Parasurama Avatara
Penggambaran Parasurama dengan senjata yang dipegangnya |
Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma
Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu,
adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah,
namaParashurama bermakna "Rama yang bersenjata
kapak". Nama lainnya adalahBhargawa yang
bermakna "keturunan Maharesi Bregu".
Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga.
Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan
di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
Kisah Parasurama
Parasurama merupakan
putra bungsu Jamadagni,
seorang resi keturunan Bregu.
Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir
Jamadagni memberi nama putranya itu Rama.
Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu
membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata
lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasurama
pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena
kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan
suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya
membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan
mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali
Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan
mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra
termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah
kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni.
Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima
Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni
pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.
Penumpasan Kaum Ksatrya
Pada zaman kehidupan
Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain.
Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai
pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun
pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni.
Konon Parasurama
bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan
dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup,
Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama
Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan
nama Kurukshetra dan dianggap sebagai tanah suci yang
menjadi ajang perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa dan Korawa.
Penyebab khusus mengapa
Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya bernama Kartawirya
Arjuna yang telah
merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut.
Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam
dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar
rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria.
Pertemuan Dengan Sri Rama
Meskipun jumlah kesatria
yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih
ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Ayodhya, Kerajaan Kosala.
Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri Rama putra Dasarata. Pada suatu hari
ia berhasil memenangkan sayembara di Kerajaan Mithila untuk memperebutkan Sita putri negeri tersebut. Sayembara yang
digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa. Dari sekian banyak
pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut.
Suara gemuruh akibat
patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun
mendatangi istana Mithila untuk menantang Rama yang dianggapnya telah berbuat
lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama
yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa
bertemunya sesama awatara Wisnu, karena saat itu
Wisnu telah menjelma kembali sebagai Rama sedangkan Parasurama
sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah
berakhir namun sebagai seorang Ciranjiwin,
ia hidup abadi.
Pada zaman Dwaparayuga Wisnu terlahir kembali sebagai Kresna putra Basudewa. Pada zaman
tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Kresna yang bernama Karna yang menyamar sebagai anak seorang brahmana. Setelah
mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna
berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu
kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan
tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang
bernama Arjuna, dalam perang di Kurukshetra.
Parasurama diyakini
masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan
diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara.
Versi
Pewayangan
Parasurama juga
ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan.
Antara lain di Jawa ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga
sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama
ayahnya.
Ciri khas pewayangan
Jawa adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah
tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai
keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah
ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga
memiliki sepupu jauh bernama Resi Gotama,
ayah dari Subali dan Sugriwa.
Dalam pewayangan
dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka,
atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh
dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan
kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.
Setelah menumpas kaum
kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia.
Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu.
Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan
menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh
Ramabargawa.
Akhirnya, Ramabargawa
berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah
kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri,
dan istrinya, yaitu Citrawati, akibat ulah Rahwana raja Kerajaan Alengka yang pernah dikalahkannya.
Dalam pertarungan tersebut, justru Ramabargawa yang berhasil menewaskan Arjuna
Sasrabahu.
Ramabargawa kecewa dan
menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan
bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama putra Dasarata.
Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun
kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama yang sedang dalam perjalanan
pulang setelah memenangkan sayembara Sinta.
Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa
akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.
Pada zaman berikutnya,
Ramaparasu bertemu awatara Wisnu lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian
utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama
Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk
ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Korawa.
Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin
Bharatayuddha dari
zaman Kerajaan Kadiri.
No comments:
Post a Comment