Astāngga Yoga
”Pratena
dikṡām āpnoti dikṣāya āpnoti dakṣiṇām,
dakṣinā
ṡraddhām āpnoti ṡraddhāya satyam āpyate”.
”Melalui pengabdian kita memperoleh
kesucian, dengan kesucian kita
mendapat kemuliaan.
Dengan kemuliaan kita mendapat
kehormatan dan dengan kehormatan kita
memperoleh kebenaran”
(Yajur veda XIX.30).
Dalam menjalankan yoga ada tahap-tahap
yang harus ditempuh yang disebut dengan Astāngga yoga. Maksudnya adalah delapan
tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan yoga. Adapun bagian-bagian dari
Astāngga yoga yaitu yama (pengendalian diri unsur jasmani), nyama (pengendalian
diri unsur-unsur rohani), asana (sikap tubuh), pranayama (latihan pernafasan),
pratyahara (menarik semua indrinya ke dalam), dharana (telah memutuskan untuk
memusatkan diri dengan Tuhan), dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri
serta nama Sang Hyang Widhi Wasa), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu
atau kesendirian yang sempurna atau merealisasikan diri). Di bawah ini
dijelaskan bagian-bagian dari Astāngga yoga yang dimaksud antara lain sebagai
berikut:
Panca Yama Brata adalah lima pengendalian diri tingkat jasmani yang harus dilakukan tanpa kecuali. Gagal melakukan pantangan dasar ini maka seseorang tidak akan pernah bisa mencapai tingkatan berikutnya. Penjabaran kelima Yama Bratha ini diuraikan dengan jelas dalam patanjali yoga sūtra II.35 – 39.
- Ahimsa atau tanpa kekerasan. Jangan melukai mahluk lain manapun dalam pikiran, perbuatan atau perkataan (Patanjali Yoga Sūtra II.35).
- Satya atau kejujuran/kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, atau pantangan akan kecurangan, penipuan dan kepalsuan (Patanjali Yoga Sūtra II.36).
- Astya atau pantang menginginkan segala sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Atau dengan kata lain pantang melakukan pencurian baik hanya dalam pikiran, perkataan apalagi dalam perbuatan (Patanjali Yoga Sūtra II.37).
- Brahmacarya atau berpantang kenikmatan seksual (Patanjali Yoga Sūtra II.38).
- Aparigraha atau pantang akan kemewahan; seorang praktisi yoga (yogin) harus hidup sederhana (Patanjali Yoga Sūtra II.38).
Panca
Yama Brata adalah lima pengendalian diri tingkat rohani dan sebagai pendukung
dari pantangan dasar sebelumnya diuraikan dalam Patanjali Yoga Sūtra
II.40-45.
- Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut (Patanjali Yoga Sūtra II.40). Sauca juga menganjurkan kebajikan sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan hal-hal berikut : Saumanasya atau keriangan hati, Ekagrata atau pemusatan pikiran, Indriajaya atau pengawasan nafsu-nafsu, Atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sūtra II.41).
- Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi yoga ke dalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental (Patanjali Yoga Sūtra II.42).
- Tapa atau mengekang. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sūtra II.43).
- Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-samprayogah, persatuan dengan apa yang dicitacitakannya (Patanjali Yoga Sūtra II.44).
- Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Sang Hyang Widhi yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi (Patanjali Yoga Sūtra II.45).
Asana
adalah sikap duduk pada waktu melaksanakan yoga. Buku Yogasutra tidak mengharuskan
sikap duduk tertentu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada siswa sikap duduk
yang paling disenangi dan relaks, asalkan dapat menguatkan konsentrasi dan
pikiran, dan tidak terganggu karena badan merasakan sakit akibat sikap duduk
yang dipaksakan. Selain itu sikap duduk yang dipilih agar dapat berlangsung
lama, serta mampu mengendalikan sistem syaraf sehingga terhindar dari
goncangan-goncangan pikiran. Sikap duduk yang relaks antara lain silasana (bersila)
bagi laki-laki dan bajrasana (bersimpuh, menduduki tumit) bagi wanita, dengan
punggung yang lurus dan tangan berada di atas kedua paha, telapak tangan menghadap
ke atas.
4. Pranayama
Pranayama
adalah pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lubang hidung dengan
tujuan menyebarkan prana (energi) ke seluruh tubuh. Pada saat manusia menarik
nafas mengeluarkan suara So, dan saat mengeluarkan nafas berbunyi Ham.
Dalam bahasa Sansekerta So berarti energi kosmik, dan Ham berarti
diri sendiri (saya). Ini berarti setiap detik manusia mengingat diri dan energi
kosmik. Pranayama terdiri dari puraka yaitu memasukkan nafas, kumbhaka yaitu
menahan nafas, dan recaka yaitu mengeluarkan nafas. Puraka, kumbhaka dan recaka
dilaksanakan pelanpelan bertahap masing-masing dalam tujuh detik. Hitungan
tujuh detik ini dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan ketujuh cakra yang ada
dalam tubuh manusia yaitu muladhara yang terletak di pangkal tulang punggung di
antara dubur dan kemaluan, svadishthana yang terletak di atas kemaluan,
manipura yang terletak di pusar, anahata yang terletak di jantung, vishuddha
yang terletak di leher, ajna yang terletak di tengah-tengah kedua mata, dan
sahasrara yang terletak di ubun-ubun.
5. Pratyahara
Pratyahara
adalah penguasaan panca indra oleh pikiran sehingga apa pun yang diterima panca
indra melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indra adalah
pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa dan peraba. Pada umumnya indra
menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan
memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan
(nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangangoncangan. Jadi
yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indra. Untuk jelasnya mari kita kutip
pernyataan dari Maharsi Patanjali sebagai berikut
“Swa
Viyasa Asamprayoga,
Cittayasa
Svarupa Anukara,
Iva
Indrayanam Pratyaharah,
tatah
Parana Vasyata Indriyanam”
“Pratyahara terdiri dari pelepasan alat-alat
indra dan nafsunya masing-masing, serta menyesuaikan alat-alat indra dengan
bentuk citta (budi) yang murni. Makna yang lebih luas sebagai berikut
pratyahara hendaknya dimohonkan kepada Sang Hyang Widhi dengan konsentrasi yang
penuh agar mata rantai olah pikiran ke nafsu terputus”.
6. Dharana
Dharana
artinya mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi. Objek
itu dapat berada dalam tubuh kita sendiri, misalnya “selaning lelata” (selasela
alis) yang dalam keyakinan Sivaism disebut sebagai “trinetra” atau mata ketiga Siwa.
Dapat pula pada “tungtunging panon” atau ujung (puncak) hidung sebagai objek
pandang terdekat dari mata. Para sulinggih (pendeta) di Bali banyak yang menggunakan
ubun-ubun (sahasrara) sebagai objek karena di saat “ngili atma” di ubun-ubun
dibayangkan adanya padma berdaun seribu dengan mahkotanya berupa atman yang
bersinar “spatika” yaitu berkilau bagaikan mutiara. Objek lain di luar tubuh
manusia misalnya bintang, bulan, matahari, dan gunung. Penggunaan bintang sebagai
objek akan membantu para yogin menguatkan pendirian dan keyakinan pada ajaran
Dharma, jika bulan yang digunakan membawa ke arah kedamaian batin, matahari
untuk kekuatan jasmani, dan gunung untuk kesejahteraan. Objek di luar badan
yang lain misalnya patung dan gambar dari dewa-dewi, guru spiritual, yang
bermanfaat bagi terserapnya vibrasi kesucian dari objek yang ditokohkan itu.
Kemampuan pengikut yoga melaksanakan dharana dengan baik akan dapat memudahkan
yang bersangkutan mencapai dhyana dan samadhi.
7. Dhyana
Dhyana
adalah suatu keadaan di mana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek
yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan
atau godaan lain baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan atau godaan
yang nyata dirasakan oleh panca indra baik melalui pendengaran, penglihatan,
penciuman, pengecap maupun peraba. Gangguan atau godaan yang tidak nyata adalah
dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek dharana. Tujuan dhyana
adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Sang Hyang Widhi melalui objek
dharana. Lebih jelasnya Yogasutra Maharsi Patanjali menyatakan : “Tantra
Pradyaya Ekatana Dhyanam” terjemahannya, arus buddhi (pikiran) yang tiada
putus-putusnya menuju tujuan (Sang Hyang Widhi). Kaitan antara pranayama,
pratyahara dan dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai
berikut ”Pranayamair Dahed Dosan, Dharanbhisca Kilbisan,Pratyaharasca
Sansargan, Dhyanena Asnan Gunan”. Artinya, dengan pranayama terbuanglah kotoran
badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran ikatan (pada
objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang
berada di antara manusia dan Sang Hyang Widhi.
8. Samadhi
Samadhi
adalah tingkatan tertinggi dari Astāngga yoga, yang dibagi dalam dua keadaan
yaitu:
- Samprajnatta samadhi atau Sabija samadhi, adalah keadaan di mana yogin masih mempunyai kesadaran.
- Asamprajnata samadhi atau Nirbija samadhi, adalah keadaan di mana yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena batinnya penuh diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Sang Hyang Widhi. Baik dalam keadaan Sabija samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogin merasa sangat berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak merasa memiliki apa pun, tidak mempunyai keinginan, pikiran yang tidak tercela, bebas dari “Catur Kalpana” (yaitu : tahu, diketahui, mengetahui, pengetahuan), tidak lalai, tidak ada ke-”aku”-an, tenang, tentram dan damai. Samadhi adalah pintu gerbang menuju moksa. Ini dikarenakan unsur-unsur moksa sudah dirasakan oleh seorang yogin. Samadhi yang dapat dipertahankan terus-menerus keberadaannya, akan sangat memudahkan pencapaian moksa.
Jnanani Manasa Saha,
Buddhis Ca Na
Vicestati,
tam Ahuh Paramam
Gatim”
“Bilamana panca indra dan pikiran berhenti
dari kegiatannya dan buddhi sendiri kokoh dalam kesucian, inilah keadaan
manusia yang tertinggi.”
(Katha Upanisad
II.3.1)
No comments:
Post a Comment