Kisah Perjalanan Dhang Hyang Dwijendra
Ladang Informasi - Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami
keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara
(Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga
menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni
serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut,
agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di
Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih
keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang Majapahit yang tidak mau beralih agama
dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih
tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar
masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka
bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud,
Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya
dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat
itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka
mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan
pengaruh Islam di Jawa.
Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu). Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya.
Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama
Danghyang Nirartha menjadi Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru
dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang Panawasikan. Setelahnya Danghyang
Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra. Danghyang
Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang Asmaranata, yang merupakan
tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya ke Bali, beliau pertama
kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk
sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat
inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik)
dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh
subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai
kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap
beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di
Bali. Danghyang Dwijendra merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil
Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan
dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang Dwijendra, jumlah kuil-kuil
di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana. Pada waktu
melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra banyak
mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut
siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura
yang didirikan oleh Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan.
Selain di Bali, Danghyang Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan
Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan
Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali
Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di
Jembrana diceritakan bahwa saking aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan,
perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya berkurang, alhasil sesuai dengan
intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan rumah tanpa
memberitahu. Danghyang Dwijendrapun mencari anggota keluarganya, alhasil sang
rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali
putrinya Dyah Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang
aliran Tukad Aya ke arah hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung
Merbuk di utara dan hingga akhirnya beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu
pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas yang menjorok ke laut.
Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan, karena ada
penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak
senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang
itu dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan
kemudian menjadi pelayan dan pengikut Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan
dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal mendasar pula yang perlu
diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana adalah untuk
menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa di
Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.
Disisi lain, diceritakan tentang bagaimana asal-usul
Danghyang Dwijendra dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita
berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya sampai di sebuah desa yang bernama
Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan penyakitan karena sedang
dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang rsi
mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap
dari bibir penduduk. Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir
bagaimana menyembuhkan penduduk desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih
dari sumber mata air, lalu dimantrai dan selanjutnya diberikan pada penduduk
desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para penduduk desa sembuh dari
penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang Rsi Pedanda
Sakti Wawu Rauh.
Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi
melanjutnya yatranya menuju Tabanan hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana
disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan beliau bukan disana, melainkan
menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah perjalanan dari
Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di
Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat
ingin berjumpa dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan
menawarkan agar sudi singgah di purinya di Badung. Dalam perjalanan,
Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di desa Buagan, dan penduduk
yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku dengan
kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang
telah dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut.
Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan
perjalanan ke timur hingga sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah
lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas. Disinilah Danghyang Dwijendra menetap dan menikahi anak bendesa
Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida
Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang
Dwijendra kepada seluruh keturunannya, yaitu:
- Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca perwujudan).
- Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas,
Dalem Watu Renggong yang merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk
menjemput sang wiku, sesampainya di Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan
berbicara panjang lebar. Saking keasyikan bercerita dan menerima pencerahan dua
hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan perintah sang raja.
Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya
sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya
keesokan harinya barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung
(dikenal juga dengan Gusti Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai
di ibukota Kerajaan, namun sayang Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena
lama menunggu dan memutuskan pergi berburu ikan di Teluk Padang (Padang Bai)
tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan. Sang Rsi dimohon
langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada petang
hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran
diberikan oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka
kembali ke Gelgel. Hari demi hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem
Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem yang keras berhasil diubah menjadi
lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh sang Rsi.
Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita,
masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel masih terus menunggu dan mengganggu.
Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah dengan rivalnya di timur,
yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa agak kuat membiarkan
pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani
mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang
Dwijendra memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan
penguasa Lombok yang mulai berulah itu.
Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai
Kusamba dengan pengawalan perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang
wiku bertemu dengan raja Krahengan dan segera melakukan perbincangan politik,
namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera balik ke Bali, dalam
perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima
dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan
keduniawian untuk menjadi seorang Sanyasin dan mengulang
kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi perjalanan spiritual.
Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya ke
Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak
untuk mengulangi perjalanannya dari barat ke timur.
Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang
wiku, dan beliau diantar ke Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari
tempat yang dekat dengan Purancak yang mana disana sudah ada Pura, dan beliau
disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau selalu menyembah
perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar, lalu
beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi
beryoga bangunan yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu
menyembah maharsi Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki
sehingga ada tempat sembahyang, sang wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan
sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan dan dijunjung di atas bangunan
itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi.
Selepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan
perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu tonjolan batu karang yang ditumbuhi
pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok ke laut dan bagian
tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak menuju
ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari
sang wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan
siraman rohani dan dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar
para nelayan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya.
Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu selalu menjadi tempat berkumpul
para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini menjadi Pura Tanah
Lot di Tabanan.
Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan
perjalanannya menyisir pantai ke timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah
ujung tonjolan dengan tangga berbatu berbentuk cascade yang dapat
dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas batu itu. Penduduk
menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku
merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai
leluhurnya dari negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga
nuansa spiritual tampat itu semakin meningkat, dan di tempat itu kini berdiri
pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke timur menyisir pantai
selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki
vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini
sang wiku melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat
yang bernama Samprangan dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas
dari sana sang Rsi bergerak ke utara hingga penapakan beliau sampai pada
Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku menemukan beberapa
nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut-pelaut
Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah.
Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan
semangat para pelaut itu. Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat
berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun dengan senang hati menerima
permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi pertama kali
menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan
menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana
yang masih hanya berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat
petapakan beliau lalu masyarakat disana membangun pura yang dinamai Pura
Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”, yaitu suara air laut yang
dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur sampai di Batu
Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah
tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara
menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi.
Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran
agama kepada orang-orang sasak yang beragama Islam, para umat islam yang
menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra adalah para kelompok Islam Wetu
Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan untuk di Suranadi
berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu
tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas
dari Suranadi, sang wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan
mengikuti busur yang bersebelahan dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke
selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri Selaparang dan mengajak sang
wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak dengan halus dan
untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di tepi
pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan
kemudian pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa.
Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun
setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju
Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu
saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di
Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk
Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh
masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang
kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan
kepala desa itu, akhirnya Danghyang Dwijendra terpanggil membantu masyarakat
petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi
sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan
memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya
tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas.
Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.
Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua
motivasi Danghyang Dwijendra melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni,
karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora
ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan
kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling
timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan
keajegannya di daerah ini. Di samping itu, adanya hasrat yang besar
untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya yang merupakan seorang Brahmana
Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi)
untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa. Setelah armada Majapahit di bawah
pimpinan Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di
pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri
beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah
mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama
meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk
Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di
pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.
Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa
sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau
kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama
mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu
itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama
menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan
usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang
Dwijendra mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu
itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan
anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap
melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung
Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah
beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud
mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian
besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta
banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau,
tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura
kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan
tinggi.
Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan
Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu
pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa
saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta
untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya
untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut
Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang. Oleh karena
itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman
dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi
syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun
sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati.
Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang
dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa
belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum
dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok dan
Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi
nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah
Desa Adat Pecatu.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan
tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah
tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat
ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat
ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan
perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba
di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi
diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber
air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya
Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat
ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air
yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke
lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke
asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang
berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri,
Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat.
Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu
didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya
pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu. Mendekati
detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan
mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah
pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat
Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi
ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila
diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk
kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100
meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala
dan watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau
memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali.
Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong
agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang
keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar.
Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah
Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas,
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur
onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di
atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana
keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama
moksha.
Dijelaskan juga disalahsatu desa di
Karangasem, juga terdapat petilasan Dhanghyang Dwijendra, yang dikenal dengan
Pura Gerombong di Desa Pakraman Baturinggi. Dikisahkan bahwa pada saat perjalanan
Danghyang Dwijendra berkeliling menjelajahi tepi pantai Bali. Ketika
perjalannya sampai di Bali utara, beliau sempat turun sejenak di Desa
Baturinggit, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Agung dekat pantai. Di desa
itulah Danghyang Dwijendra meletakkan batu sebagai pertanda bahwa tempat
itu pernah dikunjungi sebagai cikal bakal Pura Gerombong. (Sumber
: http://diskominfo.karangasemkab.go.id/index.php/baca-artikel/54/Ritual-Unik-Seni-Budaya-Karangasem--Nyepeg-Sampi-dan-Jaran-Gading-Menginjak-Bara-Api)