatangan Rāmā di istananya. Tak berapa lama kemudian mereka saling menceritakan
masalah masing-masing. Pada suatu ketika, rakshasa bernama Mayawi datang ke
Kiskenda untuk menantang berkelahi dengan Subali. Subali yang tidak pernah menolak
jika ditantang berkelahi menyerang Mayawi dan diikuti oleh Sugrivā . Melihat
lawannya ada dua orang, raksasa tersebut lari ke sebuah gua besar. Subali
mengikuti raksasa tersebut dan menyuruh Sugrivā menunggu di luar. Beberapa lama
kemudian, Sugrivā mendengar suara teriakan diiringi dengan darah segar yang mengalir
keluar. Karena mengira bahwa Subali telah tewas, Sugrivā menutup gua tersebut
dengan batu yang sangat besar agar sang raksasa tidak bisa keluar. Kemudian
Sugrivā kembali ke Kiskenda dan didesak untuk menjadi raja karena Subali telah
dianggap tewas. Saat Sugrivā menikmati masa-masa kekuasaannya, Subali datang
dan marah
besar
karena Sugrivā telah mengurungnya di dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali
mengusir Sugrivā jauh-jauh dan merebut istrinya pula. Sugrivā dengan rendah hati
minta maaf kepada Subali, namun permohonan maafnya tidak diterima Subali. Akhirnya
Subali menjadi raja Kiṣkindha sedangkan Sugrivā beserta pengikutnya yang setia
bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan asrama Ṛsī Matanga, dimana Subali
tidak akan berani untuk menginjakkan kakinya di daerah itu. Akhirnya Rāmā dan
Sugrivā mengadakan perjanjian bahwa mereka akan saling tolong menolong. Rāmā
berjanji akan merebut kembali Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugrivā
berjanji akan membantu Rāmā mencari Sītā. Akhirnya Rāmā dan Sugrivā menjalin
persahabatan dan berjanji akan saling membantu satu sama lain.
Setelah
menyusun suatu rencana, mereka datang ke Kiskenda. Di pintu gerbang istana Kiskenda,
Sugrivā berteriak menantang Subali. Karena merasa marah, Subali keluar dan
bertarung dengan Sugrivā. Setelah petarungan sengit berlangsung beberapa lama,
Sugrivā makin terdesak sementara Subali makin garang. Akhirnya Rāmā muncul untuk
menolong Sugrivā dengan melepaskan panah saktinya ke arah Subali. Panah sakti
tersebut menembus dada Subali yang sekeras intan kemudian membuatnya jatuh tak
berkutik. Saat sedang sekarat, Subali memarahi Rāmā yang mencampuri urusannya.
Ia juga berkata bahwa Rāmā tidak mengetahui sikap seorang ksatria. Rāmā
tersenyum mendengar penghinaan Subali kemudian menjelaskan bahwa andai saja
Subali tidak bersalah, tentu panah yang dilepaskan Rāmā tidak akan menembus
tubuhnya, melainkan akan menjadi bumerang bagi Rāmā. Setelah mendengar
penjelasan Rāmā, Subali sadar akan dosa dan kesalahannya terhadap adiknya.
Akhirnya ia merestui Sugrivā menjadi Raja Kiskenda serta menitipkan anaknya
yang bernama Anggada untuk dirawat oleh Sugrivā . Tak berapa lama kemudian,
Subali menghembuskan napas terakhirnya. Setelah Subali wafat, Sugrivā
bersenang-senang di istana Kiskenda, sementara Rāmā dan Lakṣmana menunggu kabar
dari Sugrivā di sebuah gua. Karena sudah lama menunggu, Rāmā mengutus Lakṣmana
untuk memperingati Sugrivā agar memenuhi janjinya menolong Sītā. Tiba di pintu
gerbang Kiskenda, Sugrivā yang diwakili Hanumān meminta maaf kepada Rāmā karena
melupakan janji mereka untuk mencari Sītā. Akhirnya Sugrivā mengerahkan
prajuritnya yang terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sītā.
Prajurit
pilihan Sugrivā terdiri atas Hanumān, Nila, Jembawan, Anggada, Gandamadana, dan
lain-lain. Hanumān lahir pada masa Tretayuga sebagai putra Anjani, seekor
wanara wanita.
Dahulu
Anjani sebetulnya merupakan bidadari, bernama Punjikastala. Namun karena suatu
kutukan,
ia terlahir ke dunia sebagai wanara wanita. Kutukan tersebut bisa berakhir
apabila
ia
melahirkan seorang putra yang merupakan penitisan Siwa. Anjani menikah dengan
Kesari, seekor wanara perkasa. Bersama dengan Kesari, Anjani melakukan tapa ke
hadapan Siwa agar Siwa bersedia menjelma sebagai putra mereka. Karena Siwa
terkesan dengan pemujaan yang dilakukan oleh Anjani dan Kesari, ia mengabulkan
permohonan mereka dengan turun ke dunia sebagai Hanumān. Pada saat Hanumān
masih kecil, ia mengira matahari adalah buah yang bisa
dimakan,
kemudian terbang ke arahnya dan hendak memakannya. Dewa Indra melihat hal itu
dan menjadi cemas dengan keselamatan matahari. Untuk mengantisipasinya, ia melemparkan
petirnya ke arah Hanumān sehingga kera kecil itu jatuh dan menabrak gunung.
Melihat hal itu, Dewa Bayu menjadi marah dan berdiam diri. Akibat tindakannya,
semua makhluk di bumi menjadi lemas. Para Dewa pun memohon kepada Bayu agar
menyingkirkan kemarahannya. Dewa Bayu menghentikan kemarahannya dan Hanumān
diberi hadiah melimpah ruah. Dewa Brahma dan Dewa Indra memberi anugerah bahwa
Hanumān akan kebal dari segala senjata, serta kematian akan datang hanya dengan
kehendaknya sendiri. Maka dari itu, Hanumān menjadi makhluk yang abadi atau
Chiranjiwin. Saat bertemu dengan Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān merasakan
ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda permusuhan dari kedua pemuda
itu. Rāmā dan Lakṣmana juga terkesan dengan etika Hanumān. Kemudian mereka bercakap-cakap
dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat hidupnya masing-masing. Rāmā juga menceritakan
keinginannya untuk menemui Sugrivā . Karena tidak curiga lagi kepada Rāmā dan
Lakṣmana, Hanumān kembali ke wujud asalnya dan mengantar Rāmā dan Lakṣmana
menemui Sugrivā. Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri sebuah
gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas
keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi
ke alam para Dewa. Lalu Hanumān menceritakan maksud perjalanannya dengan
panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanumān
dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap. Di
pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa
yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai
hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sītā
dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara
menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang
lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara
tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan
tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih
setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar
sampai di Alengka. Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara lainnya bertemu
dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai
tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar
percakapan para wanara mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih
dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi.
Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati.
Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana
yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja
raksasa bernama Rāvaṇa. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan
Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka. Karena bujukan
para wanara, Hanumān teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan
agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar
menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sītā. Ia melihat Alengka sebagai benteng
pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat
penduduknya menyanyikan mantra-mantra Veda dan lagu pujian kemenangan kepada
Rāvaṇa. Namun tak jarang ada orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata
lengkap. Kemudian ia datang ke istana Rāvaṇa dan mengamati wanitawanita cantik
yang tak terhitung jumlahnya, namun ia tidak melihat Sītā yang sedang
merana.
Setelah mengamati ke sana-kemari, ia memasuki sebuah taman yang belum pernah
diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan murung yang diyakininya
sebagai Sītā. Sundarakāṇḍa adalah kitab kelima Rāmāyana. Dalam kitab ini
diceritakan bagaimana sang Hanumān datang ke Alengkapura mencari tahu akan
keadaan Dewi Sītā dan membakar kota Alengkapura karena iseng. Inti dari kisah
Rāmāyana adalah penculikan Sītā oleh Rāvaṇa raja Kerajaan Alengka yang ingin
mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh
serangan Rāmā yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda. Kemudian
Hanumān melihat Rāvaṇa merayu Sītā. Setelah Rāvaṇa gagal dengan rayuannya dan
pergi meninggalkan Sītā, Hanumān menghampiri Sītā dan menceritakan maksud
kedatangannya. Mulanya Sītā curiga, namun kecurigaan Sītā hilang saat Hanumān
menyerahkan cincin milik Rāmā. Hanumān juga menjanjikan bantuan akan segera
tiba. Hanumān menyarankan agar Sītā terbang bersamanya kehadapan Rāmā, namun
Sītā menolak. Ia mengharapkan Rāmā datang sebagai ksatria sejati dan dating ke
Alengka untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian Hanumān mohon restu dan pamit dari
hadapan Sītā. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rāvaṇa.
Ia membunuh ribuan tentara termasuk prajurit pilihan Rāvaṇa seperti Jambumali
dan Aksha. Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata Brahma Astra.
Senjata itu memilit tubuh Hanumān. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara
raksasa menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma
Astra bisa dilepaskan Hanumān kapan saja, namun Hanumān belum bereaksi karena
menunggu saat yang tepat. Ketika Rāvaṇa hendak memberikan hukuman mati kepada
Hanumān, Vibhīsaṇa membela Hanumān agar hukumannya diringankan, mengingat
Hanumān adalah seorang utusan. Kemudian Rāvaṇa menjatuhkan hukuman agar ekor
Hanumān
dibakar.
Melihat hal itu, Sītā berdo’a agar api yang membakar ekor Hanumān menjadi
sejuk.
Karena
do’a Sītā kepada Dewa Agni terkabul, api yang membakar ekor Hanumān menjadi
sejuk.
Lalu ia memberontak dan melepaskan Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan
ekor
menyala-nyala seperti obor, ia membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi
lautan
api. Setelah menimbulkan kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api
di ekornya padam. Penghuni surga memuji keberanian Hanumān dan berkata bahwa
selain kediaman Sītā, kota Alengka dilalap api. Dengan membawa kabar gembira,
Hanumān menghadap Rāmā dan menceritakan keadaan Sītā. Setelah itu, Rāmā menyiapkan
pasukan wanara untuk menggempur Alengka.
Yuddhakāṇḍa adalah kitab keenam epos Rāmāyana
dan sekaligus klimaks epos ini. Dalam kitab ini diceritakan sang Rāmā dan
sang raja kera Sugrivā mengerahkan bala tentara kera menyiapkan penyerangan
Alengkapura. Karena Alengka ini terletak pada sebuah pulau, sulitlah bagaimana
mereka harus menyerang. Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat
jembatan bendungan (situbanda) dari daratan ke pulau Alengka. Para bala tentara
kera dikerahkan. Pada saat pembangunan jembatan ini mereka banyak diganggu
tetapi akhirnya selesai dan Alengkapura dapat diserang. Syahdan terjadilah perang
besar. Para raksasa banyak yang mati dan prabu Rāvaṇa gugur di tangan Śrī Rāmā.
Saat Rāmā dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka, Vibhīsaṇa, adik Sang Rāvaṇa,
datang menghadap Rāmā dan mengaku akan berada di pihak Rāmā. Setelah ia
menjanjikan persahabatan yang kekal, Rāmā menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun
Rāvaṇa masih hidup dan belum dikalahkan. Kemudian Rāmā dan pemimpin wanara
lainnya berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak
semua prajuritnya bisa terbang. Akhirnya Rāmā menggelar suatu upacara di tepi
laut untuk memohon bantuan dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rāmā berdo’a
dan
tidak mendapat jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur
dan panahnya untuk mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna
datang menghadap Rāmā dan memohon maaf atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan
agar para wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau
mengurangi kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah
bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat
dan diberi nama “Situbanda”. Setelah jembatan rampung, Rāmā dan pasukannya
menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara
Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rāvaṇa segera mengirim mata-mata untuk
menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka. Penyamaran mata-mata Rāvaṇa
sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu, kecuali Vibhīsaṇa. Kemudian
Vibhīsaṇa menangkap mata-mata tersebut dan membawanya ke hadapan Rāmā. Di hadapan
Rāmā, mata-mata tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka hanya
menjalankan perintah. Akhirnya Rāmā mengizinkan mata-mata tersebut untuk
melihat-lihat kekuatan tentara Rāmā dan berpesan agar Rāvaṇa segera
mengambalikan Sītā. Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati
Rāmā dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Rāmā. Ketika Indrajit
melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan, Lakṣmana dating bersama pasukan
wanara dan merusak lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian perang
terjadi. Lakṣmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera melepaskan
senjata panah Indrāstra. Senjata tersebut memutuskan leher Indrajit dari
badannya sehingga ia tewas seketika. Atas jasanya tersebut, Rāmā memuji Lakṣmana
serta para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga. Dalam pertempuran
besar antara Rāmā dan Rāvaṇa, Hanumān membasmi banyak tentara rakshasa. Saat
Rāmā, Lakṣmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh senjata Nagapasa
yang sakti, Hanumān pergi ke Himalaya atas saran Jembawan untuk menemukan
tanaman obat. Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri pohon yang dimaksud,
Hanumān memotong gunung tersebut dan membawa potongannya ke hadapan Rāmā.
Setelah Rāmā dan prajuritnya pulih kembali, Hanumān melanjutkan pertarungan dan
membasmi banyak pasukan rakshasa. Pada hari pertempuran terahir, Dewa Indra
mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya kepada Rāmā. Kusir kereta tersebut
bernama Matali, siap melayani Rāmā. Dengan kereta ilahi tersebut, Rāmā melanjutkan
peperangan yang berlangsung dengan sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu
bertahan. Akhirnya Rāmā
melepaskan
senjata Brahma Astra ke dada Rāvaṇa. Senjata sakti tersebut mengantar Rāvaṇa
menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena menyaksikan
kemenangan Rāmā. Vibhīsaṇa meratapi jenazah kakaknya dan sedih karena
nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan upacara pembakaran
jenazah yang layak bagi Rāvaṇa kemudian memberikan wejangan kepada Vibhīsaṇa
untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rāvaṇa dikalahkan. Berkat
bantuan Sugrivā raja bangsa Wanara, serta Vibhīsaṇa adik Rāvaṇa, Rāmā berhasil
mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rāvaṇa, Rāmā pun menyuruh
Hanumān untuk masuk ke dalam istana menjemput Sītā. Hal ini sempat membuat Sītā
kecewa karena ia berharap Rāmā yang datang sendiri dan melihat secara
langsung
tentang keadaannya. Setelah mandi dan bersuci, Sītā menemui Rāmā. Rupanya Rāmā
merasa sangsi terhadap kesucian Sītā karena istrinya itu tinggal di dalam
istana musuh dalam waktu yang cukup lama. Menyadari hal itu, Sītā pun menyuruh
Lakṣmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api
unggun. Tak lama kemudian Sītā melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api
tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sītā dalam keadaan
hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sītā sehingga Rāmā pun dengan lega
menerimanya kembali. Sītā kembali ke pelukan Rāmā dan mereka kembali ke Ayodhyā
bersama Lakṣmana, Sugrivā, Hanumān dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhyā,
mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Di sana para wanara diberi hadiah
oleh Rāmā atas jasa-jasanya. Di Ayodhyāpura mereka disambut oleh prabu
Barata dan beliau menyerahkan kerajaannya kepada sang Rāmā. Śrī Rāmā lalu
memerintah di Ayodhyāpura dengan bijaksana. Salah satu versi Rāmāyana
menceritakan bahwa Rāvaṇa tidak mampu dibunuh meski badannya dihancurkan
sekalipun, sebab ia menguasai ajian Rawarontek serta Pañcasona. Untuk
mengakhiri riwayat Rāvaṇa, Rāmā menggunakan senjata sakti yang dapat berbicara
bernama Kyai Dangu. Senjata tersebut mengikuti kemana pun Rāvaṇa pergi untuk
menyayat kulitnya. Setelah Rāvaṇa tersiksa oleh serangan Kyai Dangu, ia memutuskan
untuk bersembunyi di antara dua gunung kembar. Saat ia bersembunyi, perlahan-lahan
kedua gunung itu menghimpit badan Rāvaṇa sehingga raja raksasa itu tidak
berkutik. Menurut cerita, kedua gunung tersebut adalah kepala dari Sondara dan Sondari,
yaitu putra kembar Rāvaṇa yang dibunuh untuk mengelabui Sītā.
Kitab
Uttarakāṇḍa menceritakan kisah pembuangan Dewi Sītā karena Sang Rāmā mendengar
desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi Sītā. Kemudian Dewi
Sītā tinggal di pertapaan Ṛsī Valmiki dan melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa
datang ke istana Sang Rāmā pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka
menyanyikan Rāmāyana yang digubah oleh Ṛsī Valmiki. Uttarakanda adalah kitab
ke-7 Rāmāyana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab
Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya
tidak diketemukan dalam Kakawin Rāmāyana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini
ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh. Setelah Rāvaṇa berhasil
dikalahkan, Rāmā, Lakṣmana dan Sītā beserta para wanara pergi ke Ayodhyā.
Di sana mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Lakṣmana hendak dianugerahi
Yuwaraja oleh Rāmā, namun ia menolak karena merasa Bharata lebih pantas
menerimanya dibandingkan dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhyā dengan
baik dan bijaksana selama Rāmā dan Lakṣmana tinggal di hutan.
Setelah
pertempuran besar melawan Rāvaṇa berakhir, Rāmā juga hendak memberikan hadiah
untuk Hanumān. Namun Hanumān menolak karena ia hanya ingin agar Śrī Rāmā
bersemayam di dalam hatinya. Rāmā mengerti maksud Hanumān dan bersemayam secara
rohaniah dalam jasmaninya. Akhirnya Hanumān pergi bermeditasi di puncak gunung
mendo’akan keselamatan dunia.
Setelah
pulang ke Ayodhyā, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana disambut oleh Bharata dengan
upacara
kebesaran.
Bharata kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rāmā sebagai raja. Dalam
pemerintahan
Rāmā terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian
Sītā
di dalam istana Rāvaṇa. Rāmā merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut.
Ia akhirnya memutuskan untuk membuang Sītā yang sedang mengandung ke dalam
hutan. Dalam pembuangannya itu, Sītā ditolong seorang Ṛsī bernama Valmiki dan diberi
tempat tinggal.
Beberapa
waktu kemudian, Sītā melahirkan sepasang anak kembar diberi nama Lawa dan Kusa.
Keduanya dibesarkan dalam asrama Ṛsī Valmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan
nama Rāmācandra, ayah mereka. Suatu ketika Rāmā mengadakan upacara Aswamedha.
Ia melihat dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang
menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya dahulu. Rāmā pun menyadari kalau
kedua pemuda yang tersebut yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan anak-anaknya
sendiri. Atas permintaan Rāmā melalui Lawa dan Kusa, Sītā pun dibawa kembali ke
Ayodhyā. Namun masih saja terdengar desas-desus kalau kedua anak kembar
tersebut bukan anak kandung Rāmā. Mendengar hal itu, Sītā pun bersumpah jika ia
pernah berselingkuh maka bumi tidak akan sudi menerimanya. Tiba-tiba bumi pun
terbelah. Dewi Pertiwi muncul dan membawa Sītā masuk ke dalam tanah.
Menyaksikan hal itu Rāmā sangat sedih. Ia pun menyerahkan takhta Ayodhyā dan
setelah itu bertapa di Sungai Gangga sampai akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment