Kisah Hidup Drona
Kemiskinan yang Menjauhkan Kesadaran
“Kekayaan
menjadi alasan bagi sebagai orang untuk bersuka cita dan kemiskinan menjadi
alasan bagi sebagian lagi untuk berduka. Padahal, baik kekayaan maupun
kemiskinan sekedar pengalaman ‘sesaat’, pengalaman selama hidup didunia ini.
Kita tidak membawa sesuatu saat lahir, dan tidak dapat membawa sesuatu setelah
mati. Segala apa yang kita miliki sudah pasti kita tinggalkan di sini. Moksha
atau kebebasan mutlak, adalah kebebasan dari rasa suka maupun duka, kebebasan
dari pikiran maupun perasaan, sehingga aku tidak terpengaruh oleh berbagai
pengalaman, dan sensasi yang disebabkan oleh keduanya.” (Krishna, Anand.
(2007). Life Workbook
Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Akan
tetapi “kemiskinan yang maya” pun menjadi nyata bagi Drona yang sangat sayang
kepada putra tunggalnya Asvattama. Drona memahami Veda, akan tetapi kemiskinan
membuatnya sangat menderita. Sang anak ingin minum susu seperti anak-anak
lainnya, akan tetapi Drona dan Krpi, isterinya tidak mampu membelinya. Kala
sang istri membuatkan minuman menyerupai susu yang dibuat dari cairan sewaktu
menanak nasi, bahasa jawanya “tajin” Asvattama kecil begitu bangga dan
membawa minuman tersebut ke luar rumah dan berteriak, “Horee aku minum susu!”
Sang anak dan keluarganya menjadi bulan-bulanan penghinaan masyarakat yang
tidak menghargai ilmu “Veda” yang dimiliki Drona. Drona hanya mengelus dada dan
kemudian berupaya mencari kawan seperguruannya, Drupada, yang karena nasib baik
menggantikan mertuanya menjadi Raja Panchala, karena putra Mahkota Gandamana
tidak mau menjadi raja lebih memilih menjadi mahapatih Hastina. Hinaan
yangdiperoleh dari Drupada, kawan karibnya yang menjadi raja membuatnya
mengembara penuh dendam sampai akhirnya menjadi Guru Kerajaan Hastina, pengajar
bagi Pandawa dan Korawa.
Belajar Senjata Keprajuritan Kepada Parashurama
Sebagai
seorang brahmana, Parashurama sangat menghormati peran brahmana dan sebelum
menghabiskan waktunya di Himalaya, dia membagi-bagikan semua harta dan ilmunya
kepada semua brahmana yang menemuinya.
“Kelompok
cendikiawan atau scholars,
para ulama, pada jaman dahulu disebut Kaum Brahmana. Brahmana berani ‘mereka
yang tahu’. Brahmana juga berarti ‘mereka yang tidak terikat dengan suatu
keadaan dan tempat’. Brahmana adalah orang yang ‘sepenuhnya’ dapat menerima
perbedaan, tapi tidak membeda-bedakan. Arti brahmana dan Ulama, persis sama. Ia
yang berpengetahuan, berkesadaran. Seorang Brahmana memahami Esensi kehidupan.
Ia paham betul bahwa keberagaman, kebhinekaan hanyalah manifestasi luaran.
Sekedar ungkapan atau ekspresi dari Tuhan Maha Tunggal, Yang Satu Ada-Nya. Oleh
karnanya, ia tidak berkonflik dengan keberagamaan dan kebhinnekaan. Dan, ia
tidak menciptakan konflik.” (Krishna, Anand. (2006). Surat Cinta Bagi Anak Bangsa.
One Earth Media)
Parashurama
memberikan harta dan hasil tapanya kepada para Brahmana. Karena hartanya sudah
habis dibagikan, maka Drona minta senjata dan bagaimana mengendalikan senjata.
Oleh Parashurama Drona diajari cara menggunakan senjata dan diberikan senjata
brahmastra.
Pada
suatu ketika anak-anak Pandawa dan Kurawa sedang bermain-main dan bolanya masuk
sumur. Mereka kebingungan mengambil bola tersebut. Drona datang dan minta para
anak-anak memperhatikan cara dia mengeluarkan bola. Drona membaca mantra Veda
dan kemudian melemparkan rumput satu per satu seperti panah dan akhirnya
menjadi tali dari rumput dan bola dapat ditarik keluar. Pada akhirnya Drona
diangkat sebagai Guru Istana bagi para Pandawa dan Kurawa.
Guru Dakshina
Pada
zaman dahulu, seorang remaja hidup bersama “Gurukula” sampai mencapai
kedewasaan. Para murid tidak dibeda-bedakan status sosialnya oleh sang guru.
Pada akhir pendidikan formal, seorang murid memberikan Guru Dakshina untuk
menunjukkan rasa terima kasih kepada sang guru. Tidak harus berupa tanah atau
harta, akan tetapi sesuatu yang penting bagi kehidupan guru tersebut.
Sandipani, guru Krishna dan Balarama minta mereka menghidupkan nyawa putra sang
guru yang tenggelam di perairan Prabhasa. Dan, berhasil dilakukan oleh Krishna.
Drona
yang masih dendam terhadap Raja Draupada minta murid-muridnya mengalahkan sang
raja. Dan setelah raja tersebut kalah, Drona minta separuh dari wilayah
kerajaan Panchala untuk diberikan kepada Drona.
Hanya Menerima Murid Para Ksatria Keluarga Raja
Karna
pernah minta menjadi murid dan ditolak Drona, karena Karna hanya putra angkat
seorang sais istana. Karna sakit hati dan kemudian mendengar bahwa Parashurama
dalam perjalanan mengasingkan diri ke Himalaya selalu memberikan harta dan ilmunya
kepada para Brahmana yang memintanya. Karna akhirnya menyamar sebagai brahmana
dan memperoleh ilmu keperwiraan dan memanah yang mengagumkan. Akan tetapi
akhirnya Parashurama tahu kalau Karna sebenarnya bukan seorang Brahmana dan
dihari kematiannya, segala ilmu pemberian Parashurama tidak bisa digunakannya.
Ada
seorang pangeran dari Suku liar Nishada bernama Ekalavya yang memintanya
menjadi muridnya dan ditolak karena bukan kerabat raja. Ekalavya kemudian
mengintip Drona mengajarkan cara memanah kepada Pandawa dan Korawa. Ekalavya
membuat patung Drona dari tanah liat dan belajar memanah denganmenganggap
patung tersebut sebagai Drona.
Pada
suatu saat Ekalavya yang sedang latihan merasa terganggu oleh gonggongan suara
anjing, dan dia kemudian tanpa menoleh memanah kearah suara tersebut dan anjing
tersebut terpukul oleh pangkal anak panah dan berhenti menggonggong. Arjuna
yang melihat kejadian tersebut berkenalan dengan Ekalavya yang mengaku sebagai
murid Drona. Drona beberapa saat kemudian datang ke tempat latihan Ekalavya dan
memarahinya karena dia mengaku sebagai muridnya. Akan tetapi agar murid
kesayangan tak ada tandingannya, beberapa saat kemudian Drona minta Guru
Dakshina kepada Ekalavya berupa ibu jarinya. Dengan patuh Ekalavya menyerahkan
ibu jarinya dan dia tidak bisa lagi memanah dengan sempurna.
Sebagai Seorang Brahmana, Drona Seharusnya Tidak Membeda-bedakan Murid
“Pembagian
masyarakat dalam empat kelompok – para cendekiawan, para pegawai negeri, para
ekonom dan para pekerja atau buruh – merupakan suatu eksperimen yang hanya
dilakukan oleh masyarakat India kuno. Kelak pengelompokan ini akan
disebut kasta. Kelak pengelompokan ini akan disebut kasta oleh orang-orang
asing, padahal istilah asalnya adalah varna atau ‘pengelompokan berdasarkan tugas/sifat/potensi’.
Pada jaman Mahabharat, sekitar
3000 tahun S M, sistem ini berjalan baik. Vyaasa atau Abiyasa dalam pewayangan
Jawa adalah anak di luar nikah dari seorang wanita penjual ikan dan dari
golongan (kasta) Shudra, yang sekarang disalahartikan sebagai golongan
terendah. Namun, karena bijak, Abiyasa anak di luar nikah dari kasta Shudra mendapat gelar ‘Jagad Guru’ –
guru sejagad. Ia yang menulis epos besar, epos terpanjang dalam sejarah
manusia: Mahabharat. Ia pula yang mengedit dan mengumpulkan Veda. Contoh lain
yang menarik sekali adalah bahwa para avatar di India, tidak ada yang berasal
dari golongan (kasta) Brahmin yang dianggap teratas. Mereka berasal dari
golongan-golongan lain.” (Krishna, Anand. (2002). Otobiografi Paramhansa Yogananda,
Meniti Kehidupan bersama para Yogi, Fakir dan Mistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)
Dalam
setiap profesi kita dapat menjadi Brahmana, tetapi lingkungan memang mempunyai
pengaruh yang besar. Profesor (Brahmana) yang mengelola universitas atas dasar
untung rugi, belum menjadi Brahmana. Pengusaha (Weisya) yang
mendharma-bhaktikan hartanya bagi penegakan dharma sudah menjadi Ksatria,
bahkan ketika dia mendirikan sekolah demi tujuan peningkatkan kesadaran
masyarakat, dia telah menjadi Brahmana.
Drona pada perang Bharatayudha
Drona
diangkat sebagai panglima perang Kurawa melawan pasukan Pandawa menggantikan
Bhisma. Drona mendukung upaya Karna dan Duryodhana untuk menculik Yudhistira
dalam perang tersebut, akan tetapi upaya untuk menghancurkan mental pasukan
Pandawa tersebut digagalkan oleh Arjuna. Pada hari ketigabelas Drona minta
Burisrawa dan pasukannya melawan Arjuna, sedangkan Abhimanyu dijebak dalam
gelar pasukan Chakravyuha. Drona kemudian membiarkan para komandan Kurawa
mengeroyok Abhimanyu sampai meninggal. Pada hari kelimabelas Krishna minta
Bhima membunuh Gajah Ashvattama dan berteriak bahwa Ashvattama mati dan diikuti
oleh seluruh pasukan Pandawa. Drona yang tak terkalahkan dengan senjata
Brahmastranya mulai gugup dan bertanya kepada Yudhistira, bekas muridnya yang
selalu jujur apakah benar Ashvattama meninggal. Sesuai pesan Sri Krishna,
Yudhistira mengangguk pelan dan mengatakan bahwa Ashvattama mati. Drona tidak
mendengar lagi bahwa Yudhistira melanjutkan bahwa yang mati adalah gajah
Ashvattama.
Kematian Drona
Resi
Atri adalah salah satu dari Sapta Rsi, tujuh makhluk bijak yang bercahaya, yang
kekal, yang bertugas membantu Brahma dalam mengurus dunia. Resi Atri juga erat
kaitannya dengan perang Bharatayuda. Kala Rsi Drona menjadi panglima Kurawa
menggantikan Bhisma, dia bertindak telengas dan membunuh ribuan prajurit
Pandawa. Drona seperti kesetanan dan membunuh musuh-musuhnya yang tak berdaya
dengan kesaktiannya. Devaresi Atri sangat khawatir akan hal ini, sehingga dia
mengajak 6 devaresi lainnya turun menemui Drona. Pada saat itu Drona sedang
frustrasi mendengar kematian Asvattama, putranya, dari mulut Yudistira. Drona
kehilangan harapan dalam hidupnya dan siap mengamuk dengan kemarahan yang luar
biasa besar. Para prajurit di sekitarnya merasakan bahaya yang sangat besar
yang siap meledak dari diri Drona. Resi Atri datang menghibur Drona dan
berkata, “Resi Drona, kamu adalah seorang pendeta bijak, tindakanmu pada perang
ini tidak selaras dengan status kebrahmanaanmu. Resi Drona, kamu adalah pendeta
yang terpandang dalam pengetahuan Veda, sehingga tidak pantas melakukan
tindakan yang kejam. Segera letakkan senjatamu dan kembali berpikirlah tentang
Sanatana Dharma. Aku menyesal melihat engkau membantai dengan kejam prajurit
yang tidak bersalah.” Drona sadar dan segala kemarahan serta rasa dendamnya
lenyap. Pikirannya menjadi jernih dan murni. Resi Drona duduk dalam posisi yoga
dan mulai bermeditasi. Ia berfokus pada Narayana dan memejamkan mata dan dia
tidak akan pernah membuka mata lagi, karena pedang Drestayumna, putra Raja
Draupada telah membunuhnya. Ruh Drona meninggalkan tubuhnya dan menuju
kahyangan.
No comments:
Post a Comment