Istri dalam Siva Purana
Kedudukan Istri Menurut Siva Purana
Dalam berumah tangga, wanita memiliki peranan penting, dialah sang
pengelola rumah tangga
sejati. Dalam sebuah keluarga, tanpa kehadiran seorang
wanita, tak akan ada korban suci yang berpahala, oleh karena itulah istri
memiliki tugas dan kewajiban yang sangat mulia, dan sangat berat. Barangkali
jaman sekarang tak lagi kita bisa menemukan istri yang mampu menjadi wanita
suci sesuai perintah agama.Kitab suci menyatakan, ‘Istri adalah akar dari rumah tangga dan
adalah kebahagiaan sebuah rumah tangga, dia adalah sumber dari buah kebahagiaan
dan kesemarakan keluarga’ (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.64). Oleh
karena itu, seorang istri wajib mendapat penghormatan dalam sebuah keluarga.
Bagi seorang suami, istri adalah ratu, dia adalah perwujudan Laksmi, dewi
kemakmuran. Kitab suci menyatakan, “Wanita harus dihormati dan disayangi
oleh ayahnya, kakak- kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki
kesejahteraan sendiri. Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa merasa
senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun
yang berpahala. (Manawa Dharmasastra III.55-56).Untuk menciptakan kedamaian dan kemakmuran dalam keluarga,
dibutuhkan kehadiran wanita suci atau istri yang berbhakti kepada suami. Kitab
Siva Purana menyebutkan bahwa wanita suci bisa didapatkan melalui pengabdian
yang tulus kepada Tuhan (Mahadewa). Seorang istri suci atau wanita suci
memiliki perilaku yang sangat mulia. Dalam Kitab Siva Purana, sifat-sifat
wanita diklasifikasi menjadi empat kelas, yang utama, menengah, baik dan
kurang. Sifat-sifat atau kewajiban wanita suci uraiannya seperti kisah berikut:Setelah dewi Parwati melakukan upacara pamitan kepada kedua orang
tuanya, Menaka (Menawati) dan himawan (Himnares), kedua orang tuanya sangat
sedih. Untuk itu, Menaka dan Himawan memohon kepada dewa Siva untuk berkenan
tinggal di Istana kerajaan himawan beberapa hari lagi, dewa Siva pun
mengabulkannya untuk menyenangkan hati raja gunung dan permasisurinya,
Menawati.Beberapa hari kemudian, keluarga mempelai perempuan mempersiapkan
upacara perjalanan rombongan mempelai laki-laki. Ketika dewi Parvati dan dewa
Siva beserta rombongan akan kembali ke Kailasha (kahyangan dewa Siva), seorang
wanita brahmana memberikan petunjuk/petuah tentang kewajiban wanita suci kepada
Parvati sesuai adat keduniwiaan.Brahmana itu berkata:O Parvati, dengarkanlah
kata-kataku dengan penuh kasih yang sesuai dengan kebenaran, yang akan
meningkatkan keyakinan di bumi maupun alam setelahnya dan akan memberikan
kebahagiaan kepada mereka yang mau melaksanakannya. Seorang wanita yang suci,
akan menyucikan dunia dan akan terberkati senantiasa. Tidak ada lagi hal lain
yang paling agung dari hal ini. Parvati, dia yang melayani suaminya dengan
penuh kasih dan menganggap-Nya sebagai dewa, akan menikmati kebahagiaan dunia
dan akhirat serta pembebasan bersama suaminya itu. (Siva Purana, Rudresvara
Samitha III.LIV.8-10). Kewajiban seorang wanita yang suci adalah sangat penting dan telah
disebutkan dalam Veda dan berbagai kitab Smrti. Tidak ada tugas dan kewajiban
lain yang lebih agung daripada kewajiban seorang wanita suci. Seorang wanita
yang suci hanya akan mengambil makanan setelah suaminya mengambil makanan
terlebih dahulu. Jika sang suami berdiri, maka sang istri juga harus berdiri.
Jika ia tidur, maka dia juga harus tidur. Akan tetapi seorang istri yang baik
harus senantiasa bangun lebih dahulu dari seorang suami. Dia harus melakukan hal-hal
yang berguna untuk suaminya. Dia harus mencintai suaminya tanpa ada rasa
penghianatan atau penipuan. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.15-17).Parvati, seorang istri tidak boleh memperlihatkan diri-Nya tanpa
perhiasan atau tidak rapi pada suaminya. Dan jika sang suami harus melakukan
tugas di tempat yang jauh untuk beberapa waktu maka dia tidak boleh menghias
diri-Nya secara berlebihan. Seorang istri yang baik tidak akan pernah menyebut
nama suaminya (nama mudanya). Jika sang suami memarahinya, maka dia tidak boleh
membalas menyakiti hati suaminya. Bahkan jika dia disakiti dia akan tetap diam
dan dengan senang hati hati berkata’Hamba boleh anda bunuh sekalipun.
Berkenanlah kepada hamba’. Jika sang suami memanggil, maka dia akan segera
meninggalkan pekerjaan yang dilakukannya dan segera menemuinya. Dengan tangan
tercakupkan penuh hormat dan kasih dia harus bersujud kepadanya dan berkata
demikian. “Tuan berkenanlah mengatakan, untuk apa hamba dipanggil.” Kapanpun
jika dipanggil atau diperintahkan padanya maka dia harus dengan senang hati
melakukannya. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.19-21).Dia tidak boleh berdiri di pintu utama untuk waktu yang lama. Dia
juga tidak boleh pergi ke rumah orang tanpa tujuan yang jelas. Dia tidak boleh
mengambil uang suaminya, hanya untuk diberikan kepada orang lain, walaupun
jumlahnya sedikit. Tanpa harus diberitahu, dia harus membuat berbagai persiapan
untuk melakukan puja sehari-hari. Dia juga harus memperhatikan saat-saat dimana
dia bisa melakukan pelayanan sewaktu-waktu kepada suaminya. Tanpa seijin
suaminya, dia bahkan tidak boleh pergi melakukan sembahyang suci. Dia harus
mengekang keinginan untuk bisa menghadiri keramaian atau pesta pora. (Siva
Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.22-24).Dia tidak boleh mengambil makanan sebelum melakukan persembahan
kepada dewa-dewa, leluhur, tamu, pelayan, atau orang suci. Seorang wanita suci
yang berhati lembut hendaknya selalu pintar dalam mengelola rumah tangga
walaupun dengan bahan-bahan yang terbatas. Dia hendaknya tidak membuang-buang
kekayaan dengan sia-sia. Tanpa ijin suaminya, dia tidak boleh melakukan puasa
atau ritual apapun juga. Karena tanpa ijin suaminya maka tidak ada pahala yang
akan didapatkannya Jika sang suami sedang duduk atau larut dalam suatu pekerjaan,
maka dia tidak boleh mengganggu atau menyela untuk melakukan pekerjaan lain.
Meskipun seorang suami impoten, menderita, sakit atau gila, sedih atau bahagia,
namun seorang suami harus senantiasa dihormati. (Siva Purana, Rudresvara
Samitha III.LIV.27-31).Tiga hari masa haidnya, dia tidak boleh berhadapan ataupun
berbicara dengan suaminya. Dia juga tidak berbicara langsung padanya hingga
masa bersihnya tiba kembali. Setelah pemandian sucinya dia harus memandangi
suaminya dan tidak boleh memandangi orang lain. Lalu setelah merenungkan
suaminya maka dia harus menatap matahari. (Siva Purana, Rudresvara Samitha
III.LIV.32-33).Seorang wanita suci tidak akan pernah bergaul dengan wanita
nelayan, seorang wanita nakal, pertapa wanita, atau seorang wanita rendahan.
Dia tidak boleh berbicara pada wanita yang merendahkan suaminya atau membenci
suami mereka. Dia tidak boleh berdiri sendiri di suatu tempat dan tidak boleh
melakukan permandian dengan tubuh telanjang. (Siva Purana, Rudresvara Samitha
III.LIV.36-37).…pada saat melakukan hubungan seksual maka dia tidak boleh
memperlihatkan kedewasaannya dan inisiatifnya. Dia harus belajar menyukai apa
saja yang disukai oleh suaminya. Seorang wanita suci akan merasa senang jika
suaminya senang dan sedih jika suaminya sedih. Dia harus senantiasa mendoakan
kesejahteraan suaminya. Dia harus senantiasa bijaksana dan penuh pelayanan
kepada suaminya meskipun pada saat menderita atau bahagia. Dia harus memiliki
rasa hormat dan tidak pernah melenceng atau berbuat serong. (Siva Purana,
Rudresvara Samitha III.LIV.39-41).Seorang wanita suci tidak akan pernah mengambil tempat duduk lebih
tinggi dari sumainya dan tidak akan pernah mendekati orang jahat, dan tidak
berbicara pada suaminya dalam keadaan marah atau teragitasi. Dia harus menghindari
kata – kata penghinaan, menghindari pertengkaran, dan tidak berbicara dengan
nada tinggi atau tertawa dihadapan tetua. Seorang istri yang berhasil
membahagiakan suaminya berarti telah membahagiakan dunia. Jika melihat suaminya
pulang, maka dia harus bergegas untuk melayani dan memberikan makanan serta air
minum padanya, dengan tangan memegang daun sirih, dan mengganti pakaiannya dan
menyenangkannya dengan memijit agar lelah suaminya hilang. Dengan kata-kata
yang menyenangkan dia harus menghibur dan berusaha menghilangkan penat atau
sedihnya. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.46-49).Bagi seorang istri, suami adalah dewa, penasehat, pelindung,
kebajikan, tempat suci, dan ritual suci. Dia harus membuang segalanya dan hanya
memuja [menghormati] beliau. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.51).Dia yang memakan makanan enak dengan mengabaikan suaminya akan
lahir sebagai seekor babi atau kambing liar yang memakan tahinya sendiri. Dia
yang menyapa suaminya dengan kata-kata yang pedas atau jahat akan lahir menjadi
orang bisu. Dia yang senantiasa iri hati pada istri lain dari suaminya akan
mengalami takdir yang tidak baik berulang-ulang. Dia yang memandangi atau
melirik laki-laki lain tanpa sepengetahuan suaminya akan menjadi orang bermata
satu dan buruk rupa. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.54-56).Tiga anggota keluarga dalam rumah, seorang ayah, ibu, dan suami
akan menikmati kebahagiaan di surga karena pahala wanita suci. Seorang wanita
yang tidak setia akan menghancurkan keluarga, ayah, ibu dan suaminya dan akan
menyebabkan kesedihan dan penderitaannya di dunia dan akhirat. (Siva Purana,
Rudresvara Samitha III.LIV.59-60).Hanya ia yang dalam rumahnya ada seorang wanita suci yang bisa
dianggap sebagai pelaku rumah tangga yang sejati. Sedangkan yang lainnya hanya
akan termangsa oleh usia tua dan keserakahan. Sebagaimana tubuh yang disucikan
oleh sungai gangga, maka demikianlah segalanya akan tersucikan dengan melihat
penampakan wanita suci. (Siva Purana, Rudresvara Samitha III.LIV.67-68).Catatan:- Dalam masyarakat Hindu, khususnya di Bali, tradisi upacara
pamitan dan memberikan petuah kepada mempelai masih eksis sampai sekarang,
demikian juga ketentuan-ketentuan kewajiban wanita suci, sebagian masih
diterapkan dalam keluarga. Untuk wanita yang sedang menstruasi, masih ditaati
sebatas tidak melakukan hubungan seks.- Perhatikan sloka 51 “Suami adalah dewa?” dalam film
Mahadewa, juga dikisahkan tentang penyalahgunaan ajaran ini yang dilakukan kaum
lelaki. Dikisahkan, di hutan Dandaka, beberapa wanita sedang dalam
penderitaan batin. Para suami mewajibkan istrinya untuk memujanya, dan
menganggap dirinya sebagai dewa.Saat dewa Siva dan Parvati melewati hutan itu, Parwati mendengar
tangisan wanita-wanita itu. Parwati mencari asal tangisan dan mendapati para
wanita sedang menderita oleh kekeliruan suaminya.Mengetahui hal itu, Dewa Siva menyamar sebagai pemuda, memainkan
seruling yang menarik hati, untuk menyadarkan para wanita supaya beriman
kepada-Nya, bukan kepada suaminya. Ketika wanita-wanita itu mau pulang dari
mengambil air suci, mereka terpikat hatinya akan suara itu, dan mendekati sang
pemuda. Mereka menari-nari bersama sang pemuda, menikmati indahnya suara
seruling sang pemuda.Para suaminya amat murka, mereka mencari istri-istrinya yang tak
kunjung datang. Mereka menemukan istri-istrinya itu sedang menari-nari bersama
sang pemuda. Wanita-wanita itu ditarik paksa suaminya.Sang pemuda menyatakan, bahwa apa yang dilakukan mereka selama ini
adalah hal keliru. Para wanita itu pun mengiyakan, mereka kemudian melawan dan
memberontak suaminya, lalu mendekati sang pemuda. Suami-suami itu amat murka
kepada istrinya dan sang pemuda. Dengan kesaktiannya mereka menyerang sang
pemuda, akan tetapi semua kesaktian, kekuatan, kehormatan mereka menjadi sirna.
Sang pemuda pun berubah wujud menjadi Mahadewa (dewa Siva). Wanita-wanita itu
lalu melantunkan lagu pujian untuk Mahadewa, sedangkan suami-suaminya bersujud
memohon ampunan kepada mahadewa atas kekeliruan yang dilakukannya selama ini.Kesimpulannya, bagi seorang istri suami adalah dewa, akan tetapi
bukan untuk dipuja namun untuk dihormati.
No comments:
Post a Comment